JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gaduh kembali terulang. Setelah rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menggagas program sekolah sehari penuh (full day school) kini giliran Menteri Kordinator Maritim Luhut Binsar Pandjaitan yang bikin gaduh. Luhut, yang menggantikan Rizal Ramli itu, berencana membuka keran investasi di wilayah perikanan tangkap dengan cara merevisi Peraturan Presiden Nomor 44 tahun 2016 terkait Daftar Negatif Investasi (DNI) tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Rencana tersebut mendapat penentangan yang keras dari Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti, bahkan ia sampai mengancam mengundurkan diri jika perikanan tangkap dikeluarkan dari DNI. Melihat sikap Susi yang tegas menolak, pada Selasa (9/8) kemarin, Luhut mengklarifikasi pernyataannya.

Ia membantah kalau dirinya mengusulkan untuk membuka investasi asing di sektor perikanan tangkap. Luhut berdalih, sektor perikanan tangkap bisa dilakukan oleh nelayan dalam negeri. Jika tidak mampu, baru dibuka opsi melakukan usaha patungan dengan cara kerja sama antara negara-negara asing dan pengusaha Indonesia. Itu pun perusahaan tersebut harus berbasis di Indonesia dan kapalnya juga merupakan kapal asal Indonesia.

Saat ini, Kementerian Koordinator Kemaritiman masih melakukan kajian dan mempelajari mana yang terbaik. Jika nelayan dalam negeri bisa mencukupi sektor perikanan tangkap ini, tidak perlu dibuka opsi keikutsertaan asing.

Dukungan mengalir dari parlemen akan sikap tegas Susi menolak membuka keran investasi. Anggota Komisi IV DPR RI Firman Soebagyo berpendapat pembukaan keran investasi ini hanya kedok bagi kapal asing untuk kembali mengeruk kekayaan perikanan Indonesia. Bahkan terbuka kemungkinan semakin banyaknya permainan antara pemerintah dan para pengusaha yang mempermainan kembali perizinan agar kapal-kapal asing yang sudah lama ataupun sudah habis masa izinnya di dalam negeri mendapat kesempatan melakukan pemutihan.

Apalagi, menurut Firman, jika rencana tersebut dilakukan maka nelayan maupun pengusaha perikanan lokal pasti kalah bersaing dengan para investor asing dari segi teknologi maupun modal. "Ini bahaya, peraturan kita memang tidak menafikan adanya investasi tapi jangan ada kepentingan sendiri di atas kepentingan nasional," ujar Firman kepada gresnews.com, Rabu (10/8).

Ia juga menyatakan bahwa investasi itu sah-sah saja selama dilakukan dengan mekanisme dan ketentuan perundang-undangan dan tentunya harus mempertimbangkan kepentingan nasional. Jangan sampai dibuka selebar-lebarnya dan berdampak hancurnya kehidupan nelayan dan sumber daya alam yang habis dikeruk oleh pihak asing.

Sebab jika pihak asing dibiarkan berinvestasi di sektor penangkapan, pastinya setelah menangkap ikan di wiliyah Indonesia, para investor asing tersebut tidak akan melakukan pengolahan di dalam negeri tetapi mengolah di negerinya masing masing. "Kapal mereka rata-rata di atas 300 gross ton, Setelah mereka keruk mereka bawa pulang, nelayan kita tidak dapat apa-apa," ujarnya.

Senada dengan rekannya, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaeron juga mendukung sikap Susi. Terkait Aturan DNI ia menyatakan sebaiknya Luhut memberikan otoritas kepada menteri teknis terkait, berkaitan dengan kebijakan sektoralnya. "Jangan ada muatan-muatan yang menyebabkan otoritas menteri sektoral di intervensi," katanya kepada gresnews.com, Rabu (10/8).

Ia menghargai kebijakan Susi tentang DNI di sektor perikanan tangkap. Karena hal tersebut jelas memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk pelaku usaha perikanan dalam negeri. "Toh masih ada kesempatan lain di bidang usaha perikanan pengolahan," katanya.

Selagi masih terbuka celah di sektor usaha ikan lain, ada baiknya tak membuka investasi asing. Terkecuali jika suatu saat usaha ini stagnan dan tak memberikan keuntungan untuk rakyat. "Saya dukung kebijakan Bu Susi, termasuk jika ada kemungkinan membatasi investasi di sektor perkebunan," katanya.

Namun, walaupun begitu, menanggapi tegang urat antara Susi dan Luhut, Herman menyatakan tak mau ikut campur. Apapun keputusan yang nanti diambil, baginya itu sudah menjadi domain pemerintah.

Susan Herawati, anggota Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), juga menyayangkan hal serupa. Ia menyoroti kabinet Jokowi memiliki satu pola serupa. "Kabinet Jokowi cenderung menjadi kabinet gebrak," ujarnya kepada gresnews.com, Rabu (10/9).

Ia pun menyatakan tak heran terhadap Luhut dan Susi yang terlibat perseteruan ini. "Tapi kami dukung pengelolaan wilayah laut untuk nelayan dan bebas dari asing, artinya berdaulat atas laut kita sendiri," katanya.

Terkait adanya tudingan beberapa pihak yang menyatakan Luhut ditunggangi para pelaku ilegal fishing yang gerah oleh kebijakan sebelumnya, Susan juga tak menampik isu tersebut. Tapi, baginya tetap harus ada bukti konkret, apakah Luhut memang ditunggangi. Hal tersebut juga menjadi catatan dan tanda tanya sewaktu RIzal Ramli diganti oleh Luhut.

Terlebih lagi Luhut punya kecenderungan akan menggolkan proyek reklamasi, sehingga harus diawasi betul perangainya. Hal ini bisa dilihat dari statemen Luhut sewaktu menjabat yang langsung menyatakan akan melihat kembali semua hal terkait reklamasi. "Rizal Ramli saja pernah mengeluarkan statement, tapi di tangan Luhut pasti jadi itu barang (reklamasi)," katanya.

PENGELOLAAN NATUNA - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) punya rencana tersendiri mengelola Natuna tanpa membuka investor penangkapan ikan. Tahun ini KKP berencana melakukan percepatan pembangunan sentra perikanan terpadu di Pulau Natuna untuk menghidupkan kegiatan ekonomi masyarakat di Pulau Natuna.

Menurut Susi, semua itu dilakukan untuk menunjukkan bahwa Pulau Natuna adalah wilayah kedaulatan Indonesia dan potensi perikanan yang ada di sana pun bermanfaat untuk masyarakat Indonesia.

Nantinya, kata Susi, akan dibangun tempat penjualan dan pelelangan ikan di sana. Sebab selama ini, para nelayan yang datang dari luar Pulau Natuna selalu kembali ke kota asal untuk menjual ikan hasil tangkapan.

"Selama ini, nelayan menangkap ikan kemudian pulang ke Rembang, Pati, Indramayu dan Muara Baru. Ke depan kita ingin mereka jual di situ. Mereka (masyarakat Pulau Natuna, red) tidak mendapatkan manfaat apa-apa. Karena kapal yang datang, ambil ikan kemudian pergi," ucap Susi, Selasa (26/7).

Selain KKP, Susi mengatakan investor dari luar negeri sudah ada yang masuk. Salah satu bentuk investasi yang akan dijalankan adalah usaha pengolahan perikanan berupa tempat penyimpanan beku ikan di sana. "Minggu kemarin sudah kedatangan pengusaha dari Rusia. Ada juga dari group black space yang akan investasi cold storage di 10 pulau terluar. Perindo juga dibantu untuk pemasaran ikan," paparnya.

Susi menyebutkan, jumlah nelayan lokal yang berdatangan ke Pulau Natuna juga sudah ada ribuan. Dari pantura saja sudah ada sekitar 4.000 nelayan yang datang mengambil ikan. "Permohonan nelayan dari Pantura juga sudah bertambah. Dari 400 kapal, lalu ditambah 150 kapal. Total ada sekitar 4000 nelayan dari Pantura yang sudah datang," sebutnya.

Hasil penegakan anti illegal fishing pun membuat nelayan dapat mengambil di zona banyak ikan. Padahal dulu, mayoritas cuma kapal besar yang bisa mengambil di sana. "Sekarang mereka sudah banyak tangkap di sana. Mereka sudah dapat izin dari Natuna dapat izin 711. Dulu kebanyakan yang gede-gede. Kini sudah 300 sampai 400 kapal di sana. Kita target 600 sampai 1000 kapal," ujarnya.

Kondisi ramainya kapal yang menangkap ikan dari Pantura, kata Susi, tidak lantas membuat bentrok dengan nelayan asal Pulau Natuna. Sebab zona penangkapan ikan itu sudah diatur.

Namun untuk kapal ikan asing (KIA), Susi mengingatkan untuk tidak masuk wilayah Indonesia. Kecuali ikan itu keluar dari zona Indonesia dengan sendirinya. "Batas untuk nelayan Pantura adalah di atas 12 mil dari pantai. Tidak boleh bentrok. Tapi untuk kapal asing, selama ikan itu ada di zona kita jangan ambil, kalau ikannya lewat dari zona kita, then take it," tegas Susi.

"Saya tahu ribuan kapal di pantura bisa tangkap semua ikan di Natuna, jaraknya di atas 12 mil dari pantai. Kalau nelayan Natuna di pesisir. Asing tidak boleh masuk industri tangkap ikan. Karena itu sudah masuk daftar negatif investasi. Asing tidak boleh masuk industri tangkap," kata Susi tegas.

Susi punya alasan kuat menutup usaha perikanan tangkap bagi investasi asing. Salah satunya, Indonesia masuk ke dalam daftar 10 besar produsen cakalang dunia, sebelumnya Indonesia tidak masuk. "Padahal cakalang itu breeding zonenya berada di Indonesia," kata Susi.

Dalam buku rencana strategis tahun 2015-2019 Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan juga disebutkan bahwa selama periode tahun 2010-2014, pelaksanaan pembangunan perikanan tangkap telah menghasilkan berbagai capaian. Misalnya, produksi perikanan tangkap terus meningkat dari tahun ke tahun, tetapi dalam persentase yang terkendali sehubungan dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan untuk kelestarian sumber daya ikan.

Kenaikan volume produksi perikanan tangkap pada periode 2010-2014 rata-rata sebesar 4,52 persen per tahun, yaitu 5.384.418 ton pada tahun 2010 menjadi 6.200.180 ton pada tahun 2014. Produksi tetap didominasi perikanan tangkap di laut yaitu sebesar 5.779.990 (93,22 persen) sedangkan produksi perikanan tangkap di perairan umum daratan sebesar 420.190 (7,27 persen). Peningkatan volume produksi perikanan tangkap ini diiringi dengan peningkatan kualitas pendataan statistik perikanan tangkap daerah.

ALASAN TOLAK ASING - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menjelaskan kenapa dirinya dan Presiden Joko Widodo bersikeras agar industri penangkapan ikan harus dikuasai pengusaha dan nelayan dalam negeri 100 persen. Investasi asing hanya untuk industri lanjutan seperti pengolahan, cold storage dan pemasaran.

Dalam video yang diunggah di akun YouTube Kementerian Kelautan dan Perikanan, Rabu (10/8), Susi mengatakan maraknya illegal fishing salah satunya disebabkan karena kepemilikan asing di perikanan tangkap dulu boleh hingga 100%. Sementara untuk industri pengolahan kepemilikan asing malah dibatasi 50%.

Susi selanjutnya mengusulkan pada presiden agar peraturan itu dibalik, investor asing boleh 100% berinvestasi di pengolahan, tapi mereka dilarang menangkap ikan di perairan Indonesia. "Ini komitmen presiden yang peduli untuk mensejahterakan nelayan. Perikanan bukan rocket science, tidak perlu teknologi canggih. Dengan kapal perahu bangsa Indonesia siap untuk tangkap ikan, saya yakin itu," kata Susi.

Pertimbangan berikutnya adalah untuk menjaga kelestarian sumber daya perikanan, karena kalau kebijakan eksploitasi laut Indonesia terlalu liberal untuk asing, maka generasi berikutnya tidak bisa menikmati kekayaan laut negeri sendiri. Karena misi pemerintah menjadikan laut sebagai masa depan bangsa kita. Kalau masa depan ya harus kita jaga. Masa depan itu bukan lima tahun atau 10 tahun, masa depan itu generasi ke generasi.

Pada 18 Mei lalu Presiden Jokowi akhirnya menandatangani Peraturan Presiden nomor 44/2016 untuk memasukkan perikanan tangkap ke dalam daftar negatif investasi. "Bukan kita anti investasi asing. Asing sudah diperlebar (jalan) untuk masuk di pengolahan -- di situlah handicap (hambatan) kita -- teknologi dan pasar. Tapi sumber daya perikanan itu sendiri diperuntukkan semua pengusaha dan nelayan dalam negeri, dan itu sudah sangat betul," tegas Susi.

"Mudah-mudahan sebagai negara nomor dua lautnya terluas di dunia, (produksi ikan) kita paling tidak menduduki nomor tiga di Asia, jangan nomor tiga di Asia Tenggara."

Meskipun perizinan kapal penangkap ikan lokal dipermudah, Susi mengingatkan bahwa kapal-kapal besar dalam negeri harus memenuhi persyaratan yaitu anak buah kapal (ABK) dlindungi BPJS dan memiliki asuransi jiwa. Tanpa itu, kapal besar tidak diperbolehkan menangkap ikan.

"Ini bukti pemerintahan Jokowi, presiden kita ini peduli dengan sumber daya perikanan untuk masa depan bangsa kita dengan menerbitkan dalam negative list penangkapan ikan oleh nelayan asing," kata Susi. (dtc)

BACA JUGA: