Jakarta - Rancangan UU Mahkamah Agung (MA) yang sedang dibahas oleh DPR RI dikhawatirkan akan memiliki banyak kekurangan. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Fajri Nursyamsi, menilai materi yang ada dalam RUU tersebut belum mencakup berbagai hal yang dibutuhkan terkait reformasi peradilan.

"Di undang-undang yang baru ini harusnya banyak yang meng-cover peraturan yang belum diatur," ucap Fajri, usai diskusi bertajuk RUU MA: Ancaman Terhadap Independensi Peradilan yang digelar di Kampus Indonesia Jentera School of Law (IJSL) di Jakarta, Selasa (24/4).

Menurut Fajri, yang paling penting mengenai posisi MA pascapenyatuan atap sejak 2004 yang berimplikasi pada status MA yang tidak hanya mengurusi bidang peradilan, tetapi juga sebagai lembaga yang mengurusi administrasi para pejabat dan pegawai MA.

"Pengaturan mengenai satu atap dalam tubuh MA itu sendiri belum diatur secara terperinci dan konkrit," ujar dia.

Akibatnya, sambung Fajri, tidak terperinci dan mengakibatkan penumpukan tugas di Sekretariat MA sebagai satuan kerja yang melaksanakan dua tugas dan fungsi pokok, yakni tugas dan fungsi organisasi, administrasi dan keuangan badan-badan peradilan.

"Nah itu yang harus diatur lebih konkrit. Tetapi di draft terbaru itu belum masuk," pungkas Fajri.

BACA JUGA: