JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rapat paripurna yang dijadwalkan membahas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) terus tertunda. Awalnya rapat paripurna DPR dengan agenda penetapan revisi UU KPK sebagai usul inisiatif DPR dijadwalkan pada Kamis (11/2) namun kemudian ditunda ke Kamis (18/2). Ketika kembali gagal, keputusan diambil untuk kembali menunda paripurna ke Selasa (23/2).

Sebagaimana diketahui, Revisi UU KPK disepakati menjadi UU inisiatif DPR. Dalam pengambilan keputusan tingkat I di DPR, hanya Fraksi Gerindra yang menolak. Meski setelah rapat itu ada Demokrat dan PKS yang secara informal juga menolak.

Revisi UU KPK itu selanjutnya diketok di paripurna untuk disetujui dilakukan pembahasan. Namun paripurna ini molor dari jadwal yang ditetapkan. Jika sudah diketok di paripurna, baru dibahas di Komisi III bersama pemerintah.

Penundaan tersebut menimbulkan kesan politis adanya upaya untuk mengegolkan revisi UU KPK, mengingat semakin kuatnya penolakan. Belakangan partai yang menolak revisi pun semakin bertambah. Bisa awalnya hanya partai Gerindra saja, merembet ke Demokrat, PKS, bahkan kemungkinan besar PAN juga ikut menolak revisi UU KPK yang dianggap sebagai upaya pelemahan lembaga anti korupsi ini. Lalu, apakah akan cukup suara partai-partai ini guna menolak revisi?

Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menyatakan pembahasan sebelum paripurna memang kurang cukup, sehingga rancangan undang-undang yang akan diusulkan menjadi RUU inisiatif DPR belum disetujui menyeluruh oleh anggota DPR RI. Mewakili Demokrat, ia menyatakan pada awalnya partai berlambang Mercy ini juga mengusulkan dapat terjadi revisi guna penguatan. Namun ternyata, empat poin revisi malah dinilai melemahkan lembaga antirusuah tersebut.

"Sehingga ini tidak menjadi keinginan dari Partai Demokrat. Kami tak begitu saja memutuskan tapi terlebih dulu menanyakan kepada rakyat dan ke konstituen kami masing-masing," katanya di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (19/2).

Hasilnya, memang mayoritas masyarakat tidak menginginkan adanya perubahan dari undang-undang KPK seperti yang diusulkan. Sedang ia menyatakan, Ketua Umun Demokrat sendiri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), juga menekankan adanya titik poin penguatan tidak hanya KPK tapi juga kepolisian, dan kejaksaan. Hal ini bertujuan agar pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme betul-betul berjalan lebih fokus.

"Mari kita duduk bersama bahas secara detail dengan menggunakan waktu yang cukup. Pembahasan kemarin yang ada di Baleg tak cukup waktu," katanya.

Agus menyatakan dari awal Demokrat tetap konsisten sebagai partai penyeimbang manakala kebijakan pemerintah pro kepada rakyat dan sejalan dengan partai Demokrat. Namun jika tidak, Demokrat akan menolak dan berikan saran dan perbaikan.

Hingga kini, partai yang menolak diketahui terdiri dari tiga fraksi, yakni Gerindra, Demokrat, dan PKS; di akhir perkembangan, PAN pun mulai mengisyaratkan penolakan. Tiga fraksi ini secara kasar dihitung memiliki 174 suara, dimana Gerindra mewakili 73 suara, Demokrat 61 suara dan PKS 40 suara.

Jika PAN berbalik arah maka akan bertambah 49 suara menjadi total 223 suara. Walaupun jumlah ini masih kalah jika dibandingkan dengan jumlah partai pendukung revisi, namun setidaknya rakyat masih bisa berharap lewat lobi politik yang mungkin bisa menggeser sikap partai pendukung revisi.

SIKAP PAN - Penolakan revisi UU KPK terus menguat disuarakan publik. Tiga partai politik sudah menyatakan penolakannya terhadap revisi yang dinilai justru melemahkan KPK. Satu partai lagi di khabarkan bakal menolak revisi yakni PAN. Bagaimana sikap PAN sesungguhnya?

Sekjen PAN Eddy Soeparno menjelaskan siap mengikuti kehendak rakyat. "Sikap kami arahannya sesuai Bapak Ketum (Zulkifli Hasan -red), dikembalikan kepada kehendak rakyat. Kalau memang ditolak, ya PAN akan melihat. Intinya kami menyerap aspirasi rakyat," kata Eddy, Sabtu (20/2).

Dia mengatakan keputusan sikap PAN akan ditentukan dalam rapat internal pleno partai. Namun, sikap Fraksi PAN akan terlihat sebelum paripurna yang rencananya membahas revisi UU KPK, pada Selasa (23/2).

"Kita akan serap aspirasi masyarakat bagaimana? Itu sudah terlihat. Tapi, bagaimana nanti akan kita putuskan bersama-sama sebelum paripurna," ujarnya.

Aksi dukungan penolakan revisi UU KPK dilakukan Rektor dan sejumlah guru besar dari universitas negeri dan swasta di Indonesia Jumat (19/2) dengan mendatangi Gedung KPK. Guru besar yang hadir antara lain Guru Besar Sosiologi UI Bambang Widodo Umar, Guru Besar Kehutanan IPB Hariadi Kartodihardjo, dan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Borobudur Faisal Santiago. Sementara itu rektor yang hadir adalah rektor Universitas Paramadina Firmansyah.

Pertemuan berlangsung sekitar 2 jam dan berlangsung tertutup. Pimpinan KPK yang menemui para akademisi yaitu Agus Rahardjo dan Basaria Panjaitan. Usai pertemuan mereka berfoto bersama dengan memegang pensil berukuran besar bertuliskan ´Tolak Revisi UU KPK´. Simbol pensil dipilih karena erat kaitannya dengan dunia akademis.

"Mereka memberikan dukungan kepada KPK, waktunya bukan hari ini kalau mau dilakukan (revisi)," kata Ketua KPK Agus Rahardjo usai pertemuan.

"Kalau enggak salah ke depan juga akan ada dukungan dari dunia seni," lanjutnya.

Mengenai rencana menemui presiden Joko Widodo (Jokowi), KPK masih menunggu jadwal orang nomor satu di Indonesia itu. "Kita akan menunggu jadwal beliau," ujar Agus.

Bambang Widodo Umar menambahkan, pihak akademisi akan berusaha membantu mempertahankan eksistensi KPK. Terutama dari gangguan pihak-pihak yang ingin memperlemah. "Kami tidak ingin ada kelompok atau golongan-golongan yang akan memperlemah KPK, kita masih butuh KPK," imbuh Bambang.

KEYAKINAN PDIP PRESIDEN SETUJUI - Di sisi lain, Politisi PDIP Hendrawan Supratikno yakin presiden akan memberi dukungan pada revisi ini. Sebab, sebagai pembantu presiden, Luhut Binsar Panjaitan, Wapres Jk, dan Menkumham Yasonna Laoly sudah menyatakan kesetujuannya.

"Menkumham bolak-balik ke DPR tak mungkin mewakili dirinya sendiri," katanya

Namun, untuk second opinion, ia juga yakin presiden telah mendengar opini dari Johan Budi, Alexander Lay, Teten Masduki. Hanya saja, presiden harus lebih percaya pada figur formal yang telah bolak-balik mewakilinya berkoordinasi dengan DPR.

"Saat akan menikah misalnya, menerima nasihat orang tua atau pembisik? Presiden tak boleh percaya dukun," katanya.

Sebelumnya Menkopolhukam Luhut Pandjaitan menyatakan Presiden Joko Widodo setuju telah mengirimkan surat persetujuan mengenai revisi UU KPK. Namun revisi yang dilakukan tak boleh melebihi empat poin usulan pemerintah yakni mengenai: Yaitu pembentukan dewan pengawas, penerbitan SP3, pengangkatan penyelidik dan penyidik serta terkait penyadapan.

"Kami kan Presiden sudah mengirimkan, jadi sudah ada di sana empat (Revisi UU)," kata Luhut usai menjemput Presiden Jokowi di Halim Perdana Kusumah, Jakarta, Jumat (19/2).

Mengirimkan dimaksud adalah mengirim Surat Presiden (Surpres) terkait persetujuan Presiden atas 4 undang-undang yang akan direvisi. Luhut menyebut UU KPK, UU Tax Amnesty, dan UU Terorisme. Satu lagi Luhut mengaku lupa.

Namun keterangan itu dibantah kembali. Kemenko Polhukam menjelaskan surat yang dikirim Presiden Jokowi ke DPR bukanlah surat persetujuan.

"Untuk meluruskan berita-berita yang mengutip ucapan Menko Polhukam di Bandara Halim Perdanakusuma Jumat pagi, seolah-olah Presiden telah mengirim Surpres (Surat Presiden) soal revisi UU KPK ke DPR, maka dijelaskan bahwa Menko menyatakan bahwa Presiden menyetujui revisi UU KPK sepanjang itu menguatkan lembaga tersebut. Jadi tidak asal setuju," ujar Staf Khusus Menko Polhukam Bidang Politik dan Media Atmadji Sumarkidjo dalam pesan tertulis, Jumat (19/2).

Atmadji menjelaskan bahwa surat yang dikirim ke DPR adalah hanya lampiran RUU.

"Sedangkan yang dimaksudkan dengan surat yang dikirimkan ke DPR bukanlah Surpres yang dikirimkan secara resmi oleh Presiden sebagai lampiran RUU. Menko Polhukam tahu benar bahwa hal itu belum dilakukan," imbuhnya.

Sebelumnya Jubir Presiden Johan Budi mengatakan hingga saat ini presiden bahkan belum mendapatkan draf revisi dari DPR.

"Bagaimana presiden mengirim Surpres? Draf RUU nya saja belum diparipurna oleh DPR dan belum dikirim ke presiden. Jadi tidak benar kalau presiden sudah mengirim Surpres revisi UU KPK yang menjadi inisiatif DPR itu," kata Johan, Jumat (19/2). (dtc)

BACA JUGA: