JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mencabut Surat Keputusan (SK) pengesahan kepengurusan Partai kubu Ancol yang dipimpin Agung Laksono agaknya menjadi bumerang tersendiri. Masalahnya hingga kini Yasonna juga tak juga mengesahkan kepengurusan Golkar kubu Aburizal Bakrie sebagai pengurus yang sah hingga eksistensi partai berlambang beringin kini berada ditubir jurang.

Politisi Senior Golkar Zainal Bintang menyesalkan langkah pemerintah yang melakukan penyanderaan partai Golkar lewat kebijakannya. Ia sudah lama mengkhawatirkan pemerintah mengambil jalan itu lantaran kedua kubu di partai Golkar tak mau juga akur. Golkar akhirnya tersungkur di tangan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK).

"Target pemerintahan Jokowi-JK untuk menggembos Golkar boleh dikata cukup berhasil," ujarnya di Jakarta, Senin (3/1).

Terbukti, setelah Menkumham mengesahkan kepengurusan DPP Golkar hasil Munas Ancol Desember 2014, dibawah kepemimpinan Agung Laksono pada 23 Maret 2015. Kini Menkumham pula yang mencabut dan membatalkan SK pengesahan Munas Golkar Ancol pada tanggal 31 Desember 2015, sebagai konsekuensi dari perintah MA. Hal tersebut dianggapnya seperti menyanyikan lagu, "kau yang mulai,  kau pula yang mengakhiri".

"Inilah ekses negatif budaya politik menang-menangan, yang telah menjadi budaya politik baru yang diperagakan oleh politisi Indonesia di era reformasi," ujarnya.  

Sikap yang satu meniadakan yang lain inilah yang menjadi budaya politik baru Indonesia. Dampaknya, ia meminta Laoly untuk mempertanggung jawabkan kebijakannya yang dianggap diskriminatif dan telah menyandera Golkar tanpa alasan hukum yang kuat selama hampir satu tahun.

Hal ini juga didukung oleh berbagai desakan dari kader Golkar, baik senior, generasi muda maupun sesepuh, dari daerah maupun yang di pusat, yang intinya meminta Eskponen Ormas Tri Karya Golkar menempuh jalur hukum menggugat Menkumham. "Sedang kami pertimbangkan dan sedang digodok dengan teman-teman", katanya.

Ditambahkan politisi Golkar lainnya, Bambang Soesatyo menilai keengganan Menkumham menerbitkan SK kepengurusan Golkar Bali dan terus menggantung Golkar merupakan penyalahgunaan kekuasaan dalam menyikapi persoalan di tubuh Partai Golkar. "Pemerintah menggunakan wewenang Menteri Hukum dan HAM untuk mengeskalasi konflik internal Partai Golkar," kata Bendahara Umum Golkar ini.

Sebagai regulator, seharusnya pemerintah berwenang dan punya kompetensi untuk menyelesaikan persoalan Golkar. Namun  kewenangan dan kompetensi ini memang sengaja tak ingin digunakan untuk menyelesaikan persoalan Golkar dengan bijaksana.  

"Pemerintah justru lari meninggalkan persoalan, karena hanya membatalkan SK Ancol tetapi menolak mengesahkan hasil Munas Bali," katanya.

Artinya, dalam kasus Golkar, pemerintah abstain. Dengan sikap seperti itu, pemerintah bukan hanya memperuncing persoalan, tetapi juga sengaja mempersulit legalitas kepengurusan parta Golkar. Dalam titik ini jelas penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah untuk memecah belah partai politik.

"Publik bisa melihat bahwa wewenang itu dijadikan alat untuk berpolitik dalam menyikapi persoalan legalitas kepengurusan Partai Golkar," ucapnya.

Pemerintah seolah ingin menunjukan posisinya yang independen alias tidak memihak. Namun sayangnya, sikap abstain tersebut malah mempertontonkan perilaku konyol lantaran publik menilai langkah ini merupakan rekayasa sekaligus eskalasi persoalan internal di tubuh Partai Golkar.

"Karena keberpihakan itulah pemerintah patut dituduh berpolitik dalam menyikapi persoalan Golkar," ujarnya.

TAK VAKUM - Kubu Aburizal Bakrie membantah ada kevakuman, lantaran masih ada satu lagi proses hukum. "Saya berpedoman pada putusan MA. Kita tunggulah putusan MA dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara, mudah-mudahan tidak terlalu lama," ucap politisi senior di kubu ARB, Rambe Kamarul Zaman, Senin (4/1).

Putusan PN Jakut itu dalam amarnya mengesahkan Munas Bali beserta kepengurusan yang dihasilkan, juga memutuskan Munas Ancol dan kepengurusan yang dihasilkannya tidak sah. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta.

Namun kubu Agung Laksono mengajukan kasasi atas putusan PN Jakut itu ke MA. Hingga kini belum ada putusan MA atas PN Jakut itu. Putusan MA yang sudah ada terkait Golkar hanyalah putusan atas PTUN.

Atas pertimbangan itu pula, Rambe menyebut tidak tepat Partai Golkar beserta anggotanya di parlemen ilegal. Masalah yang ada hanya sengketa saling klaim kepengurusan sebagai pihak yang sah.

"Parlemen yang mewakili Partai Golkar ada ribuan sampai tingkat II (DPRD Kab/Kota), bagaimana ada kevakuman. Namun induknya (DPP) diperdebatkan, siapa induknya. Tapi secara formal jelas ada semua, fraksi di DPR 91 anggota dengan tugas yang diberikan dan DPRD Provinsi, Kabupaten, kota," ucap Rambe.

KEMBALI KE ANGGARAN DASAR - Di sisi lain, Politisi Golkar Kubu Ancol, Agun Gunanjar menyatakan langkah pemerintah yang mencabut SK Ancol dan tak juga menerbitkan SK utk DPP Bali sudah tepat. "Berpedoman pada Surat Dirjen AHU Kemenkumhm yang ditandatangani Direktur Tata Negara, ditegaskan agar perselisihan/perbedaan diselesaikan melalui meknisme internal partai," katanya.

Dimana hal tersebut harus berpedoman pada AD/ART Partai Golkar, yang pelaksanannya mengedepankan prinsip arif, bijak dan berkeadilan. Artinya pemerintah dalam hal ini konsisten dalam penyelesaian kisruh partai golkar dengan tetap mempedoman pada UU Partai Politik. "Pemerintah hanya akan menerbitkan SK Kepengurusan DPP pasca dicabutnya SK Ancol hanya melalui mekanisme internal AD/ART," katanya.

Mekanisme internal yang diatur dalam AD/ART Partai, mengatur tentang sejumlah rapat dan musyawarah tingkat pusat dimana penyelesaiannya lewat Rapimnas dan Munas. Hal ini sesungguhnya dapat dilakukan apabila kedua kubu lebih mengedepankan kepentingan keselamatan dan keutuhan partai dari pada kepentingan ego semata. Namun apabila hal ini tak tercapai, maka Mahkamah Partai dapat diminta untuk menyelesaikan konflik kepengurusan ini.

"Ini sudah tepat. Masa depan Golkar diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme internal, kita tak sepatutnya menyalahkan dan menyudutkan pemerintah," katanya.

Hal tersebut hanya langkah pencarian kambing hitam pada pada pihak di luar Golkar. Padahal, kasus ini terjai lantaran masalah internal golkar yang tidak menjalankan mekanisme internal secara demokratis, tidak jujur dan tidak patuh pada AD/ART. Padahal UU Parpol menyatakan kedaulatan tertinggi ada di tangan anggota, bukan para elite, apalagi ditempuh dengan cara cara yang penuh rekayasa dan oligarkis, dengan metode stick and carrot.

Golkar akan selamat memasuki Pilkada 2017, pileg dan pilpres serentak pada tahun 2019 ketika utuh, bersatu, demokratis, regeneratif, dan merakyat. Solusinya Forum Munas kembali. "Kami meyakini mekanisme hukum tidak akan pernah mampu dan bisa menyelamatkan persatuan dan kesatuan diantara segenap kekuatan partai," ujarnya.

BACA JUGA: