JAKARTA, GRESNEWS.COM - Para legislator bersiap menjegal Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Aturan yang baru saja keluar tersebut kuat diduga menjadi dasar hukum beralihnya aset-aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke perusahaan swasta bahkan asing asing.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Komisi VI berencana mengusulkan hak interpelasi terhadap PP 72 Tahun 2016. Dalam Pasal 79 Ayat 2 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dalam Pasal 194 UU tersebut juga disebutkan bahwa DPR dapat menggunakan hak interpelasi kepada pejabat negara ataupun pemerintah dengan syarat telah diusulkan oleh minimal 25 orang anggota DPR dari dua fraksi. Pengusulan hak interpelasi harus disertai dokumen yang memuat paling sedikit: materi kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan Pemerintah yang akan dimintakan keterangan; dan alasan permintaan keterangan.

Salah satu persoalan serius dalam PP 72 itu terdapat pada Pasal 2 A angka (1). Pasal itu dikhawatirkan Komisi VI menjadi celah bagi pemerintah untuk melakukan pelepasan dan pengalihan aset strategis negara tanpa melalui persetujuan DPR. Pasalnya, dalam Pasal 2 A angka (1) Penyertaan Modal Negara (PMN) tidak lagi melalui siklus Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Salah satu pasal yang mengindikasi adanya kerentanan hilangnya aset negara terdapat dalam Pasal 2 A angka 1. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut ;
(1) Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Anggota DPR RI Komisi VI Darmadi Durianto dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tegas menolak PP 72 tahun 2016 yang diterbitkan pemerintah tahun lalu. Darmadi menyatakan, PP 72 tahun 2016 tersebut bertentangan dengan UU dan konstitusi negara.

"Sikap politik kita menolak karena melanggar undang undang dan bisa membuat pemerintah dengan mudah menjual BUMN tanpa persetujuan DPR," kata Darmadi melalui pesan singkatnya kepada gresnews.com, Kamis (26/1).

Meskipun secara tegas mengatakan PP itu melanggar undang-undang, namun PDIP belum berpikir untuk menggunakan hak interpelasi terkait PP tersebut. Fraksi PDIP sendiri masih wait and see menunggu sikap pemerintah dalam merespon penolakan dari DPR. Saat ditanya apakah akan menggunakan hak interpalasi untuk menyikapi keputusan pemerintah itu, Darmadi masih menjawab diplomatis.

"Belum sejauh itu tapi kita lihat perkembangan sikap pemerintah dalam menyikapi penolakan DPR. Sikap politik kita jelas karena melanggar UU atau konstitusi kita," katanya.
BISA INTERPELASI - Abdul Wachid Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra tak menutup kemungkinan DPR akan menggunakan hak interpelasi jika pemerintah bersikukuh menjalankan PP tersebut. Sejauh ini DPR Komisi VI memang masih mendalami masalah yuridisnya dengan pakar dan pimpinan fraksi di Komisi VI.

Menurut Wachid, sebagian besar Komisi VI menolak keberadaan PP 72 tahun 2016. Wachid mengklaim hampir mayoritas melihat adanya indikasi pelanggaran dan kerentanan yang terdapat dalam PP yang sedianya sebagai payung hukum pembentukan holding BUMN.

"Kemungkinan bisa juga sampai hak interpelasi karena kalau kita lihat di media pihak pemerintah tetap ngotot. Sedangkan sebagian besar Fraksi di Komisi 6 menolak PP 72 2016 . Karena setelah kita pelajari sangat berbahaya dan merugikan negara," ujar Wachid.

DPR Komisi VI sendiri belum menyatakan sikapnya terkait PP 72 2016. Sejauh ini masih dalam loby lobi untuk melihat jalan yang akan diambil oleh DPR. Dia mengatakan, dalam waktu dekat akan ada keputusan masing masing fraksi menyikapi PP tersebut.

"Mungkin minggu depan atau akhir bulan Januari 2017 sudah ada Keputusan dan sikap masing Fraksi di komisi 6 DPR RI," ujarnya.

Pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menilai baik pemerintah maupun DPR mesti terbuka soal perdebatan BUMN agar tidak mengundang kecurigaan publik. Pasalnya, BUMN selalu menjadi isu strategis untuk ditarik ke dalam sesuai kepentingannya.

"Oleh karena itu memang sesungguhnya urusan terkait BUMN ini harus terbuka," ungkapnya.

Lebih jauh dia mengungkapkan, DPR harus jelas merujuk norma-norma yang dianggap melanggar undang-undang untuk menghindari tanggapan negatif dari masyarakat. Karena kinerja DPR sendiri akan berdampak negatif ketika  argumen yang digunakan tidak jelas. "Kalau ngotot hanya karena ingin mengambil manfaat tanpa alasan yang kuat, DPR malah yang akan dinilai jelek oleh publik," pungkasnya.

BACA JUGA: