JAKARTA, GRESNEWS.COM - Juru Bicara Partai Golkar Tantowi Yahya menolak adanya aturan yang membatasi aktivitas pemilik media berpolitik. Negara sebaiknya tidak terlalu banyak mengatur mengenai keterlibatan pemilik media dalam afiliasinya dengan sebuah partai politik.

Tantowi mengatakan pemerintah tak perlu lagi membuat aturan baru. Kalau terlalu banyak bisa-bisa malah bertentangan dengan aturan lainnya. "Indikasi majunya sebuah negara itu dilihat dari aturan yang dibuat. Semakin sedikit artinya menunjukkan bahwa publiknya juga sudah maju," katanya kepada Gresnews.com pada Selasa (19/11).

Menurutnya aturan mengenai kepemilikan media yang berafiliasi dengan partai tertentu dapat dilihat dari aturan non-formal, seperti etika yang dinilai oleh publik. Tantowi mengatakan saat ini publik sudah sangat paham untuk menilai media-media tertentu yang digunakan sebagai kepentingan politik pemiliknya.

"Kalau memang dijadikan sebagai alat kepentingan media, publik kan akan menilai. Jadi pasar yang menilai, apakah media itu layak ditonton atau tidak. Kalau tidak disukai kan mereka pergi sendiri," imbuh anggota Komisi I dari Golkar yang ketua umumnya memiliki media nasional ini.

Tantowi menyatakan pengawasan kekuasaan pemilik media juga terbatas. Ada faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah penilaian pasar yang dilakukan oleh publik itu, sedangkan faktor internal ditentukan dari aturan di media tertentu. Sehingga kesewenangan pemilik media dibatasi oleh banyak faktor.

Tantowi juga tidak sepakat bila adanya aturan iklan kampanye hanya dibolehkan di TVRI. Menurutnya, iklan kampanye bertujuan untuk mengenalkan visi dan misi dan pihak yang bersangkutan, sehingga membutuhkan jumlah penonton yang banyak.

Pendapat berbeda disampaikan anggota Komisi I dari Fraksi Demokrat Max Sopacua. Ia menyatakan perlu adanya aturan tentang kepemilikan media dan afiliasinya pada partai politik. "Memang pemilik media itu sudah memiliki usaha media yang besar pengaruhnya. Tapi yang penting bagaimana asasnya itu (ber)keadilan bagi semua. Jangan nanti ada media yang sengaja dijadikan alat partai," katanya kepada Gresnews.com.

Max Sopacua menyatakan dirinya mendukung sepenuhnya rencana KPI untuk membatasi penggunaan media untuk kepentingan politik. Untuk itu, menurut politisi dari Partai Demokrat itu perlu adanya revisi mengenai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Manik menyatakan sudah dibentuk sebuah gugus kerja yang bertugas mengawasi pelanggaran-pelanggaran Pemilu di media massa. Pembentukan gugus kerja itu untuk menindaklanjuti Nota Kesepahaman antara KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

"Dalam waktu dekat akan ada rapat lagi bagaimana mengefektifkan gugus tugas kerja ini, supaya bisa mengikuti perkembangan yang ada di masyarakat," kata Husni kepada Gresnews.com.

Menanggapi masalah independensi media. Ia mengharapkan media dapat memberikan harapan baru untuk bisa mencerdaskan masyarakat dalam proses Pemilu ini. "Tidak jaminan bahwa media independensi bisa mencerdaskan," kata Husni.

Menurutnya, tayangan media selama ini hanya membicarakan rumor dan kurang memberikan solusi. Media dinilai masih mendiskriminasikan partai-partai tertentu. Namun kebijakan pelaksanaan pemberian sanksi terhadap peserta Pemilu dilakukan oleh KPU dan Bawaslu, sehingga keputusan menindak tidak bisa diambil sepihak.

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute Gun Gun Heryanto menekankan pada keadilan penggunaan media dalam ranah publik. Namun hingga kini masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh media.

Contoh dari pelanggaran itu menurut Gun Gun penggunaan pejabat publik menjadi lebih sering tampil di televisi dengan membawa institusi kementeriannya. Yang sekarang terkenal adalah kandidat itu dekat dengan komunitas-komunitas. Media juga digunakan sebagai alat pemenangan dalam laga Pemilu.

Dosen Ilmu Komunikasi di UIN Syarif Hidayatullah itu juga mendukung dibuatnya aturan yang membatasi kepemilikan media menjadi pengurus atau elite di sebuah partai politik. "Perlu adanya aturan, tapi bukan sekadar aturan yang normatif tapi operasional," katanya kepada Gresnews.com.

Aturan operasional, menurutnya, bukan sekadar mengatur mengenai larangan mengenai slot iklan atau program di media. Tapi mengatur hingga hal-hal teknis, seperti durasi iklan, dan lain sebagainya. Menurutnya, hal itu bertujuan untuk adanya keadilan bagi seluruh peserta politik.

(Mungky Sahid/GN-04)

BACA JUGA: