Jakarta - Vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta terhadap pelaku utama kasus korupsi wisma atlet Palembang, M Nazaruddin dengan hukuman empat tahun 10 bulan penjara plus denda Rp200 juta subsider atau empat bulan kurungan, membuktikan bahwa politik banyak mengintervensi hukum, khususnya hukum pidana.

Menurut pakar hukum pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, vonis empat tahun 10 bulan penjara karena korupsi Rp4,6 miliar jauh dari rasa keadilan. Apalagi, tambah Yenti, negara mesti menggelontorkan miliaran rupiah untuk membawa pulang Nazaruddin dari pelariannya di Kolombia.

Yenti berpendapat, hakim seharusnya bisa memutuskan perkara dengan memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Hakim juga sebenarnya bisa menyidangkan sekitar 34 kasus yang melibatkan Nazarudin sebagai tersangka sekaligus.

Dengan demikian, hukuman yang dijatuhkan bisa jauh lebih berat guna menimbulkan efek jera sekaligus memenuhi rasa keadilan masyarakat. Namun sayangnya,  KPK memilih menyidangkan satu per satu kasus Nazarudin.

“Ini sangat menggelikan kalau KPK berpendapat kasus Nazarudin akan diselesaikan satu per satu. Sekarang kasus Hambalang dulu. Nanti kasus money laundering dan lainnya menyusul. Nazarudin disebut-sebut menjadi tersangka untuk 34 kasus korupsi. Mau berapa puluh tahun seluruh kasus itu selesai disidangkan?  Logika hukum kita sudah makin jauh dari kebenaran dan rasa keadilan. Ini disebabkan hukum kita sudah banyak diintervensi politik. Akibatnya, praktik hukum di Indonesia, khususnya hukum pidana berjalan tanpa etika,” ujar Yenti.

Yenti menjelaskan, sejak 1846, para pakar hukum pidana sudah minta pelaku banyak kejahatan harus diajukan sekaligus. Nazar 34 kasus. Marcos 200 kasus. "Pada titik ini, kita perlu orang KPK yang bukan hanya tahan banting dan beriktikad baik, tapi juga memiliki pemahaman tentang hukum yang baik," pungkas Yenti.

BACA JUGA: