JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berjalan selama 10 tahun ini ternyata banyak meninggalkan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh SBY sendiri di sisa masa pemerintahannya ini atau oleh presiden berikutnya. Salah satunya adalah soal perlindungan kepada para nelayan tradisional.

Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Perikanan (KIARA) mencatat selama rezim SBY memerintah terdapat sedikitnya 14,7 juta jiwa pelaku perikanan mulai dari sektor perikanan tangkap, budidaya, pengolahan dan pemasaran, bekerja tanpa perlindungan.

Pemerintah pimpinan SBY tidak pernah mengeluarkan kebijakan politik perlindungan dan pemberdayaan setingkat undang-undang dan pengalokasian anggaran yang sesuai kebutuhan. Hal ini berimbas pada bertumpuknya persoalan dari hulu (pra produksi dan produksi) hingga ke hilir (pengolahan dan pemasaran). Dampaknya adalah melemahkan daya saing bangsa dalam kompetisi regional dan global diantaranya di ajang Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

"Sudah bukan zamannya negara kelautan terbesar di dunia tidak memastikan perlindungan dan pemberdayaan nelayan melalui kebijakan penyelenggaranya," kata Sekjen KIARA Abdul Halim, kepada Gresnews.com, Rabu (4/6). Dia mengatakan, presiden terpilih nanti harus menyegerakan penyelesaian pekerjaan rumah ini.

"Tanpa politik pengakuan negara, pelaku perikanan nasional hanya akan menjadi penonton di tanah airnya," tambah Halim.

Tabel: Temuan Lapangan Kendala Hulu-Hilir Perikanan Skala Kecil/Tradisional

No Tahapan Temuan Lapangan
1 Pra Produksi
  • Nelayan kian sulit mengakses BBM
  • Kelangkaan dan sulitnya mendapatkan es batu untuk penyimpanan ikan
  • Tidak ada alternatif pekerjaan saat cuaca ekstrem
  • Keterbatasan modal dan sulitnya mengakses permodalan
  • Biaya melaut dan biaya untuk keluarga yang ditinggalkan selama melaut menjadi persoalan
  • Tidak ada informasi mengenai wilayah dan potensi sebaran ikan yang diterima nelayan dari dinas kelautan dan perikanan kota/kabupaten/provinsi
  • Renternir bertebaran di kampung-kampung nelayan
2 Produksi
  • Cuaca ekstrem menjadi kendala terberat nelayan
  • Beroperasinya kapal besar di wilayah pesisir (1-12 mil)
  • Pembiaran terhadap pemakaian alat tangkap trawl mengakibatkan rusaknya ekosistem pesisir dan hilangnya jaring nelayan
  • Nelayan tanpa jaminan perlindungan jiwa saat melaut
  • Perompakan di laut mengakibatkan tidak amannya nelayan
  • Kelebihan tangkap (over fishing)
  • Limbah Industri seperti PLTU perusahaan tambang dan lain-lain
  • Beroperasinya tengkulak/bakul di tengah laut dan memaksa nelayan menjual hasil tangkapannya dengan harga murah
3 Pengolahan
  • Harga ditentukan tengkulak/bakul
  • Tidak tersedianya alat/fasilitas pengolahan hasil tangkapan agar bernilai tinggi
  • Tempat pelelangan ikan tidak berfungsi
  • Tidak ada pelatihan pengolahan ikan dari dinas kelautan dan perikanan kota/kabupaten/provinsi
  • Tidak tersedianya cold storage
4 Pemasaran
  • Tidak adanya koperasi yang berfungsi untuk menyejahterakan nelayan
  • Tengkulak/bakul mendominasi pasar

Sumber: Rembug Nasional Pesisir, 2 Juni 2014

Pada kesempatan yang sama, Sekjen Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana mengatakan, kurang dari enam bulan, temuan di desa-desa pesisir harus ditangani segera oleh pemerintah. Langkah awal yang harus dilakukan, kata dia, adalah membuka ruang dialog dengan masyarakat nelayan dan perempuan nelayan di 10.666 desa pesisir.

Menurut Budi, dengan jalan itulah ditemukan kesamaan pandangan dan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti bersama. "Untuk memaksimalkan upaya perbaikan tersebut, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan menjadi sangat penting diwujudkan," ujarnya.

RUU Perlindungan Nelayan sendiri saat ini sebenarnya sudah dibahas di DPR. Hanya saja entah kenapa RUU itu tidak menjadi prioritas dan diperkirakan tidak akan selesai dalam periode keanggotaan DPR saat ini.

Sementara itu di sisi lain, pihak KKP sendiri merasa upaya pemeritah dalam memberikan perlindungan kepada nelayan sudah maksimal. KKP misalnya, untuk menghindarkan nelayan dari bencana alam yang diakibatkan oleh banjir, cuaca ekstrim dan gunung meletus kini tengah menyusun rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP).

"Saat ini rancangan Permen KP tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam Rakyat Yang Terkena Bencana Alam sudah memasuki draft final," kata Menteri KKP Sharif Cicip Sutardjo, seperti dikutip situs kkp.go.id, beberapa waktu lalu.

Sharif menjelaskan, Permen KP tersebut disusun untuk menjamin keberlangsungan kehidupan nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam rakyat yang terkena bencana alam melalui pemberian bantuan tanggap darurat yakni berupa bantuan pengobatan dan bantuan cadangan beras pemerintah.

Kemudian bantuan rehabilitasi pasca bencana berupa bantuan sarana dan prasarana yang disesuaikan dengan bidang usahanya, seperti usaha penangkapan ikan, pembudidayaan ikan dan produksi garam rakyat. "Pemberian bantuan dikhususkan bagi pelaku usaha perikanan dan kelautan yang tidak dapat melakukan usahanya akibat perubahan iklim, cuaca ekstrim dan bencana alam," kata Cicip.

Dalam penyaluran bantuan tanggap darurat, KKP berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait. Seperti berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk penyaluran bantuan pengobatan dan Kementerian Sosial untuk penyaluran bantuan cadangan beras pemerintah berdasarkan jumlah jiwa. Koordinasi penyaluran bantuan dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.

Selanjutnya bantuan diserahkan di pelabuhan perikanan atau di kantor kecamatan dimana Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam Rakyat berdomisili. "Dalam pelaksanaannya, kami akan melibatkan pemerintah daerah setempat. Sedangkan untuk pemberian bantuan rehabilitasi pasca bencana, akan disesuaikan dengan kondisi yang terkena dampak bencana," ujar Cicip.

BACA JUGA: