JAKARTA, GRESNEWS.COM – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memutuskan untuk tidak mengesahkan kepengurusan Partai Golkar. Baik yang diajukan kubu Musyawarah Nasional (Munas) Bali yang menetapkan Aburizal Bakrie (Ical) sebagai ketua umum, maupun Munas Ancol versi Agung Laksono. Keputusan netral Kemenkumham ini dinilai akan memperpanjang prahara dan dualisme di internal Partai Golkar.

Kondisi ini dinilai Insitute for Strategic and Indonesia Studies (ISIS) juga akan mengkerdilkan langkah politik Partai Golkar baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, dipastikan menghambat langkah Partai Golkar bersama Kolaisi Merah Putih (KMP) di parlemen untuk melakukan oposisi terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sedagkan jangka panjang akan berdampak pada makin kerdilnya Golkar menghadapi pemilihan umum (Pemilu) 2019.
 
"Keputusan Kemenkumham yang berdiri netral dan menyerahkan konflik diselesaikan secara internal atau menempuh jalur hukum juga berdampak pada macetnya berbagai keputusan penting dan strategis di parlemen," tutur Direktur Eksekutif ISIS, Kisman Latumakulita dalam surat elektronik yang diterima Gresnews.com, Selasa (16/12).
 
Macetnya keputusan di parlemen, akan berimbas dan sangat merugikan pemerintahan Jokowi-JK. Kisman mencontohkan, keputusan strategis yang harus segera diputuskan parlemen diantaranya terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Perpu Pilkada) langsung. Kondisi ini dinilainya akan dilematis seiring akan dilaksanakannya pilkada di sejumlah daerah pada 2015.
 
Di sisi lain ia berpendapat, ketika Kemenkumham menyerahkan penyelesaian konflik internal Partai Golkar dilakukan melalui jalur hukum, maka yang dituntungkan adalah kepungurusan kubu Ical. "Keputusan Kemenkumham yang seakan berdiri netral tersebut, akan memberi peluang sangat besar bagi kemenangan kubu Aburizal bila menempuh jalur hukum, " tegasnya.

Ia mencontohkan kasus yang pernah dialami Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Menurut Kisman, keputusan Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan PKB  kubu Muhaimin Iskandar dan mengalahan PKB kubu Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah yurisprudensi yang akan menjadi acuan bagi keputusan hukum atas konflik internal partai politik (Parpol), terkait siapa yang berhak menyelenggarakan kongres atau musyawarah nasional (Munas) partai adalah ketua umum parpol.

Ia mengungkapkan, pada Juli 2010 lalu, MA dalam putusan kasasinya menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh PKB kubu Gus Dur atas Muhaimin. Putusan MA ini menguatkan putusan Pengadilan Negari Jakarta Selatan, yaitu kubu Muhaimin yang memenangkan perkara perdata. Dalam vonisnya, hakim menilai hasil Muktamar Luar Biasa di Ancol telah sesuai dengan anggaran dasar partai.
 
Seperti diketahui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan tidak bisa memutuskan kubu mana yang harus disahkan kepengurusannya oleh Kemenkumham. Ia beralasan, dalam Pasal 24 Undang-Undang Partai Politik menyebutkan, dalam hal terjadi perselisihan parpol hasil pengambilan keputusan belum dapat dilakukan oleh menteri sampai perselisihan selesai.
 
"Kedua-duanya sah. Menurut kami Golkar hendaknya menyelesaikan terlebih dahulu secara internal," kata Yasonna dalam konferensi persnya, Selasa (16/12).
 
Alasan Kemenkumham lainya tidak bisa memilih salah satu kubu itu karena tidak ingin mengintervensi kepengurusan Partai Golkar. Sebab, berdasarkan telaah, kedua dokumen, dan fakta-fakta yang diajukan baik oleh Ical maupun Agung sudah sesuai dan memenuhi persyaratan.

BACA JUGA: