JAKARTA, GRESNEWS.COM - Proses kontestasi pemilihan umum (pemilu) di Indonesia dinilai masih transaksional. Akibatnya partai politik dan kandidat yang memiliki dana besarlah yang memiliki peluang untuk menang dalam pemilihan. Tak jarang terjadi, banyak kandidat memiliki kualitas lebih baik namun tak memiliki dana yang cukup, gagal terpilih. 

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurun Hafidz mengatakan, para calon atau pun parpol dalam kontestasi kerap tidak mengedepankan visi dan misi serta program ketika berinteraksi dengan masyarakat. Para calon justru masih menggunakan cara-cara transaksional. Antara lain dengan memberikan uang atau dalam bentuk barang untuk mempengaruhi pemilih.

Kondisi ini telah membuat sistem pemilihan tidak seimbang. Sebab kandidat yang berkualitas tapi minim dana belum tentu menang. Mereka kalah dari kandidat lain yang memiliki dana besar. Pada akhirnya pemilu menghasilkan pemimpin yang tidak berpihak kepada masyarakat. Hal itu terlihat dari kebijakan-kebijakannya yang tidak mementingkan kesejahteraan masyarakat.

"Kasus korupsi melibatkan pejabat negara termasuk anggota parlemen bukan terjadi karena mereka korupsi, tetapi proses seleksi pemilu di tingkat pusat dan daerah yang bersifat transaksional," kata Hafidz dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (02/6).

Menurutnya, untuk membenahi masalah tersebut, kodifikasi UU Pemilu yang diusung sejumlah organisasi masyarakat sipil harus mengatur hal ini. Maksudnya agar dalam pemilu tidak terjadi situasi politik yang transaksional. Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan mendorong para calon dan parpol lebih mengedepankan visi dan misi serta program, bukan dengan cara memberikan uang dan barang kepada pemilih.

Kodifikasi UU Pemilu tersebut, menurut dia, juga perlu mendorong parpol melaksanakan kampanye terhadap para kandidat dengan dilakukan tidak secara individu setiap masing-masing kandidat.
 
Selain itu dia menyarankan, harus diatur supaya kontrol dari penyumbang terhadap kandidat dan parpol bisa diminimalisir. Maka saat kandidat terpilih, kebijakannya lebih mengarah pada kesejahteraan untuk masyarakat

Sedangkan agar dana kampanye transparan dan akuntabel, dana politik bisa dimasukkan dalam satu rekening. Hal ini guna mempermudah pengawasan parpol atau kandidat. Juga lebih mudah menyampaikan laporan pemakaian dana kampanye dan dana politik. Selain itu, bentuk transaksi keuangan yang digunakan harus melalui mekanisme antarrekening, untuk memperkecil penggunaan uang tunai.

AUDIT DANA KAMPANYE - Sementara itu Wakil Koordinator ICW Ade Irawan menambahkan, ada cara untuk mendorong transparansi kandidat, misalnya, mewajibkan pelaporan dana kampanye. Sebab hingga saat ini masih banyak ditemukan laporan yang tidak sesuai dengan kondisi faktual.

Dalam catatan ICW, terdapat beberapa bentuk pelaporan dana kampanye. Seperti kandidat biasanya tidak memberikan data yang jujur terhadap besaran dana yang mereka terima. Bahkan ada sumbangan yang diterima kandidat tapi tidak masuk dalam laporan tersebut. Namun soal audit, standar audit yang ditetapkan hanya mengikuti standar akuntansi, tidak menyentuh pada subtansi.

Perlu ada sanksi tegas dalam audit terhadap dana kampanye. Jangan hanya memenuhi standar akuntansi, namun untuk tujuan khusus sehingga sampai ke subtansinya.

Untuk mencegah timbulnya praktik pemilu yang transaksional sebenarnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaporan Dana Kampanye. Peraturan yang belakangan diubah menjadi Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2014 itu merupakan satu-satunya cara menghentikan munculnya politik transaksional.

Hanya saja aturan tersebut masih memicu sejumlah kritik, karena dinilai memiliki sejumlah kelemahan. Diantaranya tidak adanya pembedaan yang tegas antara laporan dana kampanye calon anggota legislatif (caleg) incumbent dan caleg non incumbent. Padahal status kedua jenis caleg tersebut dinilai berbeda.

Caleg incumbent merupakan penyelenggara negara yang terikat aturan tidak menerima gratifikasi atau suap dari pihak mana pun terkait kedudukannya. Sementara caleg non incumbent bukan penyelenggara negara. Secara sistematis, potensi kecurangan penggunaan dana kampanye jauh lebih besar dilakukan caleg incumbent. KPU seharusnya melakukan penanganan khusus terhadap caleg incumbent.

Kelemahan lainnya, audit yang dilakukan terhadap laporan dana kampanye yang sudah disampaikan terkesan tidak serius.

Selain itu juga tidak ada kriteria yang jelas mengenai sumbangan yang bersifat tidak mengikat dalam Pasal 6 Ayat (4) PKPU 17 Tahun 2013, juga merupakan kelemahan peraturan tersebut.

BACA JUGA: