JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras)
mempertanyakan hasil kerja Tim Transisi. Sebab output yang dihasilkan, terutama untuk nama-nama calon menteri yang diusulkan menjadi pembantu presiden Jokowi justru nama-nama yang memiliki resistensi di masyarakat.  Tim transisi  dituding hanya mencari untung sendiri, bukanya meneruskan saran masyarakat.

"Tim transisi itu banyak undang kiri kanan tapi tak ada hasilnya, padahal sudah makan banyak energi, dua bulan kerja tidak sebentar, keluar dana juga. Apa hasil dari masukan masyarakat?" ujar Koordinator Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar di Kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Jumat (24/10).

Menurut Haris,  mestinya karena dibuat dalam rangka menampung aspirasi publik, ada akuntabilitas dan transparasi juga kepada publik. Tapi kesan yang muncul,  malah seperti mendulang emas di air keruh karena beberapa nama calon menteri yang beredar merupakan aktor utama di balik tim transisi, sebut saja Rini M Seomarno, Andi Widjajanto, dan Hasto Kristianto. "Mereka menganggap enteng partisipasi publik. Mengambil dari masyarakat tapi tak mengembalikan ke masyarakat," katanya.

Haris menyesali sikap Jokowi yang tidak partisipatif dan memperhatikan usulan publik. Hal ini tercermin dari beberapa nama yang sangat bermasalah dan diduga kuat terlibat isu pelanggaran HAM, seperti Hendropriono dan Wiranto. Menurut dia,  nama-nama ini yang berpotensi menjadi hambatan pemenuhan janji penumpasan kasus HAM oleh pemerintahan kelak. Citra buruk internasional pun akan muncul karena menteri yang dipilih sudah dicekal di luar negeri. "Lalu jika sudah begitu bagaimana nasib hubungan Indonesia di dunia?" tanyanya.

Hal ini menurut Haris,  terjadi bukan hanya karena Jokowi tidak punya kerangka kuat tapi juga karena adanya arus besar kepentingan politik yang mengepungnya dalam waktu lama. Seperti arus dari Megawati, Hedropriyono, Jusuf kala, Rini sumarno dan Luhut panjaitan. Ditambah dengan gaya politiknya beberapa waktu terakhir yang membuka peluang kelompok KMP untuk menduduki kementeriannya.

Strategi ini jika salah langkah sedikit saja malah dikhawatirkan memutarbalikkan KIH. "Kita menyesali ini semua tak diakomodir dengan baik. Harusnya dikuatkan saja kerangka ´kerja, kerja, kerja´ siapa yang mau, berkompeten ajak! Jika seperti ini Jokowi main politik bagi-bagi kue dan yang penting mempertahankan pemerintahannya agar tidak digulingkan. Kita berpotensi masuk politik akomodatif," katanya.

Sebab ia melihat penekanannya saat ini terlihat bukan dari nama yang berkompeten. Melainkan dari kubu mana ia berasal. Oleh karena itu jika dalam 14 hari batas maksimal pengumuman kabinet, kerangka yang dibangun belum juga jelas,  maka akan ada pertarungan 5 tahun ke depan dalam membangun Indonesia.

Direktur Walhi Abetnego Tarigan juga menyayangkan ketidakjelasan nama-nama calon pembantu presiden hingga saat ini. Sehingga publik tidak bisa memberikan masukan atau penilaian.  "Bagaimana mau kita kawal, apa yang dikawal saja tidak jelas," ujar Abetnego kepada Gresnews.com saat konferensi pers, Jumat (24/10).

Menurutnya ada persepsi publik yang salah tentang jumlah kementerian. Jumlah kementerian dinilainya tak penting apakah ramping atau gemuk karena yang terpenting  adalah keefektifan kementerian tersebut. Ia mencontohkan bagaimana Autralia yang memiliki penduduk 25 juta atau setara penduduk Jabodetabek negara itu memiliki 18 kementerian.

BACA JUGA: