JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kemiskinan masih menjadi momok dalam dua tahun Presiden Joko Widodo memperjuangkan Nawacita yang menjanjikan perubahan. Negara ini akan memasuki 71 tahun peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia namun kemiskinan masih menjadi masalah besar di negeri yang kaya sumber daya alam ini. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan penduduk miskin per Maret tahun 2016 mencapai 27,9 juta jiwa.

Dari data tersebut diketahui sekitar 62,71% atau 17,5 juta jiwa penduduk miskin tersebut tinggal di perdesaan. Jumlah terbanyak terdapat di Pulau Jawa (53,48%) dan Pulau Sumatera (22,41%). "Saya pesimis pemerintah mampu menurunkan tingkat kemiskinan sampai 7%-8% sesuai dengan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019," ujar Direktur Eksekutif Pusat Kajian Keuangan Negara Adi Prasetyo dalam pesan kepada gresnews.com, Senin (15/8).

Walau tingkat kemiskinan di perdesaan tergolong fluktuatif setiap tahunnya, misal pada Maret 2014, persentasenya 62,82%, kemudian naik menjadi 63,18% per September 2014. Ternyata pada 2015, persentase penduduk miskin perdesaan tercatat turun menjadi 62,75% pada Maret lalu naik tipis menjadi 62,76% di September.

Provinsi Papua memegang rekor penyebaran penduduk miskin di perdesaan paling tinggi sebesar 96,61%, dilanjut Provinsi Nusa Tenggara Timur 91,05%, Provinsi Papua Barat 90,72%, Provinsi Gorontalo 88,15%, dan Provinsi Sulawesi Selatan 87,65%.

"Tapi pada September 2015 sampai Maret 2016 ada 22 Provinsi mampu mengurangi jumlah penduduk miskin di perdesaan," katanya.

Data tersebut diperoleh berdasarkan analisis Pusat Kajian Keuangan Negara, pada medio tahun ini. Provinsi yang paling tinggi persentase penurunan kemiskinan desa terdapat di Sulawesi Tenggara, yaitu dari 288.250 jiwa menjadi 109.144 jiwa atau sebesar 54,79% dari total penduduk miskin di wilayahnya. Disusul kemudian Provinsi Bali berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin desa sampai 12,23%, Provinsi Sulawesi Utara (8,35%), dan Provinsi Riau (6,83%). Adapun 18 Provinsi lainnya persentase pengurangan penduduk miskin desa di bawah 4%.

Sementara itu, terdapat 11 Provinsi yang bertambah jumlah penduduk miskin di perdesaan pada medio September 2015 s/d Maret 2016. Penambahan terbesar terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah (9,29%), Kepulauan Bangka Belitung (7,34%), Bengkulu (4,39%), serta Sulawesi Tengah (4,28%).

Penurunan jumlah penduduk miskin di perdesaan selama medio 2015 sampai Maret 2016 sangat kecil, dianggap belum berimbang dengan semangat Nawacita Presiden Jokowi. Penduduk miskin desa hanya turun 1,20% saja atau sekitar 336 ribu jiwa per Maret 2016.

"Ini tak sebanding dengan semangat membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa,” kata Adi Prasetyo.

Menurutnya, strategi serta pola penanggulangan kemiskinan desa selama ini cenderung tidak tepat sasaran, tidak efektif, dan belum menjadi agenda prioritas semua pemangku kepentingan. Misal pada anggaran dana desa yang sangat besar namun kurang teralokasi dengan baik. Dengan estimasi Kemenkeu total dana yang akan masuk ke desa sampai tahun 2019 sebesar Rp175.494,9 miliar atau rata-rata per desa senilai Rp2.368,6 juta.

"Dana ini akan mubazir apabila tidak didukung oleh stakeholders yang lain yaitu pemerintah daerah dan perbankan,” ujarnya.

Diketahui, berdasarkan data Kemenkeu pada tahun 2015, Dana Desa (DD) yang dialokasikan di APBNP sebesar Rp20.766,2 miliar sehingga rata-rata DD per Desa Rp280,3 juta. Selain DD dana lain yang masuk ke desa adalah Alokasi Dana Desa sebesar Rp32.666,4 miliar, bagi hasil Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebesar Rp2.091 miliar. Sehingga total dana yang masuk ke desa tahun 2015 adalah sebesar Rp55.523,6 miliar atau rata-rata per desa sebesar Rp749,4 juta.

Tahun 2016, DD diperkirakan sebesar Rp47.684,7 miliar sehingga rata-rata DD perdesa sebesar Rp643,6 juta. ADD senilai Rp37.564,4 miliar, bagi hasil PDRD Rp2.412,4 miliar. Sehingga diperoleh total sebesar Rp87.661,5 miliar dan rata-rata perdesa Rp1.183,1 juta.

Tahun 2017, DD diperikaran senilai Rp81.184,3 miliar sehingga rata-rata DD per Desa Rp1.095,7 juta. Tambahan dari ADD sebesar Rp42.285,9 miliar, bagi hasil PDRD Rp2.733,8 miliar sehingga total dana yang ditransfer ke desa sebesar Rp126.204,2 miliar sehingga rata-rata per desa didapat Rp1.703,3 juta.

Tahun 2018, DD yang dialokasikan dari APBN diperkirakan naik menjadi Rp103.791,1 miliar dengan rata-rata DD per desa Rp1.400,8 juta. Tambahan dana dari ADD sebesar Rp55.939,8 miliar, bagi hasil PDRD Rp3.055,3 miliar. Sehingga total dana yang didapat oleh Desa sebesar Rp162.786,3 miliar atau rata-rata per Desa senilai Rp2.197,1 juta.

Tahun 2019, DD diperkirakan meningkat lagi menjadi Rp111.840,2 miliar sehingga rata-rata DD perdesa sebesar Rp1.509,5 juta. Sedangkan tambahan dana lain yang masuk ke desa berupa ADD Rp60.278,0 miliar, bagi hasil PDRD Rp3.376,7 miliar. Sehingga total dana yang akan masuk ke desa diperkirakan sebesar Rp175.494,9 miliar atau rata-rata perdesa senilai Rp2.368,6 juta.

"Pemerintah harus mereformulasi strategi penanggulangan kemiskinan, khususnya di desa agar sejalan dengan visi Nawacita," katanya

Lebih lanjut Prasetyo mengatakan, penduduk miskin yang paling besar jumlahnya adalah yang bekerja pada subsektor tanaman pangan yakni 62,97% dari total penduduk miskin sektor pertanian. Karena itulah pembangunan pertanian perlu menjadi perhatian semua kalangan. Karenanya pemerintah perlu memberikan stimulus seperti menugaskan BUMN dan BUMD agar fokus menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR) ke sektor pertanian dan perkebunan.

"Kelompok-kelompok tani dikonsolidasikan kembali agar dapat meningkatkan gairah penduduk desa," katanya.

KURANGI KESENJANGAN - Sementara itu, menjelang pembacaan RAPBN 2017 Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenny Sucipto menyatakan pemerintah harus mengutamakan kesejahteraan masyarakat khususnya untuk mengurangi kesenjangan pendapatan antara si kaya dan si miskin.

Pasalnya, pada periode 2015-2016, pemerintah sudah mengabaikan anggaran belanja mandatori program untuk masyarakat. Anggaran untuk pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dan pelayanan umum dipangkas sedangkan belanja keamanan dan pertahanan yang ditingkatkan.

Menurutnya, dalam RAPBN 2017 permasalahan Tax Amnesty dan penyertaan Modal Negara (PMN) BUMN harus dikaji lebih mendalam, sebab jika Tax Amnesty dipaksakan masuk dalam RAPBN 2017 terdapat berbagai potensi besarnya penerimaan pajak dari para pengemplang pajak, maka Indonesia dapat melunasi utang hingga persoalan besar lainnya.

"Rendahnya penerimaan negara membuat program Pengampunan Pajak terancam gagal," ujar Yenny di Bakoel Koffie, Jakarta, Senin (15/8).

Pada tahun ini, penerimaan negara yang diperoleh dari target tarif tebusan sebesar Rp165 triliun dari PDB Rp11.000 triliun. Sedangkan setiap tahunnya Indonesia diharuskan membayar bunga utang luar negeri sebesar Rp156 triliun. Jumlah tersebut sekitar 13,18% dari belanja pemerintah pada tahun 2015. Untuk melunasi utang tersebut, negara harus menagih piutang dari likuidasi.

Sama halnya seperti tax amnesty, PMN BUMN juga dianggap tidak sesuai dengan rencana penghematan anggaran oleh DPR RI karena tidak didasari pada Roadmap Pembangunan yang jelas dan berpengaruh pada penghematan APNBP. Contohnya PLN yang mendapatkan PMN sebesar Rp10 triliun tunai dan Rp13,56 triliun tidak tunai jadi seluruhnya sebesar Rp23,56 triliun dan uang ini digunakan untuk menarik investor dalam proyek 35.000 MW.

"Uang itu bukan untuk pembiayaan penuh," ungkap Yenny.

Oleh karena itu, ia meminta agar pemerintah lebih berhati-hati dalam merumuskan APBN 2017. Sebab pada akhir 2016 saja terdapat potensi defisit anggaran sebesar Rp218 triliun. Apabila Presiden masih berniat untuk memangkas anggaran, maka PMN BUMN seharusnya tidak lagi mendapatkan penambahan pada APBN 2017 mendatang.

BACA JUGA: