JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pelaksanaan qanun jinayat (pidana) di Aceh sudah berjalan tiga tahun. Dalam pelaksanaannya, penghukuman pidana yang berlandaskan syariat Islam ini banyak mengundang sorotan dunia.  Qanun jinayat yang berlaku di Provinsi Aceh dilihat oleh pemerhati-pemerhati HAM dan Perempuan sebagai aturan yang mendiskriminasikan perempuan dalam penerapannya.

Tak heran jika dalam siklus ke-2 Universal Periodic Review (UPR) dari Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Indonesia, Spanyol merekomendasikan Indonesia untuk menghapus legislasi yang mengkriminalisasi dengan alasan hubungan sesama jenis, dan juga yang bersifat diskriminatif berdasarakan orientasi seks seseorang. "Khususnya setelah pembentukan hukum syariah atau qanun qanun tahun 2002 di Aceh," kata peneliti dari Institut for Criminal Justice Reform (ICJR) Adhigama A. Budiman, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Senin (23/10).

Respons dari Indonesia untuk rekomendasi dari Spanyol di dalam UPR Indonesia siklus ke-2 hanyalah mencatat/noted, dengan jawaban dari pihak Indonesia bahwa rekomendasi yang disebutkan oleh Spanyol tidaklah sesuai dengan situasi yang terjadi di Provinsi yang disebutkan, dalam hal ini di Aceh. Kemudian, dalam UPR siklus ke-3 terhadap Indonesia, laporan dari Non-Governmental Organizations (NGOs) yang merupakan laporan paralel / shadow report terhadap proses UPR Indonesia, Solidaritas Perempuan (SP) menyoroti bahwa pemberlakuan Qanun Jinayat sebagai diskriminasi terhadap perempuan dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Demikian juga laporan dari Christian Solidarity Worldwide (CSW) mengenai adanya praktik hukum cambuk terhadap wanita non-muslim dan terhadap adanya aturan bagi anak dibawah 18 untuk dihukum cambuk. Submisi gabungan dari beberapa NGO juga menggarisbawahkan akan adanya tindak pidana baru yang diatur di dalam Qanun Jinayat yang dimana tidak diatur didalam perundang-undangan pidana nasional Indonesia, yaitu Liwath (hubungan sex antar laki-laki sesama jenis) dan Musahaqah (perbuatan bersifat sensual secara fisik antar dua orang wanita) dengan ancaman pidana cambuk 100 cambukan atau denda 1.000 gr emas atau 100 bulan kurungan badan.

"Kedua hal di atas menjadikan Qanun Jinayat masuk kedalam isu yang bertalian dengan kesetaraan gender dan non-diskriminasi, kerangka konstitusi dan legislasi, dan hak sipil dan politik di Indonesia, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan," terang Adhigama.

Walaupun di dalam submisi dari Badan HAM Nasional (National Human Rights Institutions), Komnas HAM gagal dalam memberikan perhatian bagi situasi di Aceh, Komnas Perempuan di dalam laporannya menyatakan khawatir akan adanya kemungkinan bagi perempuan korban pemerkosaan untuk dihukum melanggar Zina di bawah Qanun Jinayat. "Satu-satunya yang menjadi perhatian Komnas HAM dari Aceh adalah Truth and Reconciliation Commission (TRC) yang merupakan sebuah tindakan standar dari post-konflik di Aceh," ujar Adhigama.

Di dalam UPR siklus ke-3, diluar shadow reports dari lembaga-lembaga sipil mengenai pemberlakuan Qanun Jinayat, tidak ada negara yang memberikan rekomendasi secara langsung mengenai Qanun Jinayat. Namun, seperti disebutkan diatas, Qanun Jinayat merupakan isu yang bertalian dengan kesetaraan gender dan non-diskriminasi, kerangka konstitusi dan legislasi, dan mengenai hak sipil dan politik di Indonesia, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan, maka ada beberapa rekomendasi yang harus diaplikasikan oleh Indonesia setelah mengidentifikasi dampak dari pemberlakuan Qanun Jinayat.

Seperti misalnya, Kanada dalam rekomendasinya mendorong Indonesia untuk melindungi hak perempuan dan untuk memastikan setiap peraturan daerah dan semua peraturan perundang-undangan untuk sejalan dengan Konstitusi Indonesia. Selain itu, konsisten dengan kewajiban HAM dibawah Kovenan Internasional mengenai Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW). "Untuk rekomendasi ini, Indonesia memilih untuk mendukung," kata Adhigama.

Melihat dari proses UPR siklus ke-2 dan jawaban defensif Indonesia terhadap perhatian masyarakat nasional dan internasional bagi pemberlakuan Qanun Jinayat di Aceh, hal ini menunjukkan secara terbuka keengganan Indonesia untuk menerima kenyataan situasi HAM yang menjadi perhatian orang banyak. Walaupun pada siklus ke-3 isu Qanun Jinayat dalam laporan paralel dari NGO-NGO tidak masuk dalam rekomendasi negara-negara, ada titik terang dari langkah Indonesia dalam mendukung beberapa rekomendasi mengenai kesetaraan gender, perlindungan perempuan, dan juga komitmen politiknya untuk mempertimbangkan ratifikasi Protokol Opsional Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat (OP CAT).

"Ketiga hal utama diataslah merupakan akar dan jawaban dari ketidaksetujuan dan keprihatinan masyarakat terhadap pemberlakuan Qanun Jinayat yang melegalisasikan corporal punishment, hukuman cambuk," pungkas Adhigama. (mag)

BACA JUGA: