Koalisi Eyes on the Forest menerbitkan laporan analisis dan investigatif terhadap 26 lokasi kebun sawit di Provinsi Riau yang merupakan bagian kecil dari 1,6 juta hektare kawasan hutan yang diubah menjadi kawasan bukan hutan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 tanggal 8 Agustus 2004 Tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan.

Terungkap, sebagian besar kebun sawit tidak memiliki Izin Pelepasan Kawasan Hutan, namun tetap beroperasi hingga sekarang, sehingga patut diduga praktik korupsi masif telah terjadi dengan cara perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi kawasan bukan hutan.

"Kami mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas skandal perubahan kawasan hutan seluas 1,6 juta hektare ini," ujar Koordinator Jikalahari, Woro Supartinah, salah satu anggota koalisi Eyes on the Forest (EoF), dalam pernyataan pers tertulis yang diterima gresnews.com, akhir pekan lalu. "Jangan hanya terhenti pada kasus Gubernur Anas Maamun dan kawan-kawan, karena masih banyak pelaku yang diduga masih bebas bergentayangan, baik itu pejabat Negara maupun korporasi."

EoF melakukan telaah dan investigasi lapangan di 26.611 hektare Hutan Produksi Terbatas (HPT), 16.548 hektare Hutan Produksi (HP) dan 57.634 hektare Hutan Produksi Dikonversi (HPK). Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional tahun 2016, status lahan yang ditelaah EoF secara izin adalah 18.754 hektare Hak Guna Usaha (HGU) dan 82.039 hektare untuk Bukan HGU. Analisa terhadap lahan yang dipertanyakan legalitasnya seluas 100.093 hektare (0,06 persen) dari total 1.638.249 hektare.

Temuan EoF menunjukkan mayoritas kebun sawit yang dianalisis belum diberikan izin Pelepasan Kawasan untuk perkebunan oleh Kementerian Kehutanan hingga tahun 2015. Mereka tidak termasuk dalam Data Progres Pelepasan Kawasan hutan ke Perkebunan 2015 atau Data Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan untuk Perkebunan, Berdasarkan Buku Basis Data Spasial Kehutanan 2015.

"Luar biasa melihat bagaimana temuan oleh Pansus HTI/Sawit/Tambang DPRD Riau di mana ratusan perusahaan membabat hutan alam dan mengonversinya menjadi sawit, lalu memiliki izin bodong, tetap beroperasi hingga sekarang, tanpa adanya penegakan hukum," ujar Direktur Eksekutif WALHI Riau, Riko Kurniawan, anggota koalisi. "Ini tak bisa dibiarkan, kami minta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengusut praktik korup ini, dan membatalkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 tanggal 8 Agustus 2004 Tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan."

Koalisi juga mendesak KLHK melakukan penyidikan dan penindakan terhadap perusahaan sawit yang telah mengembangkan kebun sawit pada kawasan hutan sebelum diterbitkannya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 878/Menhut-II/2014, 29 September 2014 Tentang Kawasan Hutan di Propinsi Riau. Selain itu, mendesak BPN Provinsi Riau untuk melakukan evaluasi terhadap HGU yang telah diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten di kawasan hutan.

Laporan EoF dengan merujuk pada temuan Koalisi Rakyat Riau bersama Pansus Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan HGU, IU-Perkebunan, IUPHHK-HT, IUPHHK-HA, IUPHHK-RE, IUPHHBK, dan HTR DPRD Riau menemukan nama-nama besar korporasi sawit global yang terlibat dalam dugaan kongkalikong sulap izin tata ruang ini, seperti Wilmar, First Resources, Golden Agri-Resources, Sarimas, Panca Eka dan Bumitama Gunajaya Agro.

"Korporasi sawit dengan operasi global telah memberikan komitmen kelestarian maupun ketelusuran rantai pasok dari sumber yang lestari, namun melihat kenyataan dari laporan ini, perlu klarifikasi dan ketegasan mereka, sehingga para konsumen dan pembeli tidak merasa dibohongi dengan komitmen berulang tersebut," ujar Koordinator EoF dari WWF-Indonesia, Nursamsu.

Dalam UU Nomor 18 Tahun 2013 Pemberantasan dan Pencegahan Perusakan Hutan Pasal 93 disebutkan: Korporasi yang membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).(Red)

BACA JUGA: