JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dua tahun sudah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bergulir. Namun kinerja Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai lembaga yang menjalankan program JKN ini masih jauh dari kata memuaskan.

Zainab, misalnya, warga Citayam Depok ini mengeluhkan sulitnya mendapatkan rumah sakit rujukan untuk anaknya yang tengah hamil. Lantaran memiliki tekanan darah tinggi, anak Zainab harus dioperasi sesar untuk mengeluarkan sang bayi.

Pengalamannya bersentuhan dengan BPJS kesehatan tak menyenangkan. Setelah berkunjung ke fasilitas kesehatan sebuah klinik di Citayam yang bekerjasa sama dengan BPJS Kesehatan. Ia mendapat rujukan agar melakukan operasi sesar di rumah sakit A.

Dengan hati berbunga, Zainab mengantar anak dan menantunya mendatangi rumah sakit tersebut. Namun harapannya pupus sudah lantaran rumah sakit A menolak dengan alasan kamar yang tersedia penuh.

Tak patah arang Zainab kembali meminta rujukan rumah sakit dari klinik yang bekerjasama dengan BPJS namun masih belum ada hasilnya. Baru pada kali keempat, anak Zainab akhirnya mendapatkan tempat operasi sesar di sebuah rumah sakit.

Buruknya pelayanan BPJS Kesehatan serta minimnya ketersediaan fasilitas perawatan menjadi topik yang tak ada habisnya disampaikan dalam diskusi editor meeting "Mengupas 2 Tahun Program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di Indonesia.

"Program ini sebenarnya sangat baik namun banyak jurnalis dan masyarakat masih banyak yang tidak paham soal SJSN ini. Dan banyak hal pula yang harus diawasi, agar program yang baik ini, bisa dirasakan manfaatnya oleh publik," ujar Koordinator Bidang Ketenagakerjaan AJI Indonesia Yudhi Thirzano saat diskusi, Kamis (10/3).

TINGKATKAN PELAYANAN DAN IURAN - Ahmad Anshori, salah satu anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menjelaskan akar permasalahan dari minimnya pelayanan BPJS Kesehatan adalah kecilnya jumlah iuran yang disetorkan para peserta BPJS. Besaran iuran ini sangat penting untuk menjaga sustainability atau ketahanan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

JKN menurutnya, akan gagal jika tidak memiliki dana yang cukup. "Istilahnya tidak memenuhi keekonomian," ujarnya saat diskusi.

Namun hal tersebut sudah diprediksi sejak awal dan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Menurut Ahmad dalam beleid tersebut tidak ada istilah rugi pada BPJS Kesehatan lantaran bila ada kekurangan dana yang menanggung adalah pemerintah.

"Tahun ini saja dana yang dicadangkan sekitar Rp 6 triliun," ujarnya.

Ia menjelaskan dalam sistem JKN ini iuran masyarakat yang tidak mampu yakni Penerima Bantuan Iuran (PBI) ditanggung pemerintah. Sementara bagi mereka yang mampu membayar iuran dengan nilai nominal yang ditentukan pemerintah. Namun hingga saat ini nilai iurannya masih jauh dari keekonomian.

Ahmad mengatakan bahwa DJSN sudah memprediksi BPJS akan mengalami bleeding ketika besaran iuran PBI ditetapkan menjadi Rp 19.225. Kajian yang dilakukan DJSN pada tahun 2013 merekomendasikan bahwa seharusnya iuran PBI sebesar Rp 27.500.

Namun tentu saja besaran iuran berdasarkan kajian tahun 2013 tidak bisa dijadikan acuan untuk menetapkan iuran PBI tahun 2016. Karena itu saat ini DJSN sedang melakukan kajian bersama BPJS, Kementerian Kesehatan serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menentukan besaran iuran tersebut.

"Tentunya lebih tinggi dari Rp 27.500 karena itu kajian tahun 2013. Untuk tahun 2016 ini diusulkan Rp 36.000 namun kenaikannya hanya Rp 23.000 saja. Tentu ini sangat timpang," ungkapnya.

Sementara itu pemerintah menaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) bagi peserta mandiri atau pekerja bukan penerima upah (PBPU) per 1 April 2016.

Hal itu tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 29 Februari 2016 dan diundangkan pada 1 Maret lalu.

"Bahwa beberapa ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 perlu disesuaikan dengan kebutuhan penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional," tutur Presiden Jokowi dalam beleid tersebut, dikutip Senin (14/3).

Perpres revisi itu mengatur besaran iuran peserta dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I naik dari Rp 59.500 menjadi Rp 80 ribu dan iuran peserta dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II yang semula Rp 42.500 naik menjadi Rp 51 ribu. Sementara, iuran bagi peserta dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III naik menjadi Rp30 ribu dari sebelumnya Rp 25.500.

Tak hanya itu, per 1 Januari lalu, pemerintah juga menaikan besaran iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) serta penduduk yang didaftarkan pemerintah dari sebelumnya Rp 19.225 menjadi Rp 23 ribu.

Kepala Grup Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan Togar Siallagan menjelaskan dua tahun setelah bergulirnya program JKN ini cukup banyak manfaat yang dirasakan masyarakat. "Kami terus berupaya meningkatkan layanan pada masyarakat dan memberi manfaat bagi mereka yang selama ini tidak bisa berobat," katanya.

Ia mengutip data dari Penelitan Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) bahwa selama tahun 2014, ada sejumlah kontribusi JKN KIS bagi ekonomi Indonesia yang tidak kecil. Misalnya dalam Industri Kesehatan senilai Rp 4,4 triliun, industri obat-obatan mencapai Rp 1,7 triliun. Manfaat lainnya juga dirasakan dalam bentuk lapangan kerja bidang kesehatan senilai Rp 4,2 triliun dan pekerjaan sektor konstruksi rumah sakit mencapai Rp 8,36 triliun.

BACA JUGA: