Untuk mempersempit ruang gerak aksi-aksi terorisme diperlukan upaya pencegahan, salah satunya lewat penyadapan. Panitia Kerja (Panja) RUU Antiterorisme bersama pemerintah menyepakati ketentuan soal penyadapan terduga teroris. Penyadapan dapat dilakukan sebelum meminta izin ke pengadilan jika memenuhi tiga persyaratan.

"Dalam situasi mendesak, tapi tetap diawali dua alat bukti yang cukup. Kemudian situasi mendesak, itu artinya ada ancaman terhadap nyawa, keamanan negara, pokoknya ada 3 poin," ujar Ketua Panja RUU Antiterorisme Muhammad Syafii saat dimintai konfirmasi, Rabu (26/7).

Tiga hal yang yang dimaksud dalam keadaan mendesak ini akan diatur dalam Pasal 31a revisi UU Antiterorisme. Tiga syarat menyadap sebelum meminta izin pengadilan ini adalah:

1) bahaya maut atau luka fisik yang serius dan mendesak,
2) pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara,
3) dan/atau pemufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak pidana terorganisasi.

Ia mengatakan penyadapan maksimal harus dilaporkan ke pengadilan negeri (PN) setempat maksimal tiga hari. Jika tiga persyaratan tadi tidak terpenuhi, penyadapan tidak bisa dilanjutkan. "(Penyadapan) nggak bisa dilanjutkan," kata Syafii.

Rekaman yang telanjur disadap juga hanya boleh menjadi milik penyidik dan tidak boleh dijadikan alat bukti dalam persidangan. "Sekarang penyadapan menjadi alat bukti di pengadilan. Tapi kalau dia menyadap tanpa persetujuan pengadilan, maka tak bisa dijadikan alat bukti," ucap Syafii.

Batas maksimal untuk menyadap adalah satu tahun. Pihak yang berhak menyadap adalah Densus, BIN, atau badan intelijen terkait. (dtc/mfb)

BACA JUGA: