JAKARTA, GRESNEWS.COM – Persoalan ambang batas kemenangan calon kepala daerah pada pemilihan kepala daerah (pilkada0 masih menjadi perdebatan di internal komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perdebatan yang mengemuka adalah soal angka yang diperlukan untuk menjadi batas minimal kepala daerah bisa terpilih.

Tidak hanya itu, legitimasi politik jika ambang batas terlalu kecil bisa menjadi persoalan. Lalu ambang batas ini juga akan berpengaruh terhadap mekanisme pilkada satu atau dua putaran.

Ketua Komisi II DPR Fraksi Golkar Rambe Kamarulzaman menuturkan Komisi II DPR belum menyepakati persoalan ambang batas kemenangan. Hanya saja mayoritas fraksi cenderung mengusulkan agar ambang batas kemenangan diturunkan angkanya dari 30 persen menjadi 20 hingga 25 persen.

"Soal legitimasi tidak masalah. Lagipula kalau ada putaran kedua yang memilih tidak akan sebanyak pada putaran pertama," ujar Rambe saat dihubungi Gresnews.com, Sabtu (31/1).

Lalu anggota Komisi II DPR Fraksi PAN Yandri Susanto mengatakan perdebatan soal ambang batas masih alot. Ada berbagai macam masukan yang dimunculkan diantaranya ada fraksi yang menginginkan hanya ada satu putaran pilkada saja. Lalu ada juga yang mengusulkan ambang batas 30 persen dan usulan soal yang tertinggi otomatis menjadi pemenang.

"Kalau PAN tetap 30 persen ke atas, kita cenderung kesitu," ujar Yandri pada Gresnews.com, Sabtu (31/1).

Ia menjelaskan ada sejumlah resiko kalau ambang batas dihapus dan ditetapkan suara terbanyak yang menjadi pemenang. Misalnya minoritas yang solid bisa saja menang dari mayoritas yang terpecah-pecah karena mengajukan banyak calon.

Ia mengkhawatirkan yang mayoritas akan dipimpin minoritas. Sebaliknya, kalau mayoritas menang bisa menekan minoritas. Yandri pun menekankan asas keadilan perlu diperhatikan untuk mempertimbangkan soal ambang batas kemenangan pilkada.

Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyetujui ambang batas kemenangan 30 persen saat pilkada sesuai dengan isi Perppu pilkada. Hanya saja suara pemilih calon kepala daerah dikhawatirkan tidak mencapai 30 persen. Sehingga diperlukan putaran kedua.

"Kalau lihat selama ini putaran kedua tidak banyak mengubah pemenang pilkada," ujar Titi pada Gresnews.com, Sabtu (31/1).

Ia menyarankan agar sistemnya lebih sederhana, ambang batas ditargetkan 30 persen. Tapi kalau tidak memenuhi angka tersebut maka suara tertinggi yang akan maju sebagai kepala daerah terpilih. Saat ditanya soal legitimasi politik jika yang terpilih adalah suara yang tertinggi tapi di bawah ambang batas 30 persen, ia menilai tak masalah. Sebabnya fragmentasi politik lokal tidak sehebat nasional.

Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat menerima Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2014 tentang pilkada langsung yang diajukan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Perppu ini diterbitkan tak jauh dari waktu pengesahan Undang-Undang pilkada melalui DPRD yang kemudian dicabut. Karena Perppu terkesan dibuat terlalu terburu-buru, komisi II menilai secara substansi memiliki banyak kekurangan. Sehingga mereka pun sepakat untuk merevisinya.

BACA JUGA: