JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kondisi ketahanan energi nasional saat ini berada dalam kondisi mengkhawatirkan. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, indikasi mengkhawatirkannya ketahanan energi nasional terlihat dari ketersediaan stok bahan bakar minyak yang hanya mampu menyangga kebutuhan untuk 20-25 hari saja.

Hariyadi mengungkapkan, minimnya ketersediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri terjadi akibat ketergantungan atas impor minyak mentah ataupun bahan bakar minyak (BBM) yang tidak lagi sebanding dengan tingkat konsumsi nasional. "Saat ini konsumsi sudah tidak sebanding dengan produksi secara alamiah maka akan menyebabkan persoalan harga dan ketersediaan," kata Hariyadi di Forum Ketahanan Energi, di Hotel Grand Sahid Jaya, di Jakarta, Kamis (8/9).

Krisis energi ini jika tak diatasi bisa berdampak pada keengganan investor menanamkan modalnya di dalam negeri. Salah satu syarat yang diminta investor adalah ketersediaan listrik. Hal inilah yang membuat program pembangkit listrik 35.000 Megawatt pemerintah menjadi penting.

Sayangnya, program untuk memperkuat ketahanan energi khususnya bidang kelistrikan itu juga masih menyimpan banyak masalah. "Ganjalan atau hambatan birokrasi dan aspek finansial salah satu yang menjadi rintangan yang harus terus dicarikan solusinya," ujarnya.

Terkait masalah ini, peneliti INDEF Ariyo DP Irhamna mengatakan, permasalahan yang dihadapi Indonesia untuk mencapai ketahanan energi adalah di tata kelola yang baik. "Sistem yang dibangun harus mengedepankan efisensi dan good corporate governance," kata Ariyo kepada gresnews.com, Minggu (11/9).

Ariyo menjelaskan, pemerintah harus mampu menciptakan tata kelola kelembagaan energi agar tercapai ketahanan energi. Di sisi lain, pemanfaatan dan fokus pengembangan energi terbaru dan terbarukan harus jadi prioritas. "Semua elemen bangsa harus didorong untuk menggunakan energi secara efisien dan memanfaatkan energi terbaru," ujarnya.

Hariyadi Sukamdani mendukung pendapat INDEF. Menurutnya, energi terbarukan dalam 20 tahun ke depan dipastikan akan menggantikan energi fosil. Pemerintah sendiri sudah mencanangkan bauran energi dengan mengedepankan energi terbarukan pada tahun 2050. Sayangnya, percepatan proyek EBT juga seringkali mengalami kendala terutama dikarenakan biaya implementasi yang masih tinggi.

Proyek EBT sudah sering digalakkan tetapi meredup ketika sumber energi fosil melimpah. "Kita berharap pola pengembangan EBT tetap konsisten meski awalnya membutuhkan investasi tidak sedikit tetapi cukup menarik untuk tahun-tahun berikutnya," kata Hariyadi.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, terdapat dua syarat agar Indonesia untuk mencapai kedaulatan energi yakni dengan cara dilakukan bersama-sama antara masyarakat dan pemerintah. "Dua syarat tersebut di dalam ketahanan energi, serta meningkatkan produksi energi dan efesiensi pengunaannya, hal ini sesuai dengan tuntutan dari green energi, karena itu tantangan kita untuk selalu menjaga ketahanan energi," kata JK.

JK menyebutkan, langkah yang perlu dilakukan agar mencapai ketahanan energi yakni dengan adanya konversi minyak tanah ke gas. Hal ini penting untuk membangkitkan sektor industri di Indonesia. "Kenapa diharuskan menggunakan gas, sebab pengembangan energi yang kita lakukan saat ini, jika tidak dilakukan, maka membuat industri mati. Faktor itu yang menyebabkan terjadinya efesiensi," ujarnya.

EFISIENSI - Selain konversi ke energi terbarukan, konversi minyak ke gas, untuk mendongkrak ketahanan energi, pemerintah juga sedang berusaha melakukan efisiensi penggunaan energi di dalam negeri, terutama energi minyak dan gas (migas). JK menyampaikan, produksi minyak Indonesia saat ini sudah turun 50% dibandingkan pada 1985 lalu.

"Pada tahun 1985 kita punya produksi minyak 1,5 juta barel per hari, sekarang kita tinggal setengahnya sekitar 800 ribu barel per hari. Tentu kita tahu semua harga juga berpengaruh kepada keadaan ekonomi ini, yang mempengaruhi harga harga minyak itu ialah negara itu sendiri seperti ekonomi negaranya itu sangat berpengaruh," papar JK.

JK mengatakan betapa masih pentingnya energi migas, sebagai bahan bakar utama transportasi. Karena 95% sarana transportasi di Indonesia masih menggunakan bahan bakar minyak (BBM).

Dia mengatakan, Indonesia saat ini membutuhkan investasi di sektor migas, sehingga kebutuhan yang meningkat bisa terus terpenuhi. Namun tak hanya migas, sumber energi lain yang dimiliki Indonesia juga harus ditingkatkan. Seperti energi terbarukan untuk listrik.

"Venezuela punya sumber minyak terbesar di dunia. Tapi saat ini mencari makan saja susah, sangat miskin karena dia memperlakukan energi sangat murah bukan sebagai komersial. Akhirnya kolaps negeri itu ketika harga minyak turun. Mereka mengandalkan 95% penghasilan dari minyak. Saudi juga 90%," tutur JK.

Dulu 80% penghasilan Indonesia dari minyak, dan sekarang berkurang menjadi 25%. Indonesia sudah cepat melakukan penyesuaian. Dia meminta seluruh masyarakat untuk bisa menghargai energi dan tidak boros dalam menggunakannya. Meskipun Indonesia merupakan negara kaya beragam sumber energi.

Indonesia memang harus berhati-hati memanfaatkan sumber daya minyak lantaran saat ini Indonesia juga sangat tergantung pada impor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Menko Kemaritiman sekaligus Plt Menteri ESDM Luhut Binsar Panjaitan menyebut, ini semua akibat miss management di sektor energi.

Banyak regulasi-regulasi yang malah merugikan negara. Misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 (PP 79/2010). Aturan soal cost recovery dan pajak di hulu migas ini membuat investasi di hulu migas tidak menarik. Investor malas mencari minyak di Indonesia karena banyaknya pajak yang dibebankan.

"Masalah ketahanan energi, ini miss management saja. Selama sebulan saya jadi Plt Menteri ESDM, saya melihat salah urus saja semua. Terlalu banyak aturan tumpang tindih yang mengikat kita sendiri. Misalnya PP 79, ya orang nggak maulah belum apa-apa sudah dipajakin," papar Luhut.

Luhut menjelaskan, perairan Indonesia punya begitu banyak potensi migas. Tapi tak ada investor yang mau melakukan eksplorasi karena banyaknya pajak sebagaimana diatur dalam PP 79/2010. Sementara eksplorasi migas di laut dalam sangat besar risikonya. Akibatnya, cadangan terbukti minyak Indonesia tak bertambah, hanya 3,6 miliar barel, tidak ada penemuan cadangan baru.

"Potensi laut dalam kita di minyak sangat besar, bisa 100 miliar barel. Gas juga begitu. Tapi cost-nya jadi tinggi. Satu sumur bisa US$100-125 juta, kalau dry hole langsung hilang itu. Kita harus kasih insentif. Kalau IRR hanya 4-5 persen ya nggak ada yang mau. Cadangan kita 3,6 miliar tidak pernah bertambah karena kita tidak melakukan eksplorasi lagi," ucapnya.

GAS MAHAL - Di sisi lain, ketika ingin melakukan konversi minyak ke gas, Indonesia juga terbentur harga gas yang mahal di dalam negeri. Terkait harga gas, Indonesia memang dinilai masih kalah kompetitif dibandingkan Vietnam dan Thailand. Harga gas industri di Indonesia menyentuh angka US$8-US$10 per Million Metric British Thermal Unit (MMbtu). Lebih mahal dibandingkan dengan harga gas industri di Singapura sekitar US$4-US$5 per MMbtu, Malaysia US$4,47 per MMbtu, Filipina US$5,43 per MMbtu, dan Vietnam sekitar US$7,5 per MMbtu.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto mengatakan kondisi ini menempatkan Indonesia berada di peringkat yang tergolong buncit di antara negara dengan harga gas yang efisien. "Itu kalau kira-kira indeksnya 100, di kita itu 170. Nah kalau di Vietnam mungkin aja 120 jadi kita agak jauh ketinggalan," ujarnya.

Untuk soal ini, anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Satya Widya Yudha mengatakan, harga gas murah bisa dicapai jika pemerintah melakukan pembenahan kontrak hulu kontraktor migas. Pembenahan di hulu ini perlu karena menjadi penyedia sumber gas bagi industri. "Pemerintah harus membuat kontrak hulu migas semenarik mungkin untuk investor," ujarnya, Jumat (9/9).

Pembenahan tersebut, menurut Satya, antara lain bisa dilakukan dengan menerapkan skema bagi hasil sliding scale. Dengan skema ini, maka ketika harga minyak naik maka pemerintah diuntungkan, karena mendapat bagian lebih besar. Namun, ketika harga minyak rendah seperti sekarang, maka penerimaan negara bisa berkurang. Hanya saja, investasi untuk kegiatan hulu migas tetap berjalan, karena tetap bisa ekonomis untuk diproduksi.

Satya meyakini ketika harga minyak mentah di atas US$100 per barel misalnya, kontraktor migas tak keberatan pemerintah mendapat porsi lebih besar. Pasalnya, dengan mendapat porsi kecil saja, kontraktor migas sudah untung. "Tapi ketika harga minyak di bawah US$20 per barel, mendapat porsi lebih kecil, sehingga dengan begitu si kontraktor bisa bertahan dengan harga minyak di bawah," kata dia.

Menurutnya, sliding scale ini bisa jadi semacam insentif untuk meningkatkan tingkat keekonomian. Dengan tetap adanya kegiatan di hulu migas, maka dapat meningkatkan ketahanan energi nasional. Adapun tentang ketahanan energi, Satya mendefinisikan sebagai ketersediaan sumber energi yang tidak terputus dengan harga yang terjangkau serta ramah lingkungan. Ketersediaan berarti kemampuan untuk memberikan jaminan pasokan energi.

Selain ketersediaan, ketahanan energi juga menyangkut daya beli yakni kemampuan untuk menjangkau harga (keekonomian) energi. Juga, aksesibilitas yakni kemampuan untuk mendapatkan akses terhadap energi. Dan terakhir, tentu saja harus ramah lingkungan.

"Ini berkaitan dengan pemanasan global, yang juga mempengaruhi kehidupan kita yang dampaknya sudah nyata kita rasakan," tutur Satya.

PERUBAHAN PARADIGMA - Pada kesempatan tersebut, Satya mengingatkan kembali bahwa Indonesia sangat bergantung pada sumber energi fosil, terutama pada bahan bakar minyak dan batu bara. Dengan pola konsumsi, dan ekspor batubara mengikuti tren selama ini dan bila tidak ada penemuan cadangan baru, maka akan terjadi defisit batu bara pada tahun 2046.

Lalu, dengan cadangan terbukti minyak bumi 3,6 miliar barel dan produksi 288 juta barel, maka cadangan minyak bumi diperkirakan akan habis pada tahun 2029 (13 tahun). Sedangkan, dengan cadangan terbukti gas bumi sebesar 100,3 TSCF dan produksi 2,97 TSCF, maka cadangan gas bumi diperkirakan akan habis pada tahun 2050 (34 tahun).

Adapun ketergantungan pada minyak lainnya, sebagian besar membahayakan keamanan energi Indonesia karena pasar energi internasional tak terduga, misalnya lantaran ada kejadian ektrem atau lonjakan harga. Untuk mengatasi masalah itu, Satya berpendapat tentang perlunya perubahan paradigma dalam membuat kebijakan energi.

Perubahan paradigma pertama adalah dari basis pendapatan menuju basis pertumbuhan ekonomi (revenue based to economic growth based). Artinya, perubahan paradigma dalam pengelolaan energi dari melihat komoditas hanya untuk mencari uang menjadi modal untuk menggerakan pertumbuhan ekonomi.

Jika paradigma tersebut berubah, maka sumber energi akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik, mendukung dan memperkuat industri dalam negeri, dan sumber energi tidak diekspor dalam bentuk mentah.

Perubahan paradigma kedua adalah industri mengikuti konsep energi (industry follows the energy concept). Artinya, perubahan paradigma yang membuat multiplier effect yang lebih besar, dengan berubah dari global value change menjadi national value change.

Perubahan paradigma ketiga adalah konversi minyak ke gas bumi. Cara antara lain dengan menggunakan gas alam untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara, dan minyak sampai alternatif bersih menjadi skala yang lebih besar untuk masa depan yang lebih rendah karbon.

Lalu, menjalankan peta jalan konversi BBM ke BBG dengan membangun infrastruktur yang dibutuhkan. Cara lainnya, dengan penggunaan BBG untuk nelayan (satu tabung 3kg senilai Rp20 ribu sd Rp25 ribu dapat digunakan tiga hari atau setara enam liter senilai Rp54.000 s/d Rp60.000).

Kemudian, pemanfaatan CNG untuk city gas. Serta, penggunaan BBG untuk transportasi, dengan memberikan insentif untuk kendaraan berbahan bakar gas. Maka, konsumen dapat berhemat karena harga BBG hanya Rp4.100 per liter setara premium. (dtc)

BACA JUGA: