JAKARTA, GRESNEWS.COM - Setelah terombang-ambing cukup lama akhirnya Komisi II DPR RI dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memutuskan bahwa terpidana percobaan diperbolehkan mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah di Pilkada 2017. Keputusan itu dianggap melanggar UU Pilkada serta berdampak pada maraknya terpidana yang mengikuti Pilkada.

Hal tersebut diucapkan oleh Fadli Ramadhan selaku peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Ia juga menyatakan jika dilihat dari segi regulasi, diperbolehkannya terpidana percobaan mengikuti Pilkada jelas bertentangan. Sebab dalam Pasal 2 Ayat (7) UU Pilkada disebutkan bahwa hanya mantan terpidana yang diperbolehkan mengikuti Pilkada. Yang dimaksudkan mantan terpidana adalah orang yang sudah selesai menjalani masa hukuman dari pengadilan dan keputusan itu berkekuatan hukum tetap.

"Status terpidana percobaan kan masih jadi terpidana," ujar Fadli kepada gresnews.com, Selasa (13/9).

Dari situ, secara konstruksi hukum, orang yang terkena status hukum terpidana percobaan tidak memenuhi syarat menjadi calon kepala daerah. Terkait alasan DPR meloloskan terpidana percobaan untuk mengikuti Pilkada dikarenakan terpidana percobaan adalah kulva levi (kasus politik dan ringan yang tak disengaja) berbeda substansi. Sebab dalam UU Pilkada tidak disebutkan secara spesifik bahwa orang yang terpidana ringan boleh mengikuti sedangkan terpidana berat tidak. "Pokoknya selama dia masih berstatus pidana ya tidak boleh," ujarnya.

Oleh karena itu ia berharap agar KPU tetap pada pendirian awal untuk menolak secara tegas hasil keputusan Komisi II DPR dalam Rapat Dengar Pendapat. Apabila DPR tetap meloloskan peraturan tersebut, KPU, menurutnya, selaku kelompok yang berada di bawah undang-undang dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung.

"Kami berharap KPU berani melakukan hal itu dalam mewujudkan Pilkada yang bersih," ungkapnya.

ALASAN PEMBENAR - Sementara itu,  Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy menyatakan bahwa keputusan terpidana percobaan boleh mengikuti Pilkada masih akan dibahas lebih lanjut. Hal ini dilakukan untuk memperluas cakupan masalah, sehingga tidak hanya membicarakan soal hukuman percobaan.

"Memangnya orang yang terkena pidana lalu lintas dan pidana denda juga kehilangan haknya dalam mencalonkan diri," kata Lukman di DPR, Selasa (13/9).

Lukman juga menyatakan bahwa Komisi II DPR telah meminta pertimbangan para ahli hukum dalam masalah ini, pendapat ahli hukum tersebutlah yang menjadi pijakan Komisi II untuk memperbolehkan terpidana percobaan mengikuti Pilkada. Menurut para ahli hukum tersebut, seorang terpidana untuk tindak pidana ringan masih memiliki hak politik penuh kecuali dicabut oleh putusan hakim.

"Jadi terpidana kulva levi masih dapat mencalonkan diri dalam Pilkada," ungkapnya.

Senada dengan Lukman,  guru besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita menyatakan tidak ada masalah terpidana percobaan untuk mengikuti Pilkada. Sebab menurut UU jika terpidana sudah melewati hukuman selama lima tahun, hak untuk memilih serta dipilihnya dapat dipergunakan kembali, sedangkan jika terpidana ringan biasanya dikenakan hukuman di bawah lima tahun penjara.

"Tidak ada masalah, pidana bersyarat kan pelanggaran ringan," ujarnya kepada gresnews.com, Selasa (13/9).

Menurutnya yang tidak diperbolehkan adalah pelaku kejahatan berat seperti korupsi, teroris, narkoba maupun perampokan. Terkait persoalan moral terpidana mengikuti Pilkada, ia meminta jangan terlalu membesar-besarkan masalah tersebut. Sebab masyarakat yang nantinya memilih para calon tersebut, sehingga apabila masyarakat merasa calon tersebut kurang baik tentunya tidak akan dipilih.

"Udah pinter masyarakat itu, biar mereka yang memilih," ujarnya.

Selain itu, pemegang jabatan yang sekarang memegang kuasa juga belum terjamin seratus persen adalah orang-orang bersih. Sehingga tidak dapat melihat seseorang hanya dari status hukum yang dalam kasus ini adalah pidana ringan. Ia menyatakan tentunya masyarakat punya penilaian yang lebih dalam memilih pemimpin daerahnya, sehingga apabila seseorang tersebut adalah terpidana ringan akan tetapi mayarakat mempercayai orang tersebut untuk memimpin maka harus diberikan kepercayaan tersebut kepadanya.

POIN REVISI UU PILKADA - Pada Juni lalu, dalam sidang paripurna DPR RI telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi UU. Meski begitu, revisi UU Pilkada akhirnya disahkan. Dalam UU Pilkada yang telah disahkan, tercatat ada 21 poin perubahan. Berikut poin-poin tersebut:

1. Pasal 7 tentang pencalonan huruf s dan huruf t: Menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD, dan sebagai anggota TNI, Kepolisian, PNS dan kepala desa sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan.

2. Pasal 9 Tugas dan wewenang KPU poin a. Menyusun dan menetapkan PKPU dan pedoman teknis pemilihan setelah berkonsultas dengan DPR dan pemerintah dalam RDP yang keputusannya mengikat.

3. Pasal 10 ayat b1: KPU melaksanakan dengan segera rekomendasi dan atau putusan Bawaslu mengenai sanksi administrasi pemilihan.

4. Pasal 16 ayat 1a: seleksi anggota PPK dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota PPK.

5. Pasal 19 ayat 1a: seleksi anggota PPS dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota PPS.

6. Pasal 21 ayat 1a: seleksi anggota KPPS dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota KPPS.

7. Pasal 22B tentang Tugas dan Wewenang Bawaslu ditambah poin a1: menerima, memeriksa dan memutus keberatan atas putusan Bawaslu Provinsi terkait pemilihan Cagub Cawagub, Cabup Cawabup dan Cawali dan Cawawali yang diajukan pasangan calon dan atau Parpol/gab Parpol terkait dengan penjatuhan sanksi diskualifikasi dan atau tidak diizinkannya Parpol dan gabungan Parpol untuk mengusung calon dalam pemilihan berikutnya.

8. Pasal 41 ayat 1 dan ayat 2: Calon perseorangan mendaftarkan diri dengan menyerahkan dukungan dengan prosentase dari data jumlah pemilih pemilu paling akhir sebelumnya.

9. Pasal 41 ayat 2 (juga) sepertinya ini harusnya ayat (3): Dukungan yang dimaksud ayat (1) dan (2) dibuat disertai dengan fotokopi KTP Elektronik dan surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan pencatatan sipil yang menerangkan bahwa penduduk tersebut berdomisili di wilayah yang sedang menyelenggarakan pemilihan paling singkat satu tahun dan tercantum dalam DPT Pemilu sebelumnya di provinsi atau kabupaten kota dimaksud.

10. Pasal 42 (tentang pendaftaran Paslon dari Parpol) poin 4a: Dalam hal pendaftaran Paslon sebagaimana dimaksud ayat 4 (catatan:Pilgub) tidak dilaksanakan oleh pimpinan Parpol tingkat provinsi, pendaftaran Paslon yang telah disetujui Parpol tingkat pusat dapat dilaksanakan oleh Parpol tingkat pusat.

11. Pasal 42 (ttg Pendaftaran Paslon dari Parpol) poin 5a: Dalam hal pendaftaran paslon sebagaimana dimaksud ayat 5 (catatan:Pilbup Pilwali)tidak dilaksanakan oleh pimpinan Parpol tingkat kabupaten kota, pendaftaran Paslon yang telah disetujui Parpol tingkat pusat dapat dilaksanakan oleh Parpol tingkat pusat.

12. Pasal 57 ayat (2) Dalam hal WNI tidak terdaftar sebagai pemilih sebagaimana dimaksud di ayat (1), pada saat pemungutan suara menunjukkan KTP Elektronik.

13. Pasal 58 ayat (1) Daftar Pemilih Tetap pemilu terakhir digunakan sebagai sumber pemutakhiran data pemilih dengan mempertimbangkan DP4.

14. Pasal 61 Pemilih yang belum terdaftar dalam DPT yang bersangkutan dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan KTP Elektronik di TPS yang ada d RT RW yang tertera di KTP elektronik yang bersangkutan.

15. Pasal 63 tentang kampanye ayat 2a: Kampanye dalam bentuk pertemuan terbatas dan tatap muka didanai oleh Parpol dan atau Paslon.

16. Pasal 63 ayat 2b: Kampanye dalam bentuk penyebaran bahan kampanye kepada umum dan alat peraga kampanye dapat didanai dan dilaksanakan oleh Parpol dan atau Paslon.

17. Pasal 73 ayat 1 dan 2 : Calon dan atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan atau memberi uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan atau pemilih. Calon yang terbukti melakukan pelanggaran tersebut berdasarkan putusan Bawaslu dapat dikenakan sanksi pembatalan Paslon oleh KPU Provinsi/ KPU Kabupaten Kota.

18. Pasal 74 ditambah ayat a1 menjadi: Dana kampanye paslon dapat diperoleh dari: sumbangan Parpol/gabungan Parpol, sumbangan Paslon, sumbangan pihak lain yang tidak mengikat meliputi sumbangan perseorangan dan atau badan hukum swasta.

19. Pasal 74 ayat 5: Sumbangan dari perseorangan paling banyak 75.000.000 IDR dan dari badan hukum swasta paling banyak 750.000.000 IDR.

20. Pasal 85 ayat 1: Pemberian suara dapat dilakukan dengan: a. Memberi tanda satu kali pada surat suara, b. memberi suara melalui peralatan pemilihan secara elektronik.

21. Pasal 144: Putusan Bawaslu dan putusan Panwaslu mengenai sengketa pemilihan bersifat mengikat dan wajib ditindak lanjuti KPU Prov dan KPU kab Kota paling lambat 3 hari kerja.

BACA JUGA: