JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menaikkan tarif bea masuk barang-barang impor berupa barang konsumsi seperti makanan, minuman, pakaian, kendaraan dan lainnya mengundang polemik. Masalahnya kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 132/PMK.010/2015 tentang penetapan sistem klarifikasi barang dan pembebanan‎ tarif bea masuk atas barang impor muncul terkesan mendadak sampai-sampai Menteri Perdagangan sebagai mitra Kemenkeu dalam urusan tarif ekspor impor tidak mengetahuinya. Tentu saja ini menyisakan tanya apakah pemerintah memiliki strategi lanjutan setelah menerapkan kebijakan yang membuat  para pengusaha terutama yang bergerak disektor otomotif tersengat ini.

Direktur Kajian Ekonomi Pusat Studi Sosial dan Politik (Puspol) Kusfiardi sepakat dengan pemerintah bahwa tujuan menaikkan tarif impor untuk melindungi produk dalam negeri agar tidak tertekan arus barang impor yang harga jualnnya cenderung lebih murah. Disisi lain, langkah ini sekaligus menunjukan keberpihakan pemerintah pada industri nasional.

Namun, Kusfiardi menilai, kebijakan menaikkan tarif impor itu tidak serta-merta menjamin negara terbebas dari masalah apabila aturan yang diberlakukan tidak dibarengi strategi dan pertimbangan yang komprehensif. "Jika penentuan tarif rata-rata tarif bea impor pangan naik 20 persen sementara pemerintah tidak punya upaya terstruktur memperkuat sektor pangan nasional, maka itu akan menjadi bumerang," jelas Kusfiardi dihubungi gresnews.com, Rabu (29/7).

Kusfiardi menambahkan, pada sektor produksi pangan semisal susu, daging dan sayuran, sebaiknya pemerintah jangan terlalu mengharapkan pada produk impor. Alasannya, produk tersebut memiliki siklus masa berlaku yang cenderung pendek.

Selanjutnya, upaya menahan laju impor pangan juga berperan penting mendorong produksi pangan nasional. Dengan begitu, kata Kusfiardi, negara dapat memberikan lapangan pekerjaan secara signifikan dan meningkatkan angka pendapatan serta kesejahteraan masyarkat. "Dari segi sektor pangan saja, banyak manfaat yang diperoleh apabila pemerintah punya strategi memenuhi kapasitas kebutuhan konsumsi dalam negeri," kata Kusfiardi.

Kemudian, pasca menaikkan tarif barang impor, pemerintah juga didesak memperkuat aparatur dan regulasi secara terintegrasi. Hal ini sebagai cara mencegah aliran barang ilegal masuk dari luar negeri mengingat kebutuhan masyarakat lokal akan produksi asing semakin tinggi.

Menyikapi ketergantungan impor, lanjut Kusfiardi, pemerintah jangan menyikapi secara parsial namun harus komprehensif salah satu cara melalui upaya penyiapan road map kemandirian produksi nasional. Bagaimanapun, pemerintah diharapkan dapat menyediakan solusi dan jalan keluar dibalik kebijakan yang telah dibuat.

PENUHI DULU KEBUTUHAN POKOK MASYARAKAT - Kritikan atas kebijakan pemerintah menaikkan bea tarif impor juga datang dari lembaga yang mengurusi sektor konsumsi publik. Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, aturan kenaikan pajak barang impor mesti diimbangi pemenuhan kebutuhan bahan pokok sehari-hari masyarakat. Sebab, tanpa solusi memenuhi produksi kebutuhan dalam negeri, pemerintah diklaim menghambat akses kebutuhan konsumsi terutama keperluan sehari-hari.

"Faktanya masyarakat masih sangat tergantung pada barang impor termasuk barang untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari. Jika kebutuhan masyarakat di dalam negeri belum mampu diproduksi secara mandiri sebaiknya jangan diambil langkah itu," kata Tulus kepada gresnews.com, Rabu (29/7).

Tulus berpendapat, konsekuensi di balik langkah pemerintah saat ini adalah kemampuan memenuhi target penghasilan produk serupa sebagai substitusi dari pengenaan tarif barang impor. "Pendapat pemerintah naik namun kebutuhan masyarakat juga harus terpenuhi. Dari jenis barang yang dikenakan pajak, berarti secara logika, minimal Indonesia harus bisa mampu memproduksinya," ucap Tulus.

Dari barang impor yang ada, Tulus menilai sebenarnya sebagian besar masih mampu diproduksi secara mandiri oleh Indonesia. Ia mencontohkan, Indonesia sebagai negara penghasil kopi, sudah seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan modal produksi nasional.

SEKTOR OTOMOTIF MERADANG -  Sektor otomotif yang paling keras terkena dampak dari kebijakan kenaikan bea masuk ini. Peraturan baru pemerintah tersebut memang mengatur puluhan pos tariff termasuk di sektor otomotif. Disebutkan Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 orang atau lebih dikenakan bea masuk impor menjadi 20-50 persen. Kedua, mobil dan kendaraan bermotor lainnya yang dirancang untuk pengangkutan orang dikenakan tarif bea masuk impor menjadi 50 persen. Suara-suara keberatan atas kebijakan ini pun bermunculan. Industri sepeda motor di Indonesia menilai aturan itu justru tidak akan produktif.

"Tujuannya memang bagus jika untuk memacu bertumbuhnya dan daya saing industri di dalam negeri sekaligus meningkatkan pendapatan dari pajak termasuk bea masuk impor. Tetapi kondisi saat ini tidak memungkinkan untuk itu, sehingga justru kontra produktif," tutur Ketua Bidang Komersial Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), Sigit Kumala, Rabu (29/7).

Menurutnya, motor yang diimpor ke Tanah Air selama ini adalah motor yang bermesin 250 cc ke atas. Segmen ini tergolong kecil dan ceruk pasarnya tak sebesar motor dengan mesin kurang dari itu. Sehingga, jika dikenai bea masuk yang lebih tinggi lagi, maka kemungkinan besar penjualan akan semakin mengecil. Artinya, tujuan untuk meraup pendapatan yang lebih banyak kemungkinan besar tidak akan tercapai.

Sedangkan untuk memicu industri di dalam negeri, yakni mendorong proses produksi motor jenis itu di dalam negeri juga tak semudah membalik telapak tangan. Soalnya, pabrikan juga memiliki logika sendiri yakni skala ekonomi sebagai syarat relokasi proses produksi.

Artinya, kata Sigit, diperlukan pencapaian target minimal penjualan motor impor itu hingga jumlah tertentu dalam setahun. Misalnya, 3.000 unit, 5.000 unit, 10.000 unit dan sebagainya tergantung kebijakan pabrikan yang bersangkutan.

"Sedangkan untuk mencapai target penjualan, atau setidaknya meningkatkan penjualan tentu saja harganya harus bersaing. Nah, kalau semakin mahal, bagaimana? Jadi daya beli dulu yang semestinya ditingkatkan," kata Sigit.

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia menilai kenaikan bea masuk untuk mobil impor memang akan mempengaruhi industri otomotif. Namun efeknya dinilai kecil. Karena mobil-mobil CBU volume penjualannya relatif lebih kecil. "Problem di otomotif mungkin ada pengaruhnya. Tapi itu enggak terlalu banyak pengaruhnya," ujar Ketua III Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia Johnny Darmawan.

Menurutnya kenaikan bea masuk konsepnya untuk mengurangi tingkat konsumsi masyarakat Indonesia dalam menggunakan produk impor. Kalau sudah diproduksi di dalam negeri kenapa harus masih impor. Menurut saya itu positif dalam rangka substitusi dan mempromosikan produk lokal. "Tapi yang ditakutkan adalah nanti barang lokal juga naik," ujarnya yang mengaku masih terus mempelajari dampak kenaikan bea masuk ini.

Namun berbeda dengan yang diucapkan Johnny, CEO PT Garansindo Inter Global Muhammad Al Abdullah lebih berkata keras soal kenaikan bea masuk.  Dia menegaskan justru impor mobil sebagian besar (95 persen) datang dari negara-negara yang sudah memiliki perjanjian kerja sama dengan Indonesia. Seperti dari Thailand, Jepang dan negara lainnya. "Mobil-mobil ini masuk tanpa bayar bea masuk," ujarnya.

Sementara itu Garansindo justru membayar bea masuk, dan terdaftar sebagai salah satu penyetor bea masuk/pajak impor terbesar. "Kenapa kami selalu dianggap musuh oleh pemerintah, kami tiap tahun bayar ratusan miliar untuk bea masuk, kami ini pembayar bea masuk terbesar di bea cukai apakah itu gak dianggap?" ujarnya dengan nada tinggi. (dtc)

BACA JUGA: