JAKARTA, GRESNEWS.COM - DPR RI diminta  benar-benar menerapkan kelayakan fit and proper test terhadap calon duta besar (dubes) Indonesia September mendatang. Pasalnya selama ini, jabatan dubes dianggap hanya jabatan buangan semata. Sehingga penunjukan nama calon dubes kerap hanya balas jasa tanpa pertimbangan kompetensi. Dampaknya kinerja para dubes dalam mewakili negara rendah.

Pengamat Politik Arbi Sanit menyatakan, tradisi dubes sebagai jabatan buangan memang belum habis dan masih berlanjut hingga saat ini. "Lihat saja bagaimana cara dubes kita bekerja memberikan peringatan pada negaranya," katanya kepada gresnews.com, Rabu (2/9).

Ia mencontohkan peran dubes Indonesia untuk China yang tak memberitahukan dampak kebijakan pemerintah China terhadap ekonomi Indonesia. "China melakukan penurunan nilai mata uang, lalu nilai Rupiah merosot, ekspor turun. Tapi kita tak dapat info apa-apa dari dubes," katanya.

Padahal seharusnya, dubes dapat memperingatkan kebijakan China tersebut pada pemerintah Indonesia untuk dilakukan evaluasi. Setelahnya tentu Indonesia dapat mengetahui akibat dari kebijakan tersebut.

"Ini kan dubes tak melakukan apa-apa, sehingga kita terjebak China, padahal ini tugas dubes, tanggung jawab mereka memberi tahu apa yang merugikan negaranya," ujarnya.

Lebih celaka lagi saat dinyatakan  33 calon dubes yang diusulkan Presiden Jokowi belakangan, sebagian besar merupakan mantan tim sukses sewaktu pemilu presiden lalu. Sebagian lagi para caleg yang gagal menjadi anggota DPR, bahkan ada juga seorang seniman lukis. Arbi melihat penunjukan dubes ini hanya sebagai balas jasa untuk membayar utang politik. Padahal, jabatan dubes merupakan jabatan strategis sekaligus bergengsi yang seharusnya diisi orang-orang berkompeten.

Pilihan ini bukan tak berdasar, pada era Orde Baru, jabatan dubes memang condong diberikan pada orang-orang yang vokal agar tak banyak mengkritik pemerintahan saat itu. Contohnya saja Jenderal Hoegeng yang diberhentikan sebagai Kapolri oleh Presiden Soeharto pada 2 Oktober 1971, meski belum waktunya untuk pensiun. Diduga motif pencopotan saat itu lantaran Presiden Soeharto merasa tidak nyaman dengan tingkah laku Hoegeng yang mengusik ketenangan bisnis keluarga cendana.

Hoegeng memang dikenal sebagai polisi yang berdedikasi dan lurus-lurus saja jalannya. Ia kemudian ditawari jabatan duta besar di negara Belgia. Walaupun ia masih menginginkan bekerja apa saja asal tak ditempatkan di luar negeri, namun Presiden Soeharto menyatakan sudah tidak ada tempat untuknya di Indonesia.

Kabarnya pencopotan Jenderal Sutarman sebagai Kapolri pada  tanggal 16 Januari lalu juga senada. Masa pensiun Sutarman yang baru habis Oktober 2015 di percepat. Tanggal 19 Januari Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijanto menyatakan Sutarman ditawari beberapa posisi dari duta besar sampai jabatan petinggi di BUMN. Namun ia lebih memilih kembali "bertani" dan berkumpul bersama keluarga.

Pun pada Sarwo Edhie Wibowo yang didubeskan ke Korea Selatan oleh Soeharto. Walaupun terdapat nama yang menolak jabatan Dubes dengan alasan lugu, yakni tidak lancar Bahasa Inggris. "Sayang orang-orang yang berkuasa juga banyak memakai jabatan ini untuk membayar utang budi," kata Arbi.

BANYAK TAK FASIH BAHASA INGGRIS - Perbandingan posisi dubes karier dan non karier bisa mencapai 80-20 persen. Pada tahun 2005 DPR pernah mengusulkan perbandingan ini menjadi sama rata 50:50, namun diabaikan Presiden SBY. Posisi buangan inilah yang kemudian menjadi kemungkinan jawaban atas kinerja para dubes selama ini.

Dubes Indonesia terkenal banyak tak fasih berbahasa Inggris, sehingga pada forum Internasional cenderung bersosialisasi hanya pada dubes-dubes dari Asia saja, atau bahkan tidak sama sekali. Walaupun memang tak dipungkiri terdapat dubes yang benar-benar kompeten di bidangnya. Misalnya Dino Patti Djalal yang memang kuliah di jurusan Hubungan Internasional dan pernah menjabat dubes RI untuk AS.

Dino diketahui rajin mempromosikan Indonesia di negara tempatnya bertugas. Yang paling populer adalah ketika dirinya menginisiasi Diaspora Indonesia. "Artinya memang berpengaruh latar belakang dari dubes. Namun ketika jabatannya hanya buangan banyak yang tak tepat mewakili Indonesia," kata Arbi.

Menurut Arbi para dubes buangan ini hanya menghabiskan anggaran negara dan hidup enak di negara penempatan. "Yang jadi masalah, sudah tahu tak pantas jadi dubes masih saja diterima jabatannya," katanya.

Walaupun tak berkompeten, namun masih banyak orang yang ingin menggapai jabatan sebagai duta besar. Hal ini karena gaji dubes yang terhitung besar karena disetarakan dengan Dolar serta pemasukan lain di luar gaji. Seorang dubes diketahui mendapatkan gaji dari U$D 3000-8000 atau setara Rp 42-112 juta.

Pada kasus yang membelit Duta Besar RI untuk Malaysia, Roesdihardjo dan mantan Kepala Bidang Imigrasi KBRI Kuala Lumpur, Arihken Tarigan misalnya, mereka didakwa merugikan negara 6,180 juta Ringgit Malaysia (RM) atau setara Rp15,45 miliar dalam kurs saat itu terhadap kasus dugaan korupsi pungutan liar di KBRI Kuala Lumpur, Malaysia. Sedang Roesdihardjo dinyatakan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dari pemberlakuan SK Ganda untuk kepengurusan dokumen keimigrasian di KBRI Kuala Lumpur.

Selama menjabat Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Malaysia, Roesdihardjo didakwa setiap bulan menerima 30.000 hingga 40.000 RM atau seluruhnya sebesar 660.000 RM hingga 880.000 RM atau setara Rp1,65 miliar sampai Rp2,2 miliar. Sedangkan Arihken dan para pegawai KBRI Kuala Lumpur lainnya didakwa menerima 5,3 juta RM atau setara Rp13,25 miliar.

PENTING KEMAMPUAN DIPLOMASI - Namun pengamat politik komunikasi Hendri Satrio menyatakan esensi menjadi dubes perwakilan negara Indonesia di negara lain harus mempunyai kemampuan komunikasi dan diplomasi yang baik. Dengan kemampuan seperti itu, ia yakin Indonesia tak kekurangan sumber daya. Untuk itu ia meyakini daftar 33 calon dubes yang diusulkan Presiden Jokowi sudah melewati tahapan kriteria tersebut.

"Terlepas yang dipilih ternyata mantan relawan, jika tak kompeten toh bisa dievaluasi," ujarnya kepada gresnews.com, Rabu (2/9).

Apalagi mengingat Presiden Jokowi pernah menyatakan bahwa para dubes haruslah memiliki kriteria tertentu agar dapat bertindak sebagai pemasar Indonesia di negara penempatan. Sehingga ketika ada suara miring yang menuduh jabatan dubes merupakan jabatan buangan,  maka bisa dikatakan tudingan tersebut tak beralasan.

"Saat ini tekanan yang datang bukan dari atasan lagi, tapi dari masyarakat," katanya.

Walaupun ia menyadari memang benar terkadang jabatan dubes untuk melengkapi posisi menteri yang sudah terisi penuh. Namun bukan berarti dubes tak berkompeten.

"Ini jabatan bergengsi, misal sudah purna namun masih produktif bisa diberdayakan sebagai dubes," ujarnya.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo pada 6 Agustus lalu telah mengajukan 33 nama calon duta besar Indonesia untuk negara sahabat ke DPR. Namun penunjukan sejumlah nama itu tak luput dari sejumlah kritik. Wakil Ketua DPR Fadli Zon misalnya menyebut pemilihan nama tersebut terkesan kental nuansa politiknya, yakni adanya bagi-bagi kekuasaan.

"Sepintas nama-nama itu terlalu banyak dari Parpol dan berafiliasi dengan penguasa. Jadi ya ini kayak bagi-bagi kekuasaan," ujarnya, Sabtu (8/8).

Ia mengakui pemilihan dubes menjadi hak presiden. Hanya ia mengingatkan seyogyanya pemilihan itu lebih mempertimbangkan kapasitas calon. Sebaiknya mayoritas dari diplomat karir

"Kalau dari diplomat karir pasti mumpuni. Sementara mereka, ujug-ujug ngerti nggak diplomasi kayak apa? Politik luar negeri kayak apa? Ngerti nggak dia? Apalagi Jokowi ingin jadikan kedutaan garda depan marketing kepentingan nasional," tegas politis Gerindra ini.

Persetujuan terhadap pengajuan nama dubes itu menurutnya akan dibahas pada sidang paripurna. DPR akan menyerahkan proses seleksi ini kepada Komisi I dengan melakukan fit and proper test kepada calon.

Berikut 33 nama calon dubes baru yang diusulkan Jokowi ke DPR:

1. Hasan Bagis, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab
2. Safira Machrusah, Alffer, Aljazira
3. Bambang Antarikso, Baghdad, Irak
4. Husnan Bey Fananie, Baku, Azerbaijan
5. Ahmad Rusdi, Bangkok, Thailand
6. Yuri Octavian Thamrin, Brussel, Belgia dan merangkap Keharyapatihan Luksemburg dan Uni Eropa
7. Helmy Fauzi, Kairo, Mesir
8. Mayjen TNI (Purn) Mochammad Luthfie Wittoeng, Caracas, Venezuela
9. Mansyur Pangeran, Dakar, Senegal
10. I Gusti Agung Wesaka Puja, Den Haag, Belanda merangkap OPCW
11. Marsekal Madya TNI (Purn) Muhammad Basri Sidehabi, Doha, Qatar
12. Ibnu Hadi, Hanoi, Viietnam
13. Alfred Tanduk Palembangan, Havana, Kuba
14. Wiwiek Setyawati Firman, Helsinski, Finlandia
15. Iwan Suyudhie Amri, Islamabad, Pakistan
16. Muhammad Ibnu Said, Kopenhagen, Denmark
17. Rizal Sukma, London untuk Inggris dan Irlandia
18. Tito Dos Santos Baptista, Maputo, Mozambique
19. Mohammad Wahid Supriyadi, Moscow, Rusia
20. Musthofa Taufik Abdul Latif, Muscat, Oman
21. R Soehardjono Sastromihardjo, Nairobi, Kenya
22. Marsekal Madya TNI (Purn) Budhy Santoso, Panama City, Panama
23. Dian Triansyah Djani, New York untuk utusan tetap PBB
24. Diennaryati Tjokrisuprihatono, Quito, Ekuador
25. Agus Maftuh Abegebriel, Riyadh, Arab Saudi
26. Amelia Achmad Yani, Sarajevo, Bosnia-Herzegovina
27. I Gede Ngurah Swajaya, Singapura
28. Sri Astarai Rasjid, Sofia, Bulgaria
29. R Bagas Hapsoro, Stockholm, Swedia
30. Octaviano Alimudin, Tehran, Iran
31. Antonius Agus Sriyono, Vatican
32. Eddy Basuki, Windhoek, Namibia
33. Alexander Litaay, Zagreb, Kroasia. (dtc)

BACA JUGA: