JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tanggal 13 Agustus mendatang, DPR RI akan memulai kembali masa persidangan kelima setelah dalam masa persidangan keempat yang berakhir pada tanggal 6 Juli lalu, DPR belum menyelesaikan satu pun undang-undang. Hanya saja dalam kesempatan masa sidang keempat kemarin, DPR dan pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia membuat satu kesepakatan penting.

Kesepakatan itu adalah memulai pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). "Ya, jadi begitu nanti masa sidang akan datang dibuka, kita mulai untuk bahas DIM (Daftar Inventarisasi Masalah). Kita mulai dengan raker, bahas DIM dari masing-masing fraksi," kata Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman, Senin (6/7)  lalu.

Menurut Benny, pembahasan rapat kerja di Komisi III, akan membahas seluruh materi muatan dalam RUU KUHP secara umum. Dalam implementasinya, setiap usul perubahan substansial dibahas dengan ada beberapa catatan.

"Substansi disetujui dan rumusan juga disetujui langsung disahkan. Substansi disetujui, rumusan belum disetujui, perumusannya di serahkan kepada Tim Perumus (Timus)," ujar politisi Demokrat itu.

Kemudian, Benny menambahkan, pihaknya akan membentuk Panitia Kerja (Panja) yang nanti akan bertanggung jawab kepada rapat kerja. Tugas Panja ini melakukan pembahasan secara mendalam terhadap materi muatan RUU yang belum disetujui Rapat Kerja.

"Tata cara pembahasan usul perubahan disesuaikan dengan tata cara pembahasan dalam rapat kerja. Nantinta rapat Panja RUU KUHP ini dipimpin oleh pimpinan komisi," sebutnya.

Revisi UU KUHP ini sebenarnya sudah diusulkan sejak lama, sekitar tahun 80-an. Di periode Pemerintahan sekarang ini, rencananya DPR akan membahas revisi UU KUHP pada masa sidang IV. Namun kini molor lagi.

Jika pembahasan jadi dimulai pada masa persidangan V mendatang, diperkirakan RKUHP baru akan bisa diselesaikan dalam masa dua tahun mendatang. "Kalau itu berhasil, ini percaya bisa selesai 2 tahun. Kalau meleset sedikit lah dari itu. Ini tidak seperti undang-undang lain yang bisa diselesaikan satu-dua masa sidang. Pembentukannya saja lebih 30 tahun. Ide dasarnya saja sampai sekarang lama," kata Menkumham Yasonna Laoly beberapa waktu lalu.

Hal senada dikatakan Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman. Komisi III akan berusaha menyelesaikan RUU ini sesuai rencana. "Kita akan berpikir simpel. Yang susah belakangan, yang mudah diprioritaskan. RUU ini lama, Perlu proses karena memuat 786 pasal yang ada. Persoalan ini akan kita kerjakan secara bersama," tuturnya.

DAMPAK KODIFIKASI KUHP - Rancangan KUHP memang memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dari RUU lainnya. Supriyadi W Eddyono dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengatakan, RKUHP merupakan hasil dari rekodifikasi hukum pidana nasional Indonesia.

"Dengan adanya rekodifikasi hukum pidana nasional ke dalam RKUHP ini, maka segala macam ketentuan perundang-undangan pidana menjadi tersatukan (terunifikasikan) secara sistematis ke dalam satu buku khusus," katanya kepada gresnews.com, Jumat (31/7).

Sebagai konsenkuensi dari karakteristiknya yang merupakan kodifikasi seluruh bentuk pemidanaan ini, kata Supriyadi, membuat RKUHP akan memberi pengaruh kepada beberapa aturan dan perundangan lain yang juga mengatur pemidanaan. Dari perkembangannya, model kodifikasi yang akan dikembangkan dalam RKUHAP adalah kodifikasi total dimana semua ketentuan pidana (generic crime) di luar KUHP akan dimasukkan dalam RKUHP.

Ada beberapa peraturan dan perundangan yang diperkirakan bakal terpengaruh dengan model kodifikasi RKUHAP ini nantinya. Pertama adalah undang-undang sektoral yang memuat ketentuan pidana yang bersifat umum (generic crime) di luar KUHP. Kedua, pemetaan ulang tindak pidana administratif (administrative crime).

Ketiga, aturan tindak pidana dalam Peraturan Daerah (Perda). Keempat, hukum yang hidup di masyarakat (hukum pidana adat). Kelima, sejumlah instrumen hukum internasional yang mungkin berlaku bagi Indonesia, pasca terbentuknya RKUHP.

Supriyadi menegaskan, menurut Aliansi nasional reformasi KUHP, implikasi terhadap sejumlah instrumen hukum ini perlu mendapatkan sorotan mendalam karena di satu sisi peraturan-peraturan tersebut memiliki peranan sentral dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia dewasa ini.

"Hal ini justru memicu timbulnya dualisme (ambiguity), ketidakjelasan serta konflik-konflik antara RKUHP dengan instrumen hukum yang memuat ketentuan pidana di luar KUHP tersebut," ujarnya.

Merujuk kepada model kodifikasi total dalam RKUHP yang menitikberatkan pada upaya untuk memasukkan semua ketentuan pidana di luar KUHP ke dalam RKUHP, maka tak pelak rekodifikasi RKUHP ini tentunya akan memberikan dampak yang krusial bagi pasal-pasal dalam undang-undang sektoral yang memuat ketentuan generic crime di luar KUHP.

Kodifikasi dengan model yang memisahkan antara generic crime dan administrative crime ini juga kemudian akan menimbulkan pertanyaan akan bagaimana menarik generic crime yang ada dalam undang-undang sektoral di luar KUHP ke dalam RKUHP pasca lahirnya rancangan tersebut?

"Ini juga akan mengakibatkan adanya pemetaan ulang dari tindak pidana administratif per se," urai Supriyadi.

Lebih lanjut, kodifikasi ini juga akan berimplikasi pada ketentuan pidana yang ada di tingkat lokal (Perda) sebagai dampak dari adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. RKUHP akan berimplikasi pada hukum yang berlaku di masyarakat (living law), seperti hukum pidana adat.

"Sebagai tambahan, mengingat posisi Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, maka jelas pembentukan kodifikasi RKUHP ini juga akan berdampak terhadap kewajiban Indonesia untuk mematuhi sejumlah instrumen hukum internasional," ujar Supriyadi.

KONSEKUENSI PENGESAHAN RKUHP - Supriyadi menegaskan, model kodifikasi total yang memisahkan antara generic crime dan administrative crime ini, membuat eksistensi RKUHP nantinya adakan menimbulkan dilema dengan keberadaan undang-undang lainnya. Karena itu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP, merekomendasikan seluruh pemangku kepentingan yang terkait dalam persiapan dan pengesahan RKUHP untuk secara bertahap melakukan beberapa hal.

Pertama, sebelum mengesahkan RKUHP, DPR harus terlebih dahulu menjelaskan amandemen terhadap Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam amandemen itu, UU 12/2011 memberikan batasan bahwa undang-undang sektoral dan Perda hanya dimungkinkan memuat ketentuan pidana yang bersifat administratif saja.

Secara alternatif, jika ketentuan dalam Pasal 15 ini belum diamandemen, RKUHP sebaiknya memuat ketentuan khusus untuk menjembatani eksistensi Pasal ini. "Dengan demikian, pembentukan undang-undang sektoral dan Perda yang memuat ketentuan pidana tidak mengalami kesulitan akan ketentuan hukum mana yang harus dipatuhi," kata Supriyadi.

Kedua, terkait undang-undang sektoral yang memuat tindak pidana di luar RKUHP, pihak Aliansi mendesak Pemerintah dan DPR untuk cabut RUU sektoral yang ada dalam daftar Prolegnas yang masih memuat ketentuan pidana di luar RKUHP dan memindahkannya ke dalam RKUHP. Pencabutan RUU sektoral ini harus juga diiringi dengan pencabutan Pasal 218 RKUHP yang masih memungkinkan termuatnya ketentuan pidana dalam undang-undang sektoral di luar RKUHP.

Ketiga, terkait tindak pidana administratif, pasca pengesahan RKUHP, perlu diadakan pemetaan ulang terhadap tindak pidana mana saja yang dapat dikualifisir sebagai tindak pidana administratif, termasuk pula menguraikan alasan-alasan pemasukan beberapa tindak pidana yang bersifat administratif masih termuat dalam RKUHP. Padahal di sisi lain esensi karakteristik RKUHP hanyalah untuk mengakomodir tindak pidana umum/independen saja.

Keempat, terkait Perda, Aliansi masih menemukan loophole atau lubang yang belum ditelaah oleh tim perumus RKUHP terkait dengan implikasi rekodifikasi RKUHP terhadap Perda. Walaupun Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 memberikan otoritas bagi Perda untuk memuat ketentuan pidana tanpa batas.

Artinya Perda dapat mengatur tindak pidana yang bersifat umum/independen maupun tindak pidana yang bersifat administratif. Namun ketentuan itu diperhadapkan dengan semangat pembentukan RKUHP yang hanya mengkhususkan tindak pidana yang bersifat umum/independen saja yang mungkin untuk ditempatkan dan mengeluarkan tindak pidana administratif pada Perda di luar RKUHP.

Situasi hal ini akan menjadi permasalahan besar bagi Pemda dan DPRD dalam merumuskan Perda yang memuat ketentuan pidana karena ketidakjelasan akan ketentuan mana yang mereka harus patuhi. Oleh karena itu, sebaiknya sebelum mengesahkan RKUHP ini perlu pula dilakukan pertimbangan dan kajian yang mendalam terkait dengan hubungan RKUHP dengan instrumen hukum lainnya.

Hal ini, kata Supriyadi, penting agar tidak terjadi tumpang tindih diantara mereka. Pemerintan dan DPR juga harus Memperjelas Bab XXXVII Buku II RKUHP tentang Ketentuan Peralihan, utamanya memodifikasi ketentuan Pasal 776 huruf (a), agar memiliki muatan pasal khusus yang dapat memungkinkan Perda untuk tetap memuat ketentuan pidana karena sifat kelokalannya bagi masing-masing daerah tentunya dalam kerangka kodifikasi hukum pidana.

Kelima, terkait hukum yang hidup di masyarakat (hukum pidana adat), Pemerintah dan DPR dituntut untuk memperjelas makna hukum yang hidup di masyarakat, sebagaimana tertuang dalam sejumlah pasal di RKUHP. Sepanjang pemaknaan ini belum ada, maka sebaiknya ketentuan-ketentuan tersebut dicabut untuk menjamin adanya RKUHP yang menjunjung tinggi asas kepastian hukum itu sendiri.

Jika hukum yang hidup di masyarakat ini dimaknai sebagai hukum pidana adat, maka pihak Aliansi merekomendasikan dibentuknya suatu lembaga khusus yang berwenang untuk menyaring hukum pidana adat mana saja yang berlaku dan masyarakat adat mana saja yang terikat olehnya agar rekodifikasi RKUHP tidak menciderai eksistensi hukum pidana adat.

Keenam, terkait hukum internasional, Pemerintah dan DPR didesak untuk memuat ketentuan khusus dalam RKUHP yang mengatur mengenai mekanisme harmonisasi ketentuan pidana yang ada dalam RKUHP dengan ketentuan hukum internasional. "Dalam hal ini adalah perjanjian internasional, yang sudah diratifikasi oleh Indonesia namun belum diinkorporasikan ke dalam bentuk undang-undang pengesahan perjanjian internasional secara khusus," pungkas Supriyadi. (dtc)

BACA JUGA: