JAKARTA, GRESNEWS.COM - Institute for Criminal Justice reform (ICJR) mendukung langkah-langkah yang diambil oleh Pemerintah DKI Jakarta dalam menyusun Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Pembebasan Biaya Visum bagi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di RSUD dan Puskesmas. "Kebijakan ini merupakan langkah maju terkait perlindungan korban yang telah dinyatakan dalam berbagai regulasi. Peraturan ini harus segera difinalkan," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono kepada gresnews.com, Selasa (2/5).

Sebelumnya dalam UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dinyatakan, korban berhak mendapatkan pemulihan dalam bentuk pelayanan kesehatan (Pasal 39). Peraturan Pelaksanaan UU tersebut yaitu PP No 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan, salah satu pelayanan kesehatan yang wajib diberikan oleh tenaga kesehatan kepada korban adalah pembuatan visum et repertum.

"Dalam PP ini dinyatakan secara tegas bahwa biaya pemulihan kepada korban, termasuk di dalamnya fasilitas pembuatan visum dibebankan kepada APBN dan APBD," terang Supriyadi.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional juga dinyatakan, pelayanan pembuatan visum masuk ke dalam pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan yang ditanggung oleh jaminan kesehatan nasional. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS), yang merupakan badan hukum yang menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional, lewat peraturan Kepala BPJS No 1 tahun 2014 tentang Penyelenggara Jaminan Kesehatan juga menyatakan, pelayanan kedokteran forensik termasuk pembuatan visum merupakan bagian dari pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat lanjutan.

Hal ini berarti bahwa pembuatan visum merupakan salah satu layanan kesehatan yang dijamin oleh jaminan kesehatan nasional. Upaya pemenuhan hak korban atas visum yang ditanggung oleh jaminan kesehatan nasional hanya dapat diberikan kepada korban yang memiliki jaminan kesehatan nasional, hal ini pun juga telah diatur dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta No 1618 tahun 2016 tentang Jenis Pelayanan Kesehatan pada Puskesmas dan RSUD

Namun dalam praktiknya hal ini jauh dari harapan. "Masih banyak korban yang menanggung sendiri biaya visumnya sendiri. Di sisi lain banyak korban yang belum memiliki atau mengikuti jaminan kesehatan, dan mereka ini tidak dijamin pemenuhan hak atas visum gratis," terang Supriyadi.

Sehingga pada praktiknya korban justru harus dibebani biaya visum yang jumlahnya beragam pada setiap rumah sakit bahkan sampai dengan Rp1,5 juta. Padahal visum yang merupakan bagian dari alat bukti tindak pidana secara teori masuk ke dalam anggaran penyelesaian perkara pidana yang berdasarkan Pasal 136 KUHAP seharusnya menjadi tanggung jawab negara.

Dalam Pasal 136 KUHAP sebetunya telah tegas menyatakan: "Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kedua Bab XIV -(bab XIV: penyidikan) ditanggung oleh negara". "Hal ini berarti bahwa biaya visum dibebankan kepada anggaran negara, bukan dari uang pribadi korban," tegas Supriyadi.

Oleh karena itu, langkah Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta untuk memasukkan biaya pemeriksaan atau penyidikan ke dalam APBD merupakan suatu langkah maju bagi pemenuhan hak korban dan patut dicontoh oleh daerah lain di Indonesia. Rencana peraturan gubernur DKI Jakarta tentang pembuatan visum gratis bagi korban akan berdampak positif bagi memenuhi hak korban atas pelayanan kesehatan.

"ICJR bahkan mendorong layanan kesehatan tidak hanya diberikan kepada korban KDRT namun juga kepada korban kekerasan lainnya terutama korban kejahatan seksual," pungkas Supriyadi. (mag)

BACA JUGA: