JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah penerbangan yang sangat luas. Sayangnya, kedaulatan RI atas ruang udaranya sendiri masih belum dikuasai sepenuhnya. Beberapa kontrol ruang udara di Indonesia khususnya di daerah perbatasan ternyata masih di bawah kendali beberapa negara tetangga yaitu Singapura dan Malaysia.

Flight Information Region (FIR) atau juga biasa disebut wilayah informasi penerbangan yang dikuasai negara tetangga ini sebetulnya sudah lama ingin diambil alih pengelolaannya oleh Indonesia melalui perintah Presiden Jokowi. Sayangnya proses pengambilalihan dari Singapura dan Malaysia ini walau amat erat kaitannya dengan kedaulatan negara ternyata tidak mudah untuk dilakukan.

Hal ini disebabkan karena Indonesia disinyalir belum siap akan infrastruktur dan sumber daya manusia yang akan mengelola ruang udara tersebut jika jadi diambil alih. Selain itu, mengambil alih wilayah udara ini pun tak mudah karena penanganannya sudah diatur dalam konvensi internasional melalui International Civil Aviation Organization (ICAO).

Apalagi, karena masalah ini menyangkut kepentingan tiga negara, maka setiap langkah suatu negara tidak bisa lagi didasarkan hanya pada kekuatan yang dimiliki, tetapi juga harus mendapatkan legitimasi internasional.

Menyikapi masalah ini, pengamat penerbangan Gerry Soejatman mengatakan, kontrol udara suatu negara oleh pihak lain, merupakan sebuah kelaziman dalam dunia dirgantara. Dalam hal ini, kata dia, Indonesia juga mengontrol ruang udara negara lain seperti Timor Leste (untuk ketinggian 24 ribu kaki ke atas) dan wilayah Christmas Island.

Nah, jika Indonesia ingin mempersoalkan ruang udara yang masih dikontrol Singapura dan Malaysia, maka Indonesia juga harus bersikap fair dan siap menyerahkan kontrol udara atas Timor Leste misalnya. "Mau tidak ngelepasin wilayah yang kita pegang? Jangan maunya ngambil aja," ujar Gerry Soejatman kepada gresnews.com, Minggu (11/9).

Terkait kontrol ruang udara di atas wilayah Batam, kata Gerry, Indonesia memiliki perjanjian dengan Singapura. Jadi walaupun kontrolnya dipegang Singapura, akan tetapi itu tidak mengganggu kedaulatan NKRI karena dalam perjanjian tersebut jelas disebutkan, Singapura hanya memiliki wewenang untuk mengontrol wilayah penerbangan dan Indonesia tidak diberikan pembatasan apapun kecuali syarat-syarat penerbangan demi keselamatan.

Perlu diketahui, pernah terjadi kasus yang terjadi pada tahun 1991, pada waktu itu Jendral Benny Moerdani sempat tidak diizinkan mendarat di Natuna oleh pemandu lalu lintas udara Singapura. Setelah cekcok selama lima belas menit akhirnya sang Jenderal pun bisa mendarat. Moerdani langsung mengeluarkan pernyataan agar pemerintah segera mengambil alih kontrol wilayah udara Natuna karena merasa aneh Indonesia harus minta izin ke negara lain untuk mendarat di wilayahnya sendiri.

"Tidak boleh melarang, kalau si Moerdani mau diputar-putar oleh Singapura ya itu salah dia sendiri," ujar Gerry.

Gerry mengatakan, Singapura pasti memiliki alasan kenapa tidak langsung memberikan izin pendaratan. Kemungkinan sedang ada penerbangan sipil lain yang ada sehingga kalau izin diberikan maka bisa terjadi kecelakaan. Jadi walaupun pesawat militer terbang di wilayah udara Indonesia yang dikelola kontrol penerbangannya oleh negara lain harus melapor agar tidak terjadi tabrakan dengan pesawat lain.

"Negara lain berhak untuk melarang tapi pelarangannya untuk segi keselamatan dan tidak ada urusannya dengan kedaulatan," tegasnya.

Selama ini ia menilai, pengelolaan kontrol ruang udara yang dilakukan Singapura cukup baik dan perjanjian yang ada pun cukup jelas. Singapura juga selalu memberikan uang hasil pengelolaan secara penuh kepada Indonesia dan apabila kita memaksa mengambil kontrol ruang udara di Batam yang saat ini dikontrol oleh Singapura hal itu akan merugikan Indonesia sendiri.

Menurutnya, Indonesia membutuhkan Singapura untuk maju demi keamanan regional. Jika Indonesia memaksa mengambil kontrol ruang udara berakibat penerbangan Singapura akan mati. Imbasnya Indonesia menjadi terbuka untuk diserang karena harus diakui manajemen dan pengaturan lalu lintas udara yang dimiliki Indonesia masih buruk. "Karena kita tidak becus mengelolanya China dapat menyerang, nah kita juga yang rugi," ujar Gerry.

DIKUASAI SEJAK 1946 - Selama ini kontrol ruang udara Blok ABC, yaitu wilayah udara yang berada di atas Pulau Natuna berbatasan dengan Singapura, Semenanjung Malaka hingga ke timur perbatasan Kalimantan Utara dengan Malaysia memang masih di bawah kendali Malaysia dan Singapura. Malaysia memegang kendali atas wilayah udara di atas Sumatera Utara dan Aceh sedangkan Singapura memegang kendali wilayah udara Batam dan sekitaran Natuna.

Pengambilalihan ruang udara di atas Sumatera Utara dan Aceh yang didelegasikan kepada Malaysia, sangat mudah dilakukan sejauh fasilitas komunikasi dan navigasi penerbangan terpasang dengan handal sesuai standar. Namun untuk kontrol ruang udara Singapora di atas Natuna, Tanjung Pinang, Batam akan sangat sulit untuk dilakukan karena letak geografis dan struktur pelayanan lalu lintas udara yang berbeda.

"Kita kan cuma punya perjanjian dengan Singapura dan tidak dengan Malaysia jadi ambil aja yang dipegang Malaysia," ujarnya.

Malaysia, kata Gerry, masih menolak memberikan kembali pendelegasian tersebut karena berkepentingan dengan penerbangan militer dari semenanjung. apabila Malaysia terbang ke Labuhan Serawak dan melintas di atas Kepulauan Natuna. Pesawat tersebut dengan bebas melintas di ruang udara kita tanpa harus lapor ke Indonesia. Sebaliknya pesawat TNI-AU dan TNI-AL yang melakukan operasi di kawasan itu harus lapor ke Malaysia.

Pengawasan dan pengaturan FIR untuk wilayah Natuna atau sektor ABC telah dipegang oleh Singapura sejak 1946 atau setahun setelah Indonesia merdeka. Saat itu, International Civil Aviation Organization (ICAO) menggelar pertemuan untuk membahas pembagian dan pengelolaan FIR. Namun perwakilan Indonesia tidak hadir. Alhasil, FIR untuk area Natuna diberikan kepada Singapura.

Mantan KSAU yang menjadi pengamat penerbangan Marsekal (Purnawirawan) Chappy Hakim pernah mengisahkan, sejarah "dikuasainya" ruang udara di atas Natuna oleh Singapura terjadi karena ketika itu ada peningkatan traffic lalu lintas udara di Malaka. Karena itulah kemudian ICAO menunjuk pihak yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan traffic di wilayah itu, seperti diantaranya memberikan pelayanan navigasi. Nah kemudian diadakanlah pertemuan antara negara-negara terkait di tahun 1946.

Sayangnya, Indonesia saat itu tidak bisa hadir karena baru saja merdeka. Karena itulah, kemudian pengelolaan wilayah di atas Malaka diserahkan kepada Singapura. "Sebetulnya bukan Singapura karena itu diserahkan ke koloni Inggris," urai Chappy, beberapa waktu silam.

Berjalan waktu, FIR yang dikontrol Singapura menjadi wilayah strategis. Kemudian, Indonesia pada 1991 mengajukan pengambilalihan FIR dari Singapura. "Namun Singapura enggan melepas. Malah memperkuat," ujarnya.

Chappy memandang FIR yang masih dikelola otoritas Singapura harus diambil karena merujuk pada konteks kedaulatan udara. Wilayah udara RI harus 100% dikontrol oleh otoritas Indonesia "Itu kedaulatan udara. Itu eksklusif," tegasnya.

Wilayah FIR tersebut, kata Chappy, sangat riskan kalau tidak dikuasai oleh Indonesia. Sebab wilayah yang dikelola merupakan area perbatasan strategis. Belajar dari pengalaman negara-negara lain, area perbatasan sangat rentan sebagai pemicu konflik.

"FIR Singapura merupakan critical boarder. Di sana angkatan perang harus familiar. Makanya Korea latihan perang di perbatasan. Kalau Indonesia mau hidupkan mesin jet tempur di Batam harus izin Singapura. Ini memalukan," jelasnya.

Sesuai undang-undang, FIR memang harus diambil alih oleh Indonesia paling lambat 2024. Untuk mengambil FIR, harus dilakukan negosiasi antar pemerintah, bukan diwakili oleh satu kementerian atau badan usaha. Setelah diambil alih oleh pemerintah, barulah pengelolaan FIr diserahkan kepada Perum Navigasi yang merupakan operator tunggal navigasi udara di Indonesia. Perum Navigasi sendiri telah siap mengelola FIR di wilayah itu.

BANYAK INSIDEN - Sikap Indonesia ingin mengambil alih wilayah udara khususnya di kawasan Natuna memang beralasan. Pasalnya, selama ini banyak insiden pelanggaran kedaulatan yang terjadi khususnya yang dilakukan Singapura. Tahun 2015 lalu misalnya, Singapura menjadikan wilayah udara Indonesia khususnya di atas wilayah Bintan, Kepulauan Natuna-Anambas sebagai area latihan militer.

Indonesia pun berang karena pesawat-pesawat tempur milik Singapura, kerap kali dengan seenaknya terbang di atas wilayah kedaulatan udara RI dengan dalih berlatih perang-perangan. Sebelumnya, pesawat-pesawat sipil dan pesawat latih Singapura juga kerap melakukan pelanggaran serupa. Bahkan akhir Oktober 2014 lalu, pesawat tempur TNI jenis Sukhoi SU-27/30 MKI Flankers, dari Skuadron Udara 11 terpaksa bersikap tegas dengan melakukan force down alias memaksa turun sebuah pesawat latih jenis Beechcraft 9L yang melanggar wilayah udara RI di Kalimantan Barat.

Singapura sendiri selalu berdalih penerbanganpesawat militernya di ruang udara Indonesia dilakukan karena ada perjanjian pemanfataan ruang udara tersebut dengan Indonesia. Namun perjanjian mengenai peminjaman bagian wilayah RI karena Singapura tak memiliki ruang udara untuk latihan adalah military training areas (MTA) itu habis pada tahun 2001.

Setelah itu, ada upaya kerjasama lain dengan penyusunan draf Defence Cooperation Agreement (DCA) pada tahun 2007, namun kemudian batal disepakati karena Singapura terlalu menuntut banyak. Karena itulah Indonesia tak menggubris komplain Singapura atas nota protes itu.

KSAU Marsekal Agus Supriatna (Ketika itu), menegaskan perjanjian yang sebelumnya mengizinkan Singapura untuk berlatih pesawat tempur kini sudah tidak berlaku lagi "Dia (Singapura) masuk wilayah kita dan kita usir. Dia komplain, kita jelaskan kalau dia yang salah karena perjanjiannya (sudah) tidak ada," jelas Agus

KSAU yang sempat bertugas sebagai atase di Singapura pun menyebut telah mengantisipasi agar Singapura Airforce tidak lagi nyelonong masuk ke wilayah kedaulatan NKRI. Agus juga telah menyiapkan kekuatan udara di wilayah Kepri dan kini Singapura sudah tidak lagi berani masuk wilayah udara RI. "Sekarang kita simpan pesawat kita di sana. Kita pantau terus. Nggak ada (pelanggaran) lagi di sana," kata KSAU.

Dalam prosedur setelah batalnya perjanjian DCA, jika Singapura ingin latihan di wilayah Indonesia, maka mereka harus mengajukan izin. Untuk draft DCA sendiri awalnya disepakati dengan pembagian tiga wilayah area latihan Singapura di RI. Namun meski sudah ditandatangani oleh Menhan yang kala itu dijabat oleh Juwono Sudarsano, akhirnya batal karena tidak mendapat persetujuan dari Komisi I DPR. Meski perjanjian batal, Singapura masih kerap menggelar latihan di wilayah Kepri yang ada di dalam draf perjanjian.

Bahkan Singapura pernah protes saat pesawat tempur Indonesia melintas di ruang udara tersebut saat sedang melakukan pengamanan. Padahal pesawat tempur TNI AU itu terbang di wilayah negaranya sendiri.

ANTISIPASI INDONESIA - Untuk mengantisipasi pelanggaran oleh Singapura, Indonesia sendiri sudah menggabungkan radar di sebagian wilayah Natuna ke dalam sistem Jakarta Air Traffic Service Center (JATSC) bersama radar di Pontianak dan Tanjung Pinang.

Radar wilayah Natuna, Pontianak dan Tanjung Pinang yang berhasil diintegrasikan adalah radar berjenis Monopulse Secondary Surveilance Radar (MSSR) Mode-S. Yang melakukan pengintegrasian radar adalah tim Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Direktorat Navigasi Penerbangan bersama Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) atau Airnav Indonesia.

Upaya pengintegrasian radar MSSR Mode-S ini bisa menjadi langkah persiapan sebelum radar wilayah Natuna benar-benar diserahkan ke Indonesia dari Singapura nantinya. JATSC saat ini terintegrasi 14 radar, 9 Automatic Dependent Surveillance Broadcast (ADS), Makassar Air Traffic Service Senter (MATSC) terintegrasi 17 radar dan 21 ADSB dan 3 ADSB Australia (sharing data).

Saat ini Indonesia memiliki dua wilayah kontrol udara (Flight Information Region/FIR) yang terbagi di wilayah barat dan timur. Pertama, Flight Information Region (FIR) Jakarta, yang didukung fasilitas radar meliputi wilayah Banda Aceh, Medan Kualanamu, Medan Padang Bulan, Pekanbaru, Palembang, Tanjung Pinang, Pontianak, Jakarta I, Jakarta II, Natuna, Yogyakarta dan Semarang. Jumlah radar yang dimiliki di wilayah barat sebanyak 16 unit.

Sedangkan yang kedua yaitu Flight Information Region (FIR) Ujung Pandang sebagai pusat kontrol radar di wilayah timur yang didukung fasilitas radar meliputi wilayah Makassar, Kendari, Palu, Manado, Banjarmasin, Balikpapan, Surabaya, Bali, Ambon, Sentani, Sorong, Biak, Merauke, Waingapu, Yogyakarta, Semarang dan Kupang. Jumlah radar yang dimiliki di wilayah timur sebanyak 23 unit.

BACA JUGA: