JAKARTA, GRESNEWS.COM – Lembaga pemikiran atau thinktank independen pemilu Tiongkok, The World and China Institute (WCI) mengakui pelaksanaan demokrasi di Indonesia sebagai salah satu yang terbaik di dunia internasional. Khususnya selama 10 tahun terakhir hingga bergulirnya era Reformasi.

Salah satu poin penilaian mereka adalah instrumen pelaksanaan pemilihan umum (pemilu). Utamanya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu lembaga negara yang berperan menyelesaikan sengketa Pemilu di Indonesia.
 
Profesor Li Fan, pimpinan delegasi WCI yang terdiri dari delapan orang peneliti demokrasi dan pemilu yang berasal dari berbagai universitas di Tiongkok menyatakan demokrasi Indonesia adalah salah satu demokrasi terbaik di Asia bahkan dunia. Sifatnya progresif dan terus berkembang ke arah yang lebih baik.

"Demokrasi di Indonesia sudah bisa disebut prestasi dan pantas jadi pembelajaran bagi negara lain, ujar Li  Fan saat diterima Ketua MK Hamdan Zoelva, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati di Ruang Delegasi MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta pusat, Senin (7/7) kemarin.

Berbeda dengan negara asalnya, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), kata Li  Fan, pemilihan umum perwakilan yang berlaku di RRT memberlakukan sistem partai tunggal. Hanya mengakui satu partai, yaitu Partai Komunis China (PKC).

Pemilihan bebas di sana tidak dikenal, kecuali untuk pemilihan kepala wilayah setara tingkat kelurahan atau desa hingga ke bawah. Sedangkan untuk kepala wilayah setara kecamatan ke atas, termasuk presiden, pemimpin, ketua negara diitunjuk oleh kongres yang hanya berisikan para anggota dari PKC.
 
Pada kesempatan pertemuan yang difasilitasi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan International Republican Institute (IRI) itu, Li Fan menanyakan kontribusi MK dalam pemilu dan independensi MK. Mereka juga mempertanyakan pelaksanaan pemilu serentak pada 2019.
 
Menanggapi pertanyaan delegasi yang bertujuan untuk keperluan studi banding independensi terhadap Pemilu Indonesia yang dianggap progresif dan terbuka itu, Ketua MK Hamdan Zoelva menjelaskan MK terlibat dalan penanganan kasus-kasus sengketa Pemilu.
 
Kata Hamdan, penyelesaian sengketa Pemilu (PHPU) oleh MK tertuang dalam UUD 1945, yaitu, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden (UU  Pilpres) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. "Biasanya kami memutus persoalan proses penghitungan suara dan perolehan kursi," jelas Hamdan.
 
Selanjutnya, ia mengungkapkan, MK baru saja menyelesaikan persengketaan Pemilu Legisltaif (Pileg) 2014 sebanyak 914 kasus yang harus diselesaikan dalam kurun waktu sebulan. "Perkara-perkara tersebut bisa kami selesaikan selama sebulan penuh tanpa libur," jelasnya.
 
Untuk independensi MK, menurut Hamdan, sembilan hakim secara merata merupakan gabungan dari usulan DPR, Presiden dan Mahkamah Agung (MA). Dalam mengambil keputusan, semua putusan diambil berdasarkan kesepakatan bersama kesembilan hakim.

"Tidak ada satupun dari kami yang pernah diintervensi. Putusan diambil bersama, namun tetap ada mekanisme voting jika terjadi suara tidak bulat dan dissenting opinion bisa disampaikan secara terbuka dalam persidangan,"  tegas Hamdan.
 
Kata Hamdan demokrasi di Indonesia akan terus berkembang dan pada saatnya masyarakat akan lebih mampu menghargainya dan bertanggung jawab untuk melaksanakannya berdasarkan kesadaran masing-masing. "Saya berharap melalui hal tersebut, hubungan RRT dan Indonesia dapat terus terbina dalam pergaulan internasional, baik dalam hubungan bilateral dan multilateral," ujarnya.
 
Terkait pemilu serentak 2019, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mengatakan, hal itu diberlakukan setelah ada Judicial Review terhadap pemilihan umum. Dalam UUD 1945, tidak dibedakan antara pileg dan pilpres, dan tercantum bahwa penyelangaraanya hanya satu kali selama lima tahun. "Itulah yang jadi pertimbangan kami dalam memutus Pemilu serentak pada 2019," jelas Patrialis.

Sedangkan syarat electoral threshold 20 persen diserahkan kepada penyelenggara pemilu karena frasa ini tidak termasuk dalam kewenagan MK untuk memutuskan.
 

BACA JUGA: