JAKARTA, GRESNEWS.COM - Guru Besar Tetap Pascasarjana Universitas Persada Indonesia YAI Jakarta Prof. Dr. Hamdy Hady menilai Indonesia belum siap menghadapi ASEAN Ekonomic Comunity atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015. Sama halnya saat menghadapi Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN atau ASEAN Free Trade Area (AFTA), kelemahannya terletak pada pemahaman karakteristik MEA dan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang masih minim.
 
"Kalau siap, sebenarnya belum siap. Masyarakat belum tahu karakteristik MEA itu seperti apa," kata Hamdy kepada Gresnews.com, usai seminar "Globalisasi and Internationalisation within the ASEAN Economic Communities" di Auditorium Hj. Darlina Julius, Gedung Fakultas Psikologi, Kampus A LPT YAI, Jakarta Pusat, Sabtu (22/11).
 
Hamdy mengatakan, dalam prakteknya, belum tentu MEA itu sesuai blueprint yang telah ditetapkan. Menurut blueprint, kata dia, MEA menjadi sangat dibutuhkan untuk memperkecil kesenjangan antara negara-negara ASEAN dalam hal pertumbuhan perekonomian dengan meningkatkan ketergantungan anggota-anggota didalamnya. MEA dapat mengembangkan konsep menghasilkan blok perdagangan tunggal yang dapat menangani dan bernegosiasi dengan eksportir dan importir non-ASEAN.
 
Sementara empat agenda prioritas adalah: pertama, negara-negara di kawasan Asia Tenggara menjadi sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi. Dengan terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi maka akan membuat arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah yang besar, dan tenaga kerja menjadi tidak ada hambatan dari satu negara ke negara lainnya.
 
Kedua, MEA akan dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi, yang memerlukan suatu kebijakan yang meliputi competition policy, consumer protection, Intellectual Property Rights (IPR), taxation (pajak), dan E-Commerce. Dengan demikian, dapat tercipta iklim persaingan yang adil.  
 
Ketiga, MEA pun akan dijadikan sebagai kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi yang merata, dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Kemampuan daya saing dan dinamisme UKM akan ditingkatkan dengan memfasilitasi akses mereka terhadap informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan sumber daya manusia dalam hal peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi.
 
Keempat, MEA akan diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian global. Dengan dengan membangun sebuah sistem untuk meningkatkan koordinasi terhadap negara-negara anggota. Selain itu, akan ditingkatkan partisipasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada jaringan pasokan global melalui pengembangkan paket bantuan teknis kepada negara-negara Anggota ASEAN yang kurang berkembang.

"Masalahnya sumber daya manusia kita masih lemah, tapi mau tidak mau kita harus menerima MEA dan persoalan SDM harus segera dibenahi pemerintah dalam waktu singkat ini," tegas Hamdy.

Menurutnya, SDM khusnya pada sektor tenaga kerja ini akan menjadi tantangan berat bagi pemerintah agar peluang kerja yang ada di Indonesia malah diisi oleh tenaga kerja dari negara ASEAN lain saat MEA berlangsung. Tenaga kerja Indonesia bebas kenegara kawasan MEA dengan kualitas tenaga kerja yang rendah.

Sebaliknya tenaga kerja  dari luar negeri bebas masuk ke Indonesia dengan sumber daya yang tinggi. "Nanti orang kita bisa menjadi kacung di negara kita sendiri. Pendidikan dan produktivitas Indonesia masih kalah bersaing dengan tenaga kerja Malaysia, dan Singapura," jelasnya.

Karena itu, kata dia, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla harus secepat mungkin membenahi kendala tersebut dalam waktu yang singkat. Sebab, MEA sudah berlaku pada 2015. Ketika SDM bisa dibenahi, maka persoalan ini bukan lagi sebagai tantangan, tapi berubah menjadi peluang dan menjadikan tenaga kerja Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sekaligus menjadi peluang juga di negara-negara ASEAN lainnya.

Pendapat serupa juga disampaikan Prof Anthony Stevenson dari University of Leicester, UK. Menurut Anhony, kelemahan yang disampaikan Hamdy itu sedikit terobati dengan membaiknya transparansi yang diterapkan pemerintahan Indonesia.
 
Kemudian, Indonesia memiliki sumber daya manusia yang sangat banyak. Hal ini menjadi potensi yang sangat besar. Apalagi sudah bertumbuhnya potensi usia terdidik muda yang memiliki kualitas baik. "Mereka memiliki inovasi tinggi dan kreatif," kata Stevenson kepada Gresnews.com.
 
Namun kata dia, ada persoalan Indonesia yang hampir sama dengan China, gap atau jurang antara kelas bawah (miskin) dan menegah dengan kalangan kaya sangat tinggi. Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah Indonesia, memfasilitasi kelas menegah untuk turut berperan luas dalam MEA ini.

Alasannya, kalangan menengah merupakan pelaku pasar yang banyak bersentuhan langsung dengan kelas bawah. "Bertumbuhnya kelas menegah akan bisa menutupi gap yang besar antara kelas miskin dan kelas kaya," kata Stevenson.
 
Hal yang tidak kalah pentingnya menurut dia untuk dapat bersaing di MEA adalah kestabiltan politik yang baik. Dengan membaiknya kestabilan politik ditambah sumber daya alam yang baik, para pebisnis luar sudah banyak yang tertarik untuk berinvestasi dengan konvensasi membangun inprastruktur.
 
"Mereka (investasi luar) sebenarnya sudah mulai percaya dengan Indonesia, tetapi Indonesia perlu melakukan pengaturan yang lebih baik dan transparan aturan,” jelasnya.
 
Transparansi aturan ini, kata Stevenson, menjadi hal yang sangat mutlak untuk saat ini agar siapapun berani menanamkan investasinya di Indonesia.

BACA JUGA: