JAKARTA, GRESNEWS.COM - Hubungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegang. Pangkal masalahnya bermula dari penggeledahan yang dilakukan KPK di ruangan Komisi V anggota DPR RI pada Jumat (15/1) lalu. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengganggap KPK telah melanggar peraturan lantaran membawa Brimob yang bersenjata laras panjang. Lantas bagaimanakah aturan yang sesungguhnya.

Pengamat polisi, pertahanan dan keamanan dari Unpad Muradi menyampaikan terdapat dua perspektif dalam melihat Brimob bersenjata laras panjang masuk gedung parlemen. Pertama, dalam kasus ini, Brimob tak sedang melakukan penggerebekan atau penangkapan, tapi semata hanya mengawal penyidik KPK. Di banyak tempat hal ini sudah lumrah dilaksanakan.

"Bahkan tak hanya penyidik KPK tapi penyidik kepolisian pun boleh dikawal," katanya kepada gresnews.com, Sabtu (16/1).

Pengawalan ini menurutnya bertujuan untuk melindungi psikologis penyidik dan agar mereka dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Kedua, membawa senjata bisa juga sebagai alat intimidasi,

"Tapi mungkin Fahri melihat perspektif kedua, yakni ´mengintimidasi´. Saya condong yang pertama karena patern mereka memang begitu," katanya.

Ia pun menyebutkan contoh lain saat rumah Irjen (Pol) Djoko Susilo digeledah KPK pun berlaku hal yang sama dengan membawa anggota Brimob. Padahal ia diketahui berpangkat perwira bintang dua.

"Intimidasi yang dipersepsikan di sini mungkin pada akhirnya membuat DPR merasa terganggu, seperti mahasiswa yang mengatakan tak boleh aparat masuk ke kampus. Padahal, jika dilakukan untuk mengawal maka tak ada masalah," katanya.

Ia juga menyatakan, terdapat landasan hukum KPK dimana terdapat jaminan pengamanan penyidik tak diganggu secara psikologis dan melaksanakan tugasnya dengan baik. "Ini hal yang biasa karena yang mereka amankan bukan penyerbuan dan intimidasi. Tapi mengamankan penyidik," ujarnya.

DASAR KPK - Benarkah KPK dilarang membawa Brimob bersenjata saat melakukan penggeledahan? Aturan soal penggeledahan KPK diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Dalam Pasal 12 huruf i, diatur bahwa KPK bisa meminta bantuan kepolisian atau instansi lainnya saat melakukan penggeledahan. Dan di pasal itu tak diatur soal detail penggunaan senjata.

Berikut bunyi Pasal 12 huruf i UU KPK:

Pasal 12

Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :

i. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Aturan soal penggunaan senjata petugas kepolisian diatur dalam Pasal 47 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia. Berikut bunyinya:

Pasal 47

(1) Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.

(2) Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk:

a. dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;

b. membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;

c. membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;

d. mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang;

e. menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan

f. menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.

DPR BERPISTOL? - KPK membawa sepasukan Brimob bersenjata lengkap bukan tanpa alasan. Selama ini memang meruak isu soal kepemilikan senjata api oleh anggota DPR. Pemberitaan media nasional banyak yang mengungkap ternyata cukup banyak anggota DPR periode 2009-2014 yang memiliki senjata api.

Sampai Mahkamah Kehormatan Dewan menyusun Rancangan Peraturan DPR RI tentang Kode Etik dan Tata Beracara dengan memasukkan aturan yang melarang anggota DPR membawa senjata api ke Gedung DPR.

Rancangan tata tertib anggota DPR yang sudah disusun dibacakan oleh Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan Surrahman Hidayat di sidang paripurna di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (27/1).

Larangan soal membawa senjata api ke DPR tercantum di Pasal 8 ayat 7 tata tertib tersebut. Berikut bunyi pasal tersebut:

Anggota dilarang membawa senjata api serta benda berbahaya lainnya yang dapat membahayakan keselamatan jiwa dan lingkungan di DPR

Aturan ini memicu beragam reaksi anggota DPR. Beberapa orang wakil rakyat pun menginterupsi untuk mempertanyakan kejelasan aturan tersebut.

"Pasal 8 ayat 7, anggota dilarang bawa senjata api dan barang berbahaya lainnya di lingkungan DPR. Jadi hanya di DPR? Kalau dia bawa di mal bagaimana?" kata anggota Fraksi Golkar yang akrab disapa Ceu Popong.

KRONOLOGIS - Sebelumnya sekitar 10 orang penyidik KPK menggeledah ruangan anggota DPR RI yakni Damayanti Wisnu Putranti dari Fraksi PDIP yang terkena operasi tangkap tangan. Namun, tak hanya ruangan Damayanti saja yang disasar, penyidik mulai mengarah juga ke ruang kerja Yuddy Widiana dari Fraksi PKS. Sempat salah dan mendatangi ruangan Yudi Kotouky yang juga dari PKS asal Papua, penyidik kemudian pindah ke lorong sebelahnya, tempat ruangan Yuddy Widiana berada dan menyasar ruang selanjutnya, Budi Supriyanto dari fraksi Golkar.

Melihat tingkah para penyidik dan anggota Brimob bersenjata yang mengawasi, Wakil Ketua DPR RI asal PKS, Fahri Hamzah pun geram. Ia merasa para penyidik KPK telah semena-mena melakukan penggeledahan. "Setelah saya minta surat tugas mereka, hanya ada nama DWP di sana, yang lain pengembangan, jelas saya marah," kata Fahri di Gedung DPR RI, Senayan, Jumat (15/1).

Dalam surat tugas tersebut, nama yang tertera memang hanya Damayanti seorang, dengan tambahan tulisan "dan kawan-kawan". Klausul inilah yang menjadi pertanyaan lantaran dianggap tak jelas. Fahri menganggap, harus disebutkan nama anggota yang akan digeledah secara detail, sebab makna " dan kawan-kawan" bisa saja menyasar 559 anggota dewan lainnya.

Ia menilai tindakan penggeledahan itu dapat digolongkan penghinaan pada parlemen (contempt of parliament) lantaran menggunakan bantuan kepolisian bersenjata laras panjang dan surat tugas hanya terdapat satu nama saja. Hal berlebihan ini yang dianggapnya tak sesuai tempat lantaran parlemen bukan sarang teroris.

"Saat saya duduk di Komisi III Kapolri saat itu Jenderal Sutarman saya minta menghormati parlemen, boleh penggeledahan tapi tanpa senjata laras panjang. Dia setuju," katanya.

Ia menyatakan di seluruh dunia, aparatur keamanan memang tak diperkenankan masuk ke parlemen menggunakan senjata laras panjang atau pendek, hal ini sudah berlaku umum. Tak berniat menghalangi penyidikan, Fahri pun menyatakan seharusnya KPK tak semena-mena dengan memperinci ruang dan nama anggota yang akan digeledah.

Fahri pun menyatakan akan segera mengirim surat, meminta Kapolri dan KPK menjelaskan duduk perkara ini. "Mudah-mudahan ini bisa diselesaikan. Eksekutif ini harusnya mengerti contempt of parliament. Karena kita menghormati cabang-cabang kekuasaan," katanya.

Sementara itu Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyampaikan apa yang dilakukan anggota Brimob membawa senjata saat penggeledahan KPK tak salah. Anggota Brimob tentu membawa senjata api sesuai Standar Operational Prosedure (SOP).

"Tidak kesalahan penggunaan senjata, kalau ditanya atau protes harus pada SOP KPK bagaimana. Bukan pada Brimob. Brimob kan mengikuti perintah KPK karena sudah diperbantukan," jelas Badrodin di Mapolda Metro Jaya, Jl Sudirman, Jakarta, Sabtu (16/1).

Badrodin menjelaskan selama ini sudah ada kerja sama antara Polri dan KPK. Kepolisian selalu membantu apa yang diminta KPK. Untuk proses penindakan akan dibantu oleh Brimob, baik yang ada di Jakarta ataupun di daerah-daerah. (dtc)

BACA JUGA: