JAKARTA, GRESNEWS.COM - Fraksi Partai Gerindra DPR secara tegas menolak pengesahan RUU APBN 2018 yang kini telah disahkan menjadi undang-undang dengan target pendapatan negara sebesar Rp1.894,72 triliun dan belanja negara senilai Rp2.220,66 triliun. Sebab, postur APBN 2018 tersebut dinilai tidak berpihak pada keadilan dan kesejahteraan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.

Hal tersebut terlihat dari tidak didukungnya kebijakan anggaran dalam program perlindungan perempuan dan anak, tidak adanya skema penganggaran pengangkatan guru baru, Program Keluarga Harapan yang tidak didukung melalui kebijakan anggaran, serta pelaksanaan Asian Para Games untuk para penyandang disabilitas yang akan dilaksanakan di Jakarta pada oktober 2018 mendatang tidak sepenuhnya dicover oleh pemerintah.

"Itu adalah beberapa di antara banyak catatan lain yang membuat postur APBN 2018 terlihat tidak pro terhadap keadilan dan kesejahteraan sosial," kata Rahayu Saraswati Djojohadikusumo yang membacakan pendapat Fraksi Partai Gerindra terhadap Rancangan APBN 2018 di sidang Paripurna DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (25/10).

Sara, sapaan akrab dari Rahayu Saraswati Djojohadikusumo ini menjelaskan, tidak didukungnya kebijakan anggaran dalam program perlindungan perempuan dan anak itu terlihat dari pemangkasan anggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) oleh Kementerian Keuangan dan BAPPENAS.

"Dalam pembahasan anggaran, kami selalu diberikan penjelasan oleh saudari Menteri PPPA bahwa anggaran tidak disetujui di Trilateral Meeting dengan Kementerian Keuangan dan BAPPENAS dan dipangkas terus. Bayangkan jika Kementerian yang lain mendapatkan puluhan triliun rupiah, kementerian yang seharusnya menjalankan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak untuk seluruh Indonesia hanya dianggarkan Rp553,8 miliar," tutur Sara.

Selain itu, Sara yang juga merupakan Anggota Komisi VIII DPR RI ini juga menjelaskan, ketidakberpihakan APBN 2018 terhadap keadilan dan kesejahteraan sosial terlihat dari tidak adanya skema penganggaran pengangkatan guru baru. Padahal, Kemendikbud menyatakan akan ada 295 ribu guru yang akan pensiun dalam kurun waktu 5 tahun ke depan, tetapi belum ada rencana pengangkatan guru baru.

"MenPANRB menjelaskan bahwa alasan mengapa belum bisa menghilangkan moratorium pengangkatan PNS karena Kementerian Keuangan belum menyiapkan skema penganggaran pengangkatan guru baru. Padahal kita semua menganggap negara ini kekurangan guru, sedangkan ada ratusan ribu guru honorer yang selama ini menunggu pengangkatan dan terkadang hanya menerima gaji Rp 50 ribu/bulan," sesalnya.

Lebih jauh Sara juga mempertanyakan kepemimpinan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sudah sudah masuk tahun ke 4 (empat) ini terhadap keseriusannya dalam menciptakan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan sosial untuk rakyat Indonesia. "Jelas dengan contoh tersebut (tidak adanya skema penganggaran pengangkatan guru baru) bahwa pemikiran untuk peningkatan Sumber Daya Manusia di Indonesia masih belum menjadi prioritas, apalagi kalau kita memikirkan rasio antara guru dan murid. Bagaimana nasib anak-anak kita jika tidak dapat menerima pendidikan yang layak?," paparnya.

Selain itu lanjut Sara, salah satu program pemerintah yang cukup baik bahkan didukung oleh seluruh fraksi yang ada di DPR RI yaitu Program Keluarga Harapan yang ada di bawah Kemensos justru tidak diberikan dukungan besar oleh negara melalui KemenKeu dan Bappenas.

"Seharusnya jika memang ingin mengentaskan kemiskinan, saran kami, anggaran belanja Non K/L sebesar Rp629,2 triliun  dimana komponen terbesar adalah untuk infrastruktur bisa dialihkan di antaranya untuk meningkatkan Keluarga Penerima Manfaat PKH dari 10 juta menjadi 20 juta, dan untuk infrastruktur bisa difokuskan pada peningkatan Dana Desa yang memang sebenarnya mengena secara langsung pada rakyat kecil dari Rp60 triliun menjadi Rp90 triliun," tandasnya. (mag)

BACA JUGA: