JAKARTA, GRESNEWS.COM - Panitia Kerja Pengupahan Komisi IX DPR masih terus mencari masukan dari berbagai pihak terkait Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Ketua Komisi IX Dede Yusuf mengatakan, berbagai masukan itu nantinya akan menjadi bahan rekomendasi DPR kepada pemerintah untuk mencari jalan keluar formula pengupahan yang bisa menyejahterakan semua pihak.

DPR berupaya menyusun masukan untuk pemerintah terkait pengupahan karena PP Pengupahan yang dinilai merugikan buruh ini, ternyata juga tak dijalankan di daerah. Temuan DPR mengungkapkan, di Jawa Timur misalnya, PP tersebut diabaikan dan untuk landasan hukum pengupahan pihak Pemprov Jatim menggunakan Peraturan Gubernur Nomor 68 tahun 2015. Anggota Komisi IX DPR RI Okky Asokawati mengungkapkan, 38 kabupaten/kota di Jatim memakai aturan Pergub No.68/2015 untuk melakukan sistem pengupahannya.

Setiap daerah, kata politisi PPP ini, memiliki kondisi perekonomian yang berbeda-beda, sehingga sistem pengupahannya pun berbeda. "Rumusan pengupahan dalam PP tidak dijadikan patokan bagi daerah. Artinya, apa yang menjadi sorotan banyak pihak bahwa PP ini tak akan digubris di daerah menjadi kenyataan," kata Okky.

Karena itulah DPR menilai PP Pengupahan memang harus diubah. Dalam rangka itu, Komisi IX menggelar beberapa pertemuan dengan berbagai pihak guna menggali berbagai permasalahan terkait sistem pengupahan yang diatur dalam PP Pengupahan. Senin (7/3) kemarin, Komisi IX menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan Yayasan Akatiga guna membahas masalah pengupahan dari perspektif buruh.

Dalam kesempatan itu peneliti senior masalah perburuhan Akatiga Indrasari Tjandraningsih mengemukakan, ada beberapa permasalahan dengan PP tersebut. PP 78/2015 dinilai inkonsisten dalam penghitungan upah minimum dan komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Selain itu yang menjadi kontroversi, PP tersebut menegasikan kewenangan daerah dan menghilangkan sanksi pidana menjadi sanksi administrasi bagi perusahan.

"Pemerintah sekarang memang lebih pro investor, apa boleh buat. Kalau kita lihat juga paket kebijakannya satu sampai sepuluh dan termasuk ini memang pro investor, pemeritah sangat ingin investor masuk," ujar Indrasari.

Dia menilai, di tengah iklim persaingan global, pendulum kebijakan ketenagakerjaan yang semakin menjauh dari posisi melindungi buruh. Untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif sebagai upaya untuk mengundang sebanyak mungkin investor (asing), pemerintah kembali menjalankan politik upah murah menerapkan prinsip-prinsip liberal, fleksibel dan terdesentralisasi dalam urusan ketenagakerjaan. "Kedua strategi tersebut secara sistematis telah memiskinkan buruh," ujar Indrasari.

Bahkan, kata dia, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) secara resmi dan mencokok menggunakan politik upah murah sebagai bagian dari promosi investasi Indonesia. Brosur BKPM mencantumkan upah buruh Indonesia yang hanya US$0,6 per jam dibandingkan dengan India (US$1,03), Filipina (US$1,04), Thailand (US$1,63), China (US$2,11) dan Malaysia (US$2,88). BKPM dalam brosur promosi tersebut juga mencantumkan kalimat: "€˜labor cost is relatively low, even as compared to investment magnets China and India". Artinya, ongkos tenaga kerja secara relatif lebih rendah bahkan jika dibandingkan negara magnet investasi seperti China dan India.

Upaya BKPM menarik investasi asing dengan menonjolkan murahnya upah buruh di Indonesia mengingatkan kembali  pada kebijakan pemerintah di masa Orde Baru dengan politik upah murahnya dan sekaligus menunjukkan kemunduran arah kebijakan. "Upaya ini juga memperlihatkan kesenjangan pemahaman pemerintah terhadap perubahan tuntutan perusahaan dalam kompetisi global," kata Indrasari.

Dalam kompetisi global, investor menuntut ketepatan waktu dan mutu kerja yang tinggi serta pelayanan birokrasi yang efisien. Para pengusaha tekstil dan garmen Indonesia yang telah melihat perkembangan industri di Vietnam dan Cina menyatakan bahwa keterampilan dan mutu hasil kerja buruh Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan buruh di kedua negara tersebut dan menyatakan bahwa sesungguhnya apabila biaya birokrasi dan berbagai pungutan dapat dihapuskan, upah minimum yang ditingkatkan dua kali lipat sekalipun dapat diberikan.

Karena itu, Indrasari menyarankan semua unsur yang terlibat untuk duduk bersama mendiskusikan kembali merupakan solusi untuk menyelesaikan polemik PP tentang pengupahan ini. Indrasari merekomendasikan perlunya pemerintah dan DPR untuk merangkul kaum buruh dan mengajak duduk bersama mencari solusi yang terbaik. "Kuncinya adalah ditanya buruhnya, jangan menganggap remeh, diikut sertakan saja buruhnya, ditanya, didengarkan aspirasinya," tegasnya.

MELANGGAR UU KETENAGAKERJAAN - Terkait hal itu, Dede Yusuf mengatakan, PP Pengupahan memang telah melanggar UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Pasalnya, Alasannya, pengaturan upah yang diatur dalam PP tersebut ditegaskan, Upah Minimum Provinsi (UMP) ditentukan oleh pemerintah pusat, sementara dalam UU Ketenagakerjaan diatur yang menentukan UMP adalah pemerintah daerah. "PP ini bisa direvisi, jika dianggap bertubrukan dengan UU," kata Dede kepada gresnews.com, Jakarta, Senin (7/3).

Dede Yusuf mengatakan PP tersebut memang lahir tanpa ada sosialisasi dari pemerintah kepada masyarakat. Akibatnya menimbulkan gelombang demo besar-besaran yang dilakukan oleh para buruh. Hal itulah, kata dia, yang perlu dikaji oleh Komisi IX DPR RI terkait timbulnya PP yang meresahkan para buruh, apalagi akibat PP tersebut banyak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan secara sepihak oleh perusahaan kepada buruh.

"Kita perlu mencari mana rumusan-rumusan yang baik, mana yang memang perlu kita evaluasi, perlu kita ubah, apakah ini mau dicabut diganti dengan PP baru? Tidak apa-apa," tegas Dede.

Sementara itu, politisi Golkar Jhon Kenedy Azis menyatakan pengupahan adalah hidup dan matinya buruh, dan disisi lain juga merupakan hidup matinya pengusaha. Ketika PP Pengupahan menetapkan standar upah yang rendah, kontroversi merebak di kalangan buruh yang melahirkan gelombang protes para buruh. Para buruh berdemo di depan istana negara untuk menolak kebijakan pemerintah tersebut. Aksi protes buruh ini di sisi lain membuat pengusaha menjadi tidak nyaman dan banyak yang memutuskan hengkang dari Indonesia.

Hanya saja, Azis mengakui, di beberapa daerah justru PP ini malah dianggap menguntungkan buruh. Dia mengaku kesimpulan itu didapat setelah melakukan kunjungan ke beberapa daerah dan melakukan audiensi dengan unsur-unsur yang terkait. "Sepertinya PP ini tidak bermasalah dengan pekerja," kata anggota Fraksi Golkar ini.

Keterangan berbeda sebelumnya disampaikan oleh anggota Komisi IX dari F-PKB Marwan Dasopang. Dia mengatkan, Panja PP Pengupahan ini dibentuk justru setelah DPR banyak menerima keluhan dari serikat buruh. "Sejak diberlakukannya PP No. 78 tahun lalu, banyak serikat pekerja mendatangi kami Komisi IX DPR, mereka memberikan argumen bahwa PP 78 itu merugikan buruh dan menguntungkan pengusaha," jelas Marwan, Kamis (3/3) lalu.

Politisi F-PKB ini menambahkan, karena hal tersebut, Komisi IX terus melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bahkan kunjungan langsung ke perusahaan-perusahaan guna mengetahui sesungguhnya di pasal-pasal masa saja pada PP 78 ini yang membuat para buruh keberatan. Ia mengatakan sebetulnya PP 78 ini baik tetapi memang ada beberapa pasal yang perlu diperhatikan. "Oleh karena itu, maka perlu dilakukan dialog agar jangan ada lagi gejolak menghitung upah buruh," tegasnya.

Lebih lanjut, Marwan menerangkan, Panja Pengupahan ini akan mencari letak permasalahnya agar tidak merugikan para investor atau pengusaha dan juga tidak menyakiti para buruh, "Kemungkinan kami akan merevisi PP 78 ini," ujarnya.

Dalam kunjungan Komisi IX ke PT Mayora Indah Tbk, jelas Marwan, diketahui, ternyata PP 78 ini tidak berlaku bagi karyawan tetap tetapi kepada pegawai kontrak atau outsourcing. "Kita mengunjungi PT Mayora yang merupakan perusahaan besar yang kita anggap bisa menjadi semacam representasi. Disini kita menemukan selain inti dari PP 78, kita juga menemukan semacam cara pengupahan yang baik. Artinya dialog itu menjadi penting agar tidak menjadi gejolak ketika penetapan upah," terangnya

BERPIHAK KEPADA PEMODAL - Di konfirmasi terpisah melalui telepon seluler, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Nasional Koswara menegaskan, PP 78/2015 tegas berpihak kepada kepentingan pemodal dan bukan untuk kepentingan buru. "Seratus persen untuk kepentingan kaum pemodal," katanya kepada gresnews.com.

Menurutnya dalam UU Ketenagakerjaan sudah dijelaskan bahwa penentuan UMK adalah berdasarkan hasil pembahasan dewan pengupahan, kemudian survei kebutuhan hidup lokal lalu diajukan ke walikota atau bupati serta gubernur. "Gubernur lah nanti yang akan menentukan dengan mengeluarkan SK," katanya.

Dengan sistem ini, maka pengupahan akan sangat memperhatikan situasi pekerja di setempat dan dinilai akan lebih adil. Kini penentuan itu diambil alih oleh pemerintah pusat melalui PP Pengupahan sehingga muncul ketimpangan.

Hal senada juga disampaikan Indrasari pada paparan yang disampaikan dihadapan Panja PP pengupahan, peneliti ini melihat PP Pengupahan sebagai upaya menarik kembali kewenangan dalam penetapan upah minimum ke pemerintah pusat. Hal ini, kata Koswara, dilihat buruh sebagai bentuk intimidasi dan tidak berpihaknya pemerintah kepada kaum buruh. "Ini mempertegas pemerintah mendukung siapa, hal ini kan mempertegas PP ini pro kaum modal," ujarnya.

Sementara itu, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Mirah Sumirat mengemukakan pendapat serupa. Dia menilai PP Pengupahan dalam menghitung kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tidak berdasarkan hasil survei Komponen Hidup Layak (KHL), namun hanya berdasarkan angka UMP tahun sebelumnya kemudian ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Padahal Pasal 88 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan telah mengatur dan mengamanatkan bahwa penetapan upah minimum harus berdasarkan hasil survey KHL. Sedangkan Pasal 44 PP 78 tahun 2015 mengatur penetapan upah minimum tidak lagi berdasarkan hasil survei KHL.

Dia menilai dengan diterbitkannya PP tersebut, Presiden Jokowi tersandera oleh kepentingan pengusaha dan kepentingan pemodal, sehingga tidak mampu berkutik ketika menandatangani PP 78/2015 yang menabrak UU 13/2015 tersebut. Dia meminta agar Presiden Joko Widodo harus mendengar aspirasi pekerja karena yang dituntut oleh pekerja adalah penegakan aturan UU 13/2003.

"Jangan kebiri hak konstitusional rakyat dalam mendapatkan kesejahteraan hidup kami selaku pekerja," kata Sumirat kepada gresnews.com.

Dia juga meminta agar seluruh Gubernur dan Bupati serta Walikota untuk mengabaikan PP tersebut dan tetap menggunakan ketentuan Pasal 88 Ayat (4) UU No 13 Tahun 2003. Dia mengatakan jika Gubernur dan Bupati serta Walikota menggunakan PP tersebut maka kepala daerah tersebut tidak peka dan memilih untuk berjamaah melakukan pelanggaran. "Juga berjamaah dalam menindas pekerja dan berjamaah dalam memiskinkan rakyat," tegasnya.

Untuk itu, Sumirat meminta agar pemerintah membatalkan PP tersebut karena melanggar UU yang lebih tinggi dan kembali tetapkan UMP atau UMK berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 yaitu melalui hasil survei KHL yang benar. Kemudian, dia menambahkan agar pemerintah bisa merealisasikan penambahan KHL dari 60 komponen menjadi minimal 84 komponen. Lalu, dia meminta agar pemerntah menaikkan UMP/UMK minimal 25 persen dari hasil survei KHL yang benar.

"Pemerintah juga telah menghilangkan hak berunding upah yang dimiliki serika pekerja dan itu sesungguhnya dijamin oleh UU Ketenagakerjaan," kata Sumirat. (Gresnews.com/Nda Waluyo)

BACA JUGA: