JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi Pasal 5 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor yang dilakukan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau unlawful legal evidence, maka bukti dimaksud dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan. Kejaksaan pun makin ragu menyidik kasus ini.

Uji materi ini dilakukan Setya Novanto ketika Kejaksaan Agung menyelidiki kasus dugaan permufakatan jahat skandal ´Papa Minta Saham´ perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia yang melibatkan mantan Ketua DPR ini. Setya dua kali dipanggil Kejaksaan Agung untuk dimintai keterangan.

Meski tak terkait langsung, namun Kejaksaan Agung tetap menunggu putusan MK ini. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah menyatakan putusan MK akan menjadi pertimbangan penyidik untuk melanjutkan atau tidak dugaan permufakatan jahat yang melibatkan Setya Novanto tersebut.

"Tentunya, akan kita jadikan pertimbangan (soal penyelidikan) putusan MK tersebut," kata Arminsyah saat dikonfirmasi, Minggu (11/9).

Armin mengaku masih menunggu salinan putusan MK tersebut secara resmi untuk dipelajari secara matang sebelum menentukan langkah selanjutnya.

Sebelumnya Jaksa Agung M Prasetyo menegaskan kasus Papa Minta Saham masih tahap penyelidikan. Meskipun telah ada putusan MK yang bersifat final dan mengikat namun putusan MK tak berlaku surut. Sementara kasus Papa Minta Saham telah diselidiki sebelum ada putusan MK.

Namun dengan putusan MK, penyelidikan kasus perlu kajian ulang lebih dalam. "Kami masih tetap penyelidikan. Tentunya memerlukan pengkajian ulang. Putusan Mahkamah Konstitusi final," kata Prasetyo.

Kasus dugaan pemufakatan jahat ini diduga melibatkan Setya Novanto saat itu masih menjabat Ketua DPR RI, pengusaha ternama Riza Chalid dan ‎Maroef Sjamsoeddin saat itu menjabat Presiden Direktur PT Freeport Indonesia.

Rabu (7/9) lalu, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU ITE yang diajukan oleh Setya Novanto. Novanto menggugat UU ITE yang mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan yang sah, terutama dengan dokumen elektronik hasil dari penyadapan. Mahkamah dalam pertimbangannya berpendapat, penyadapan adalah kegiatan yang dilarang karena melanggar hak konstitusional warga negara, khususnya hak privasi untuk berkomunikasi sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945.

Begitu pula dalam konteks penegakan hukum, Mahkamah berpendapat bahwa kewenangan penyadapan juga seharusnya sangat dibatasi. Penyadapan harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar hak privasi warga negara yang dijamin UUD 1945 tidak dilanggar.

Berdasarkan hal itu maka Mahkamah menilai perlu memberi tafsir terhadap frasa "informasi elektronik dan atau dokumen elektronik" yang termuat dalam Pasal 5 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor. Mahkamah perlu juga mempertimbangkan mengenai bukti penyadapan berupa rekaman pembicaraan sesuai dengan hukum pembuktian.

Mahkamah berpendapat, ketika aparat penegak hukum menggunakan alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau unlawful legal evidence, maka bukti dimaksud dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan.


KESERIUSAN KEJAGUNG - Sebenarnya, lanjut tidaknya penyelidikan kasus dugaan permufakatan jahat bergantung keseriusan Kejaksaan Agung. Sebab dari awal kasus ini tidak murni hukum. Sebab disidiknya kasus ini bersamaan dengan proses politik di DPR. Ada desakan Setya Novanto lengser dari Ketua DPR.

Setelah benar-benar tak lagi menjabat Ketua DPR, Kejaksaan Agung tak lagi bersemangat mengusut kasus ini. Kasusnya kemudian diendapkan.

" Kami endapkan kasus dugaan permufakatan jahat ini," kata Prasetyo beberapa waktu sebelumnya.

Pengamat hukum pidana Abdul Fickar Hajar mengatakan, pengusutan dugaan permufakatan jahat ada di tangan Kejaksaan. Putusan MK tak ada kaitannya. Tugas jaksa adalah menyidik dan menuntut di pengadilan.

"Jika Kejagung merasa telah mempunyai bukti yang cukup bisa saja meneruskan perkara tersebut. Karena tugas Jaksa dalam perkara korupsi adalah menyidik dan menuntut di pengadilan, bahwa ada perbedaan tafsir hukum materiilnya itu mejadi ranah dan kewenangan hakim yang juga memiliki kewenangan untuk menafsir hukum dan perundang-undangan," kata Fickar dalam keterangannya beberapa waktu lalu.

BACA JUGA: