JAKARTA, GRESNEWS - COM - Hubungan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dengan DPRD DKI Jakarta tak kunjung harmonis. Hubungan mereka kembali memanas menyusul diajukannya hak angket oleh DPRD terhadapnya.

Menurut Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia, Syamsuddin Alimsyah, ketidakharmonisan itu sebenarnya merefleksikan hubungan governance yang buruk yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Perseteruan tidak akan terjadi jika pembahasan APBD dilakukan secara transparan agar tercipta tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Pembahasan anggaran daerah juga bukan lagi menjadi ruang  transaksi antara eksekutif dan legislatif. Jangan sampai APBD menjadi proyek "bancakan" antara eksekutif dan legislatif.

Karena itu, menurutnya, perlu keterlibatan ´publik´ dan kalangan profesional. Hal ini dapat menjadi pencegahan utama misalokasi dan mispenggunaan anggaran. Sekaligus mencegah terjadinya ´transaksi bisnis politik anggaran´ yang selama ini terus terjadi. Pembahasan APBD menjadi contoh bahwa pengelolaan keuangan daerah harus transparan agar tercipta tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.

"Melihat konflik antara Ahok dan DPRD DKI Jakarta seharusnya dapat menjadi pembelajaran bagi pengelolaan keuangan daerah," kata Syamsuddin kepada Gresnews.com, Sabtu (28/2).

Ia mengatakan sebenarnya konflik bisa diredakan dengan cara kembali pada peraturan tentang proses penyusunan APBD. Mulai dari Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 37 Tahun 2014 tentag Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran (TA) 2015. Kemudian aturan dasar tentang penyusunan APBD maupun Pengelolaan Keuangan Daerah, berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Serta Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

"Proses penyusunan APBD yang melibatkan DPRD dimulai dengan pengajuan KUA-PPAS oleh Pemda kepada DPRD," terangnya  KUA-PPAS diajukan setelah melalui proses Musrenbang dari tingkat kelurahan sampai dengan tingkat Propinsi yang kemudian disusun dalam bentuk Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).

"Disinilah peran publik itu harus ada dan dilakukan secara trasparan," tegasnya.

Kisruh itu berawal dari prosedur pembahasan APBD DKI Jakarta 2015 yang semestinya dibahas tuntas bersama antara eksekutif-legislatif daerah. Justru akhirnya hanya dibahas secara terbatas di level eksekutif. Dewan menilai Gubernur menyalahi prosedur pengiriman APBD 2015 yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna pada 27 Januari lalu ke Menteri Dalam Negeri. APBD 2015 sebesar Rp78,03 triliun yang telah disahkan dalam Paripurna itu langsung di kirim Pemprov DKI Jakarta tanpa dibahas kembali bersama DPRD DKI Jakarta.

DPRD mensinyalir ada perbedaan antara APBD yang disahkan dalam rapat paripurna dengan APBD yang dikirimkan ke Menteri Dalam Negeri. Sementara menurut Ahok, banyak ´anggaran siluman´ yang sengaja dititipkan ke berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) oleh para wakil rakyat DKI. Tak tanggung-tanggung ´anggaran siluman´ tersebut mencapai Rp12,1 triliun.

BACA JUGA: