JAKARTA, GRESNEWS.COM - Meski dinilai sudah tak penting karena Pemilu 2019 dilakukan serentak, nyatanya pembahasan masaah ambang batas suara partai untuk mengajukan calon presiden alias presidential threshlod (PT) masih menjadi salah satu "pengganjal" utama pembahasan revisi UU Pemilu. Pasalnya masing-masing partai masih ngotot dengan tawaran masing-masing.

Silap pemerintah sendiri jelas mendukung usulan partai-partai besar. Hal itu tampak dari penegasan Presiden Joko Widodo yang menegaskan sikap pemerintah yang setuju dengan usulan PT 20 20 persen kursi DPR dan 25 persen perolehan suara sah nasional. Hal itu, kata Jokowi, penting agar pembangunan politik negara konsisten menuju pada penyederhanaan.

"Politik negara ini akan semakin baik harus ada konsistensi, sehingga kita ingin kalau yang dulu sudah 20 (persen), masak kita mau kembali ke nol," ucap Jokowi dalam keterangan tertulis yang disampaikan Kepala Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, Sabtu (17/6)

Dengan menerapkan ambang batas secara konsisten, maka akan terjadi penyederhanaan. "Baik parpolnya, baik dalam pemilunya. Kita harus konsisten seperti itu dan saya sudah menugaskan kepada Mendagri untuk mengawal itu," ujarnya.

Menanggapi kabar yang menyebut bahwa pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang bila tidak ada titik temu dalam pembahasan, Jokowi menegaskan saat ini RUU tersebut masih dalam pembahasan. "Kita ini sudah mengajak bicara fraksi-fraksi yang ada di sana untuk bersama-sama. Jangan hanya kepentingan hari ini atau kepentingan pemilu ini atau jangan kepentingan pilpres ini. Tapi harusnya kan visi ke depan kita, politik negara harus seperti apa. Kita kan harus menyiapkan itu kan," katanya.

Sementara itu, Jokowi enggan berkomentar jauh saat ditanya apakah pemerintah akan menarik diri dalam pembahasan apabila usulan ambang batas pencalonan presiden diubah. "Kan belum, ini masih pembahasan kok. Kamu jangan manas-manasi," tuturnya.

Sejauh ini, partai besar pendukung pemerintah memang solid dengan usulan angka PT antara 20-25% itu. Fraksi Golkar di DPR misalnya, punya banyak alasan mengapa ambang batas capres diperlukan. Ketua F-Golkar Robert Joppy Kardinal menyebut ambang batas itu tak menghilangkan hak seseorang untuk menjadi capres.

Namun, pembatasan diberlakukan semata-mata agar presiden terpilih nanti benar-benar mumpuni. "(Golkar ingin PT) 25-20%. Begini, kita milih bupati aja ada threshold-nya, masa presiden tidak pakai threshold. Mau berapa pasang nanti yang mau maju jadi calon presiden. Dengan threshold ini bukannya supaya hak orang lain itu disingkirkan tapi bisa milih orang yang berkualitas," kata Robert di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/6).

Ambang batas juga diperlukan agar capres-cawapres yang maju tidak ada kepentingan pribadi atau kelompok yang dibawa. Robert menegaskan ambang batas capres sangat penting.

"Di situlah disaring, tidak semua orang boleh di sana. Jangan-jangan ada mau calon presiden dan wakil presiden bisa paket untuk cari duit sendiri. Hal itu kemungkinan ada," sebutnya.

Selain itu, Robert menyebut proses musyawarah mufakat lebih baik diambil dalam memutuskan isu krusial di RUU Pemilu. Namun, Golkar tak menutup diri jika memang harus voting di paripurna.

"Musyawarah mufakat lebih bagus tapi voting itu juga bukan hal yang tabu karena memang aturannya boleh. Tapi lebih bagus musyawarah mufakat, kita kan bangsa Indonesia terkenal dengan musyawarah mufakat," ucap dia.

Golkar akan mengupayakan angka PT di RUU Pemilu seperti pemerintah, yakni 20-25%. Golkar masih akan terus melakukan lobi-lobi ke seluruh fraksi di DPR. "Kalau politik itu lobi terus, siang, malam, pagi. Juga ada yang sahur mau ke pagi juga. Dengan ketemu buka puasa bersama juga suatu lobi juga, namanya berpolitik berkomunikasi terus," cetus Robert.

KERJA KERAS - Dalam konteks ini, memang tidak semua partai pendukung pemerintah setuju usulan partai besar. Partai Hanura misalnya, lebih condong pada usulan partai menengah yaitu di angka 10-15%. Hanura juga menolak usulan partai kecil dan partai baru yaitu PT 0%.

Alasannya, Hanura menganggap seorang presiden harus punya rekam jejak. "Tidak mungkin zero. Karena apa, seorang presiden harus ada ukuran-ukuran track record, kemampuan," kata Ketum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) di GOR Soemantri Brodjonegoro, Jakarta Selatan, Jumat (16/6).

Pemerintah ingin presidential threshold sebesar 20-25%, sedangkan ada fraksi, seperti Demokrat, yang ingin 0%. Hanura menawarkan jalan tengah. "Hanura itu mengusulkan sebesar 15% karena, setelah ada perdebatan panjang antara zero dan 20%, maka kita ambil garis tengah," ucap OSO.

Menurut OSO, seorang presiden terpilih nantinya harus mendapat dukungan kuat di parlemen. Jika tidak, program pemerintah akan mengalami kesulitan untuk digolkan DPR.

"Nilainya ada di legislatif. Kalau dia tidak ada legislatif yang cukup di parlemen, maka tentunya presiden itu (tidak) bisa menguasai komunikasi di parlemen sehingga mendapatkan kesulitan menjalankan pemerintah," kata OSO, yang juga Ketua DPD.

Pemerintah mengancam akan mundur dari pembahasan RUU Pemilu jika DPR tak mengalah soal ambang batas capres yang diinginkan. Hanura berjanji segera melakukan komunikasi agar RUU Pemilu dapat segera disahkan. "Kita usahakan supaya ada komunikasi antara pemerintah dan partai politik. Sesegera mungkin, sebelum diputuskan hari Senin," ucapnya.

Untuk bisa menggolkan usulan PT 20-25%, pemerintah dan partai besar memang harus kerja keras. Karena selama ini praktis hanya Gplkar, PDIP dan Nasdem saja yang sejalan dengan usulan itu. "Dalam pembahasan RUU Pemilu ini, masing-masing partai tidak dapat dipungkiri berposisi pada kepentingan masing-masing partai di pemilu mendatang," ucap Sekjen PPP Arsul Sani.

Pemerintah bergeming untuk menurunkan angka itu namun menolak pengambilan keputusan dengan cara voting. Bahkan pemerintah mengancam akan mundur dari pembahasan RUU Pemilu dengan implikasi Pemilu Serentak 2019 menggunakan undang-undang yang lama.

PPP awalnya juga sama dengan PDIP, Golkar, dan NasDem. Namun, setelah lobi-lobi antar-fraksi, PPP bersedia menurunkan angka ambang batas capres di angka tengah. "Bagi PPP, kepentingan utamanya adalah soal alokasi kursi dapil 3-10 dan metode konversi suara yang bukan sainte-lague modifikasi seperti yang dikehendaki pemerintah," kata Arsul.

Sementara itu, Waketum Gerindra Fadli Zon mengatakan ambang batas capres tidak bisa diterapkan dalam Pemilu 2019. Dia menilai ambang batas capres (presidential threshold) dalam RUU pemilu merupakan hal yang sudah basi.

"Jadi presidential threshold yang mau dipakai ini presidential threshold yang sudah basi. Dengan sendirinya kalau kita mengikuti logika, sudah tidak ada lagi," kata Fadli.

Menurutnya, isu ambang batas capres hanya satu dari isu krusial dalam RUU Pemilu yang hingga saat ini belum diputuskan. Ada pula isu soal capres-cawapres tunggal. "Saya kira itu memangkas hak konstitusional dari warga negara yang dicalonkan. Karena ada kecenderungan ada pihak-pihak yang menginginkan calon tunggal atau dengan memaksakan kehendak mungkin dengan kekuasaan, uang, dan lain sebagainya," ujarnya.

Fadli mengakui tarik-menarik antara DPR dan pemerintah dalam pembahasan RUU pemilu masih alot. Namun dia yakin opsi pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) khusus untuk pilpres jika deadlock tidak akan terjadi.

"Nggak akan deadlock. Kita pasti akan mengambil keputusan dengan musyawarah atau dengan voting. Namanya dinamika biasa saja, selama ini kita masih on schedule. Senin besok kita akan rapat pansus terakhir RUU penyelenggara pemilu," tutur Fadli.

"Tetapi pengambilan keputusan tingkat dua sepakat fraksi-fraksi, tanggal 20 Juli. Jadi setelah Lebaran, sehingga memberikan waktu lagi untuk musyawarah mufakatlah," tuturnya. (dtc)

BACA JUGA: