JAKARTA, GRESNEWS.COM - Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), masih terus menimbulkan polemik. Pasalnya, beleid tersebut dinilai membuka peluang terjadinya penguasan asing terhadap BUMN.

Dewan Perwakilan Rakyat pun turun tangan untuk mencari kejelasan soal dampak pemberlakuan PP 72/2016 ini, khususnya soal kewenangan DPR mengawasi BUMN. Untuk itu, DPR Komisi VI mengundang pakar untuk memberi masukan terkait beberapa masalah yang dikhawatirkan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (18/1).

Dalam RDP ini, Komisi VI menghadirkan dua pakar hukum tata negara yakni Hamdan Zoelva dan Jimly Asshiddiqie untuk melihat posisi PP 72 tahun 2016 dari perspektif hukum tata negara. Dalam kesempatan itu, Jimly Asshiddiqie mengungkap apresiasi niat DPR yang berusaha memainkan kontrolnya soal terbitnya PP 72 tahun 2016.

Pasalnya selama ini DPR jarang sekali mengontrol kebijakan pada tataran Peraturan Pemerintah. Padahal menurutnya PP juga merupakan wewenang DPR untuk mengontrolnya yang jarang sekali direspons oleh DPR.

Menyangkut posisi PP 72 tahun 2016, Jimly berpendapat DPR tidak akan kehilangan kewenangannya dengan kahadiran PP tersebut. Karena menurut Jimly DPR pada dasarnya tidak langsung mengontrol BUMN tetapi lembaga pemerintah yang membidangi BUMN sehingga DPR tetap bisa mengawasinnya.

"Pasal 2 A angka 1 memang harus melalui APBN. Menurut saya mesti ada persetujuan DPR. Implikasinya berujung pada APBN itu otomatis saja, bisa iya bisa juga tidak," kata Jimly saat memberikan pendapatnya di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta.

Namun begitu, soal kekhawatiran DPR terjadinya pengalihan aset negara karena DPR tidak dapat mengawasi anak perusahaan yang berada dibawah BUMN Jilmy menilai ada cara lain bagi DPR untuk melakukan pengawasannya. Meskipun tidak melalui mekanisme siklus APBN, DPR bisa mengawasi tanpa melalui itu.

DPR, kata Jimly, bisa membuat rekomendasi setiap adanya pengalihan harus melalui persetujuan DPR meskipun PP 72 tidak berbunyi seperti itu. Dia menegaskan, soal pengalihan aset memang tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah tanpa diawasi legislatif. "Kalau pengalihan saham harus melalui persetujuan DPR," kata mantan hakim Mahkamah Konstitusi itu.

Jimly juga tak menampik adanya penilaian negatif terkait norma yang diatur dalam PP tersebut terutama pada pasal 2 A angka 1. Karena normanya memang sedikit abstrak sehingga bisa saja terjadi kemungkinan penyalahgunaan kalau niatnya tidak baik. Namun menurutnya, masih perlu diuji teknis dari pasal tersebut.

Karena itu, kalau DPR merasa tidak puas dengan PP yang dibuat sepihak oleh pemerintah bisa dilakukan judicial review ke Mahkamah Agung. Menurut Jimly, DPR memiliki legal standing untuk mengajukan uji materi PP tersebut, hanya saja mesti melalui mekanisme yang cukup panjang karena harus melalui pleno DPR.

"Atau DPR juga bisa membuat sikap politik melalui rekomendasinya meskipun tidak mengikat secara undang-undang, tetapi rekomendasi itu akan mengikat secara hukum," ujar Jimly.

ANTISIPASI DPR - Sama seperti Jimly, Hamdan Zoelva juga tak melihat adanya potensi pelanggaran konstitusi jika terjadi pengalihan aset atau saham dari BUMN. Menurut Hamdan, beralihnya aset atau saham dari satu BUMN ke BUMN yang lain tidak ada persoalan karena masih dalam naungan BUMN yang dikuasai negara.

Hanya saja ketika adanya pengalihan dari BUMN ke pihak swasta, itu menurut Zoelva, mesti melalui pengawasan DPR. Begitu juga ketika adanya pembentukan BUMN atau PT yang menggunakan APBN juga mesti mendapat persetujuan DPR.

"Sepanjang pengelolaan hanya di internal BUMN tidak ada masalah tapi kalau terjadi aset negara dalam BUMN diprivatisisi itu harus melalui APBN harus mendapat persetujuan DPR," ujar Hamdan Zoelva.

Lebih jauh dia mengungkapkan, meskipun nanti PT sepenuhnya tunduk pada undang-undang PT bukan berarti DPR kehilangan fungsi pengawasannya. DPR secara bisa meminta pertanggungjawaban kepada pihak Kementerian yang berkaitan dengan pengelolaan BUMN meskipun bukan kepada BUMN secara langsung.

Sejumlah anggota legislatif memang mengkhawatirkan keberadaan PP 72 tahun 2016. Beleid tersebut dinilai memberi peluang hilangnya aset strategis yang terdapat di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). DPR berpendapat Pasal 2 A angka 1 menghilangkan peran pengawasan BUMN oleh DPR karena membolehkan pengalihan dan pelepasan aset tanpa melalui siklus Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Ketua Komisi VI Teguh Juwarno mengungkapkan, PP 72 tahun 2016 bermasalah. Seluruh lintas fraksi di Komisi VI, imbuh Teguh menyatakan penolakan terhadap PP tersebut karena khawatir terjadinya pelanggaran yang akan berakibat pada kerugian negara.

Karena itu, DPR sebagai pengontrol kebijakan pemerintah harus menjalankan fungsinya sebagai antisipasi terjadinya apa yang dikhawatirkan. Sebelum itu terjadi, maka DPR akan mengingatkan lembaga eksekutif sebelum itu terjadi. Apalagi, kata Teguh ada norma yang seharusnya tidak dimuat didalam PP tetapi dalam masuk ke dalam undang-undang karena PP hanya mengatur secara teknis.

"Kalau ini terjadi masalah kami punya tanggungjawab moral dan konstitusional. Lantas ngapain saja pada waktu itu tidak melakukan pengawasan, peran itu yang sedang kita lakukan," kata Teguh.

BACA JUGA: