GRESNEWS - Advokat Yusril Ihza Mahendra kembali menghangatkan diskursus hukum tanah air. Kali ini, berkaitan dengan penafsiran atas putusan uji materiil Mahkamah Konstitusi (MK) pada 22 November 2012 tentang ketentuan penahanan seperti tercantum dalam Pasal 197 Ayat (2) Huruf k UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidanan (KUHAP). Lawan Yusril, seperti biasanya, adalah Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. Yusril juga berposisi sebagai advokat dari Parlin Riduansyah, direktur utama PT Satui Bara Tama, pemohon uji materiil pasal dimaksud.

Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP berbunyi: Surat putusan pemidanaan memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; Ayat (2) berbunyi tidak terpenuhinya ketentuan dalam Ayat (1) huruf k pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

""
Yusril Ihza Mahendra (Foto: pedomannews.com)

Yusril menegaskan, sebagai lembaga penegak hukum, Kementerian Hukum dan HAM wajib mematuhi putusan MK tertanggal 22 November 2012 itu. Begini argumen Yusril.

"Harus dibaca kembali putusan MK atas uji materiil MK mengenai Pasal 197 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan Parlin Riduansyah. Putusan itu menyatakan bahwa putusan pemidanaan setelah putusan MK pada tanggal 22 November 2012 yang tidak mencantumkan huruf k (perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan) pada Pasal 197 tidak batal demi hukum. Namun, putusan pemidanaan sebelum putusan MK tanggal 22 November 2012 tersebut tetap batal demi hukum," kata Yusril kepada wartawan di Jakarta, Selasa (12/2).

Menurut Yusril, MK juga menghapuskan huruf k dari Pasal 197 Ayat (1) dan menetapkan bahwa rumusan dari Ayat (2) Pasal 197 itu tidak mencantumkan lagi huruf k. Namun Yusril menegaskan putusan MK tersebut tidak berlaku surut (retroaktif). "Karena tak berlaku surut maka putusan pemidanaan sebelum putusan MK tanggal 22 November 2012 yang tidak memuat Pasal 197 Ayat (1) huruf k adalah batal demi hukum dan tidak bisa dieksekusi. Sehingga yang sudah terlanjur dieksekusi wajib dibebaskan demi hukum," ujar mantan Menteri Kehakiman dan HAM itu.

Terkait dengan Parlin yang sudah terlanjur dieksekusi oleh Kejaksaan, kata Yusril, seharusnya terhadap Parlin itu tidak bisa dieksekusi. "Tapi karena sudah terlanjur dieksekusi maka tanggung jawab dari jaksa sudah selesai. Begitu serah terima dengan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), tanggung jawab sudah sama Lapas dan harus segera dibebaskan demi hukum," kata Yusril.

Yusril menuding adanya kesan lempar bola dan cari aman antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM dengan pihak Kejaksaan terkait nasib para terpidana yang menjadi ´korban´ kontroversi Pasal 197 Ayat (1) huruf k itu.

Bila dilihat dalam berkas putusan, MK memutuskan Pasal 197 Ayat (2) huruf k KUHAP inkonstitusional bersyarat. Ketua MK Mahfud MD saat pembacaan putusan menyatakan pasal tersebut tidak memiliki keuatan hukum mengikat apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf k memgakibatkan putusan batal demi hukum. Pasal 197 Ayat (1) huruf k sifatnya imperatif kepada pengadilan sehingga jika hakim tidak mencantumkan dalam putusan maka akan menimbulkan akibat hukum tertentu. Namun, ada atau tidaknya pernyataan itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengingkari kebenaran materiil yang telah dinyatakan oleh hakim dalam amar putusannya.

Saat putusan, hakim Akil Mochtar mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurutnya pencantuman perintah penahanan itu adalah sesuatu yang penting. Jika tidak dicantumkan maka status terdakwa tidak jelas dan menimbulkan keadilan yang tertunda. "Keadilan yang tertunda menciptakan ketidakadilan," ujar Akil saat itu.

Imron Anwari
Sebetulnya, awal perkara ini berasal dari putusan Mahkamah Agung terhadap Parlin yang dipimpin ketua majelis Imron Anwari. Majelis mengabulkan kasasi Jaksa, dan mempidana Parlin 3 tahun. Namun dalam dalam putusan kasasi MA tersebut tidak mencantumkan syarat formal pemidanaan, sesuai Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP, dan sesuai Pasal 197 Ayat (2) KUHAP apabila tidak mencantumkan Pasal 197 Ayat (1) huruf k, yaitu perintah ditahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan, putusan tersebut batal demi hukum. Parlin adalah terdakwa kasus illegal mining eksplorasi lahan tambang batubara di kawasan hutan di Kecamatan Serui, Kabupaten Tanah Bumbu, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Pengadilan Negeri Banjarmasin pada 19 April 2010 telah memutuskan Parlin bebas murni.

Dua argumen penting Yusril adalah, pertama, Pasal 197 Ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa surat putusan pemidanaan memuat antara lain  huruf k perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”. Jadi, jika seorang terdakwa diadili dan diputus bersalah dan dijatuhi hukuman penjara, kalau terdakwa tidak ditahan, maka putusan harus memuat perintah supaya terdakwa ditahan. Kalau terdakwa sedang ditahan, maka putusan harus memuat perintah supaya terdakwa  tetap berada dalam tahanan. Kalau putusan membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum dan terdakwa ditahan, maka putusan harus memuat perintah agar terdakwa dibebaskan. Perintah tersebut, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 197 Ayat (1) huruf k. "Maksudnya adalah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 270 KUHAP, yakni ditujukan kepada Jaksa sebagai aparatur pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap," kata Yusril dalam surat yang diajukan kepada ketua DPR, 15 Mei 2012.

Kedua, Pasal 197 Ayat (2) menyatakan tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut "mengakibatkan putusan batal demi hukum. Putusan pengadilan dikatakan batal demi hukum (venrechtswege nietig atau ab initio legally null and void) artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed). Karena tidak pernah ada, maka putusan demikian itu tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum, sehingga dengan demikian, putusan tersebut  dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh Jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan.

"Mengingat pengertian putusan batal demi hukum adalah demikian menurut ilmu hukum, maka mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 Ayat (1) KUHAP adalah keharusan hukum yang bersifat memaksa (mandatory law atau dwingend recht), sehingga tidak boleh diabaikan oleh majelis hakim dalam memutus perkara pidana pada setiap tingkatan peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung)," kata Yusril.

Akil Mochtar, Sabtu (8/2), menyatakan, "Ya, sesuai dengan ketentuan undang-undang itu (KUHAP) sebelum ada putusan MK," kata Akil ketika ditanya wartawan.

""
Denny Indrayana

Namun Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana bersikeras menyatakan terpidana yang sudah dieksekusi tak bisa dibebaskan meskipun putusan pengadilannya yang menjadi dasar eksekusi adalah putusan batal demi hukum.

Sementara itu mantan Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Sihabudin melalui surat jawaban atas permohonan yang diajukan Yusril, sependapat dengan pernyataan Yusril, bahwa putusan pengadilan yang tidak mencantumkan Pasal 197 Ayat (1) huruf k, sebelum putusan MK tanggal 22 November 2012 adalah putusan batal demi hukum. "Namun kewenangan tersebut dikembalikan kepada Kejaksaan Agung selaku eksekutor," kata dia.

Yusril mengatakan, justru Kejaksaan melemparkan tanggung jawab ke Kemenkumham.

Sementara itu Pakar Hukum Pidana Andi Hamzah juga menilai bagi terpidana ´korban´ kontroversi Pasal 197 Ayat (1) huruf k harusnya dibebaskan demi hukum dan aparat penegak hukum wajib mematuhi putusan MK.

"Instansi penegak hukum wajib mematuhi putusan MK tanggal 22 November 2012. Dengan tidak mengeksekusi dan mengeluarkan yang sudah dieksekusi oleh kejaksaan terhadap putusan pemidanaan yang tidak memenuhi Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP sebelum adanya putusan MK tanggal 22 November 2012, karena ini demi keadilan," katanya, Selasa (12/2).

BACA JUGA: