JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menilai, kasus walk out yang dilakukan pasangan calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat hanyalah puncak gunung es dari serangkaian kinerja buruk Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta. Karenanya, KIPP meminta agar KPUD membenahi kinerjanya. 

Plt Sekjen KIPP Indonesia Kaka Suminta mengatakan, kasus WO Ahok-Djarot pada Sabtu 4 Maret lalu, di Ballrom Hotel Borobudur, saat dilaksanakan launching (pencanangan) Pilkada DKI jakarta putaran dua merupakan persoalan serius. "Kami menyikapi hal tersebut sebagai sebuah masalah serius, terkait kinerja penyelenggara Pilkada DKI Jakarta pada khususnya dan penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta pada umumnya. Kejadian tersebut merupakan puncak gunung es dan satu kesatuan sikap dan kinerja KPU DKI Jakarta yang tidak dinilai profesional, cermat, tanggap, efisien dan efektif sebagaimana yang diamatkan oleh Undang-Undang Penyelenggara Pemilu," kata Kaka dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Minggu (5/3).

Terkait kinerja KPUD DKI, KIPP memberikan beberapa catatannya. "Sejak dalam penetapan tahapan Pilkada DKI Jakarta, KPU DKI Jakarta, kita bisa lihat ketidakcermatan dalam penyusunan tahapan tersebut, terbukti dengan adanya kekeliruan dan revisi terhadap pengaturan pelaksanaan kampanye putaran dua, yang menimbulkan perdebatan dan potensial memengaruhi penilaian terhadap kenetralan KPU DKI Jakarta sebagai penyelenggara Pilkada 2017," terang Kaka.

Kemudian, pernyataan Ketua KPU DKI Jakarta Soemarno, yang mengesankan bahwa kesalahan atas insiden tersebut berada pada pihak lain, merupakan cerminan dari rendahnya sikap melayani sebagai Penyelenggara Pemilu dan Pilkada. Selain itu, ada juga masalah buruknya penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. "Terbukti dengan banyaknya masalah, mulai dari pemahaman yang buruk dan tak seragam pada tingkat pelaksana di TPS tentang data pemilih dan bagaimana melayani pemilih dengan baik, sampai tak terpenuhinya hak konstitusional warga negara serta pelanggaran penggunaan hak pilih," kata Kaka.

Kehadiran pengawas TPS di setiap TPS yang berjumlah belasan ribu TPS di Jakarta, tidak mampu menjadi pencegah dan penindak pelanggaran dan kekeliruan yang terjadi di TPS, begitu juga pengawasan di semua tingkatan tak memperlihatkan kinerja terbaiknya, untuk menjadi pengawas Pilkada yang jujur dan adil. "Minimnya pelibatan masyarakat sipil oleh KPU dan bawaslu Propinsi DKI Jakarta, dalam pelaksanaan Pilkada serentak, juga mengurangi potensi peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu, sebagai bagian dari peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara," tegas Kaka.

Selain itu, ada juga kesan adanya penggunaan keuangan negara yang tidak efisien dan efektif, karena banyak agenda tahapan Pilkada dilaksanakan di hotel mewah, padahal pemerintah sudah mengingatkan untuk memaksimalkan penggunaan sarana dan gedung pemerintahan untuk menghemat keuangan negara. "Namun anggaran yang sangat besar tadi tidak tercermin dalam kinerja KPU DKI Jakarta sebagai penyelenggara Pilkada," ujar Kaka.

Puncaknya adalah kejadian walk out-nya salah satu pasangan karena lemahnya kordinasi dan penataan acara yang dinilai tidak profesional, mengakibatkan terkuranginya makna palayanan yang prima untuk seluruh pemangku kepentingan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. "Pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 telah dicederai dengan adanya penilaian publik terhadap penyelenggara yang tidak profesional, tidak cermat dan tidak hemat anggaran, yang dicerminkan dengan munculnya permasalahan-permasalahan sebagai mana tersebut di atas," kata Kaka.

Dia juga menegaskan, penilaian sebagian publik, terutama pasangan calon dan timnya tentang netralitas penyelenggara pilkada DKI Jakarta, perlu diklarifikasi oleh penyelenggara pemilu. "Sehingga terbangun kepercayaan publik terhadap proses dan hasil Pilkada DKI Jakarta yang masih akan berlangsung dalam pemungutan suara puratan dua," tegas Kaka.

Kemudian, KPU sebagai penanggungjawab akhir Pilkada Serentak tahun 2017 juga diminta untuk segera melakukan penilaian dan supervisi kepada KPU Propinsi DKI Jakarta, agar proses, pelaksanaan dan hasil Pilkada Jakarta tahun 2017 bisa dipertanggungjawabkan dan diterima publik. "Khusus untuk aturan dan pelaksanaan kampanye Pilkada Jakarta putaran dua, KPU perlu untuk menelaah dari sisi hukum dan pelaksanaanya, mengingat adanya polemik yang cukup intens di masyarakat, serta adanya peran KPU yang perlu untuk memberikan acuan hukum dan supervisi dalam hal ini," urai Kaka.

KIPP juga menegaskan, Bawaslu perlu melakukan evaluasi, mengingat tidak hadirnya peran pengawas Pilkada di DKI Jakarta yang mampu mencegah dan menindak setiap potensi dan manifes pelanggaran, sebagaimana yang kita saksikan dalam Pilkada DKI Jakarta. "KPU dan Bawaslu diminta untuk melakukan supervisi secara melekat, terkait pelaksanan Pilkada DKI Jakarta putaran dua yang sedang berlangsung untuk menghadirkan pilkada yang demokratis, jujur dan adil di jakarta sebagai tolok ukur demokrasi di Indonesia secara keseluruhan," pungkas Kaka.

PEMBENAHAN DPT - Desakan agar KPUD DKI Jakarta memperbaiki kinerjanya juga muncul dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai dakwah ini mendesak KPUD DKI Jakarta untuk memperbaiki pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta putaran kedua nanti.

Presiden PKS Sohibul Iman mengatakan, pada pilgub putaran pertama banyak ditemukan penyimpangan. "Masih ada misteri antara jumlah yang dikeluarkan dengan yang riil mengikuti Pilkada," kata Sohibul, Minggu (5/3).

Menurutnya, penyimpangan itu salah satunya terlihat dari semrawutnya Daftar Pemilih Tetap (DPT) serta penerbitan surat keterangan yang belum sesuai aturan. Dia juga menyebut banyak laporan longgarnya aturan tentang keharusan membawa formulir yang diperlukan untuk memilih. "Namun, masih ada di lapangan yang cukup mudah melakukan pencoblosan tanpa formulir yang seharusnya atau hanya bermodal e-KTP," ujar Sohibul.

Dia menambahkan tim pasangan nomor urut 3 Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang diusung oleh PKS dan Gerindra menemukan adanya praktik politik uang di lapangan. Menurutnya hal ini dapat menciderai jalannya pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. "Kami temukan adanya praktik money politic atau politik uang, ini saya kira beberapa hal yang kami temukan," ungkap Sohibul.

Dia berharap pada putaran kedua nanti KPU dan Bawaslu serta semua pihak yang terlibat dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta bertindak profesional. Hal itu dapat ditunjukkan dengan sikap jujur, adil, terbuka, serta bertanggungjawab dari para pihak yang ikut serta dalam pesta demokrasi di provinsi DKI Jakarta ini.

KPUD sendiri sudah melakukan evaluasi penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta putaran pertama. "Pada putaran pertama kami melakukan evaluasi di internal kalangan penyelenggara, evaluasi yang melibatkan Bawaslu, evaluasi melibatkan pasangan calon," ujar Ketua KPU DKI Jakarta Sumarno, dalam rapat pleno KPU DKI di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Sabtu (4/3).

Ada empat evaluasi yang dilakukan KPU DKI. Pertama, peningkatan kualitas pilkada putaran dua terkait sumber daya manusia (SDM) dari tingkat provinsi, kota, kecamatan, kelurahan hingga Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). "Evaluasi mencakup tiga hal yang pertama terkait integritas, netralitas dan terkait profesionalitas," sebut Sumarno.

Evaluasi kedua terkait daftar pemilih. KPU DKI menurut Sumarno sudah melakukan pemutakhiran data pada putaran pertama namun masih ada pemilih yang tidak masuk daftar pemilih tetap (DPT). "Ini menjadi hal serius untuk penyempurnaan putaran dua, kami memastikan seluruh warga DKI Jakarta bisa memilih, nantinya hak konstitusional mereka bisa difasilitasi," sambungnya.

Ketiga, evaluasi terkait logistik pilkada seperti ketersediaan surat suara sehingga pemilih bisa menggunakan hak pilihnya. Keempat, evaluasi terkait teknis penyelenggaraan distribusi C6. "Pemahaman penyelenggara terhadap regulasi jadi perhatian yang sangat serius," imbuhnya. (dtc)

BACA JUGA: