JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri harta kekayaan para calon menteri diapresiasi banyak pihak. Karena, dengan meminta penelusuran tersebut, Jokowi dianggap figur yang jujur dan berhati-hati dalam memilih calon pembantunya lima tahun mendatang.

Namun, dibalik permintaannya itu, Jokowi  mempunyai maksud terselubung. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu sepertinya menjadikan KPK dan PPATK sebagai tameng untuk menyingkirkan nama-nama calon menteri yang memang memiliki rekam jejak kurang bagus dan juga titipan partai politik maupun fihak lainnya yang merasa berjasa atas kemenangan Jokowi.

"Jokowi karena tidak punya wewenang, terikat kontrak politik, dia tidak bisa mendepak calon menteri. Makanya dia pake KPK, dan PPATK," ujar Pengamat Politik Burhanuddin Muhtadi kepada Gresnews.com, Selasa (21/10).

Walaupun, kata Direktur Eksekutif Indikator ini, pemilihan menteri merupakan hak prerogatif presiden. Namun hal tersebut cukup wajar, mengingat selama ini Jokowi berada dibawah bayang-bayang Megawati serta para partai politik pendukungnya.

"Tahapan, untuk menentukan hak prerogatif presiden. Rekam jejak para menteri. Sebagai orang jawa, dia enggak bisa nolak. Tetapi kalau yang mengatakan dan PPATK dan KPK kan beda. Intinya dia punya kenyamanan untuk menolak," cetusnya.

Meskipun begitu, Burhanuddin berharap Jokowi bisa memilih sendiri calon menterinya tanpa diintervensi pihak lain. Dosein Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini juga meminta Jokowi bisa memilih calon yang direkomendasikan KPK dan PPATK. Karena dengan begitu, ia akan memperoleh pembantu yang terbebas dari indikasi korupsi.

Pengamat Politik Universitas Paramadina Hendro Satrio mengatakan hal serupa. Menurutnya Jokowi harus berani menolak para calon menteri yang terindikasi terlibat tindak pidana korupsi meskipun calon tersebut merupakan titipan partai pengusungnya.

"Jokowi memang mempunyai hak, tapi ia berada dibawah kekuasaan powerful lainnya. Apalagi partai pengusung Jokowi sering mengatakan ia petugas partai," ujarnya.

Hendri mengatakan, permintaan Jokowi kepada KPK dan PPATK merupakan hal positif, namun alumnus Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada itu juga boleh saja tidak mengikuti rekomendasi yang dikeluarkan lembaga tersebut. Hal itu bisa terjadi jika memang Jokowi mempunyai penilaian lain kepada para calon menterinya itu.

Ia menjelaskan, hal yang dilakukan Jokowi ini cukup menarik. Karena baru pertama kali Presiden meminta masukan KPK dan PPATK dalam menetapkan calon menteri. Walaupun, Jokowi terkesan lebih tertutup dalam memilih para pembantunya dibanding era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Kalau waktu itu Pak SBY memanggil calon menterinya ke Cikeas, lebih terbuka, jadinya kita tahu nama-namanya. Sekarang Jokowi lebih tertutup, kita cuma bisa menduga-duga. Tetapi ini membebaskan nama-nama calon menteri yang muncul dalam kabinet," ungkapnya.

Hendri berpendapat, Jokowi harus benar-benar selektif memilih calon menteri. Jangan sampai, ia malah direpotkan oleh menteri yang seharusnya membantunya. Menurut Hendri, jika menterinya bermasalah, otomatis Jokowi juga kena imbasnya, karena dianggap tidak becus dalam memilih para menteri itu.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ketika dikonfirmasi wartawan mengenai dugaan pihaknya menjadi tameng Jokowi enggan berkomentar mengenai hal ini. Bambang tidak ingin berspekulasi apakah ada maksud tersembunyi dari Jokowi. "Gak tau saya," ucapnya singkat.

Dugaan bahwa Jokowi  menjadikan KPK dan PPATK sebagai tameng untuk mencoret nama-nama calon menteri yang tidak disukainya cukup beralasan. Dalam penelusuran yang dilakukan KPK, ada beberapa calon menteri yang terindikasi terlibat kasus korupsi.

Wakil Ketua KPK Zulkarnain mengatakan telah mengkategorikan tingkatan tersebut. Jika kategori tersebut berwarna merah, berarti calon menteri itu terindikasi kuat terlibat korupsi. Sedangkan jika berwarna kuning, yang bersangkutan dianggap kurang berkompeten menjabat sebagai menteri.

Sementara itu, Ketua PPATK Muhammad Yusuf awalnya memang berharap bertemu langsung dengan Presiden Jokowi dan tidak melalui Tim Transisi. Hal itu dimaksudkan, agar data kajian tersebut tidak bocor kepada publik. Karena dalam penelusurannya, PPATK juga mengecek rekening keluarga para calon menteri.

Kabar yang beredar, dari beberapa menteri Jokowi muncul nama Ketua Tim Transisi Rini Mariani Soemarno Soewandi serta mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Rini sendiri dituding terlibat kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara triliunan rupiah.  Sedangkan Sri Mulyani disebut-sebut terlibat dalam kasus pemberian FPJP Bank Century.

BACA JUGA: