JAKARTA, GRESNEWS.COM - Jelang eksekusi 10 terpidana mati 86 persen rakyat dukung presiden melanjutkan eksekusi terpidana narkotika tersebut. Alasannya, narkoba telah merusak generasi muda bangsa dan hukuman mati diberikan untuk membuat efek jera.

Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mengeluarkan surat perintah untuk eksekusi mati terhadap 10 terpidana mati gelombang kedua. Walau terdapat penolakan, namun mayoritas rakyat Indonesia mendukung langkah ini.

Hal ini terlihat dari hasil survei nasional Indo Barometer yang diselenggarakan pada tanggal 15-25 Maret 2015. "Mayoritas publik Indonesia atau sekitar 84,1 persen menyatakan setuju dengan hukuman mati yang diberikan kepada pengedar narkoba," ujar Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari di Jakarta, Senin (27/4).

Walaupun terdapat pro dan kontra, dan adanya tekanan dari negara asing terkait eksekusi pengedar narkoba, ternyata publik tak bergeming. Persen masyarakat yang mengungkap alasan dimana narkoba telah banyak mmerusak generasi bangsa dan Indonesia sedang darurat akannya diukur sebanyak 60,8 persen.

"Sisanya sebanyak 23,7 persen agar kejahatan tersebut tak berulang dan menimbulkan kejeraan," katanya.

Persentase publik yang tidak setuju, lebih banyak dikarenakan masih ada jenis hukuman lain yang lebih manusiawi, golongan ini mendapat jumlah 36,2 persen dari jumlah responden. Sebanyak 28,4 persen menyatakan hukuman mati merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

"Yang tidak mendukung langkah presiden Jokowi dalam menerapkan hukuman mati bagi pengedar narkoba hanya sekitar 10,3 persen," katanya.

Mayoritas menyatakan Presiden Jokowi harus tetap melanjutkan hukuman mati terhadap  terpidana kasus narkoba. Meski negara lain akan memutuskan hubungan diplomatik dan menghentikan kerja sama ekonomi dengan Indonesia.

Survei ini juga mengungkapkan jenis kejahatan lain yang patut diterapkan hukuman mati yakni  koruptor sebanyak 50,3 persen, pembunuhan 16,3 persen, dan kejahatan seksual 4,2 persen.

"Sementara dukungan hukuman mati untuk terorisme hanya 2,3 persen," katanya.

Sementera itu Ketua Presidium Aliansi Perempuan Indonesia, Berar Fathia menyayangkan sikap Presiden Jokowi yang tetap menjalankan hukuman mati. Padahal pidato Presiden Jokowi yang menyindir Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) karena telah diam dalam beberapa kasus HAM dunia.

Pidato itu menurut Berar Fathia dianggap sia-sia belaka. Sebab, di dalam negerinya sendiri presiden seakan mendiamkan kasus HAM yang berada di depan mata. "Pidatonya hanya sekadar retorika saja, implementasinya tak ada," ujar Berar Fathia saat dihubungi Gresnews.com, Senin (27/4).

Presiden Jokowi dianggap telah melanggar janji nawacitanya yang mengagungkan pembelaan HAM. Hingga detik ini, kesepuluh narapidana, tetap akan dieksekusi mati. "Jika mengesampingkan sisi kemanusiaan, presiden sungguh amat berdosa, menghukum mati bukanlah kewenangan Jokowi," ujarnya sedu.

Kelalaiannya dalam menghukum mati narapidana narkotika namun tak memberantas pangkal masalah, yakni karut marut hukum narkotika amat disayangkannya. "Negeri ini akan terus berantakan seperti Uni Soviet karena rakyat sudah mulai hilang kepercayaan," katanya.

"Saya tak membela siapa-siapa, tapi melihat hukuman mati ini seperti kejahatan ekses," katanya.

Diketahui, kesepuluh narapidana yang akan dihukum mati adalah Myuran Sukumaran dan Andrew Chan yang merupakan warga negara Australia, Mary Jane Fiesta Veloso dari Filipina, Serge Areski Atlaoui dari Prancis, Martin Anderson dari Ghana, Zainal Abidin bin Mgs Mahmud Badarudin daari Indonesia, Raheem Agbaje Salami dari Nigeria, Rodrigo Gularte dari Brazil, Sylvester Obiekwe Nwolise dari Nigeria, dan Okwudili Oyatanze dari Nigeria.

BACA JUGA: