Aparat penegak hukum Malaysia telah menangkap sekitar 500 orang tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal. Mereka saat ini sedang menjalani proses pemeriksaan. Banyaknya TKI ilegal di Malaysia yang terjaring razia menjadi masalah menahun. Secara hukum, TKI ini menyalahi aturan karena tidak memiliki dokumen yang legal sesuai prosedur untuk bekerja di negara jiran.

"Ketentuan Malaysia itu setelah penangkapan mereka berhak melakukan pemeriksaan, ini ketentuan hukum Malaysia, yaitu melakukan pemeriksaan hingga 14 hari," kata Ketua Satgas Perlindungan WNI KBRI Kuala Lumpur, Yusron B Ambary, Senin (10/07).

Hingga saat ini, pihaknya belum mendapatkan daftar lokasi penahanan TKI ilegal paska operasi penjaringan atau razia yang dilakukan aparat hukum Malaysia. Keterangan Imigrasi Malaysia mereka yang ditahan lokasinya tersebar.

Yusron mengatakan masih berkoordinasi dengan Imigrasi Malaysia untuk mendapatkan akses diplomatik untuk bertemu dengan ratusan TKI ilegal yang terjaring oleh pemerintah Malaysia. Pekan lalu, Kementerian Luar negeri Indonesia telah mengeluarkan nota diplomatik untuk mendapat akses bertemu dengan TKI ilegal yang terjaring razia.

Razia terhadap tenaga kerja ilegal ini merupakan kelanjutan dari implementasi program legalisasi dokumen atau program E-Kad sementara pekerja asing oleh pemerintah Malaysia, tetapi telah ditutup pada akhir Juni lalu.

Sebagian besar TKI ilegal menolak program legalisasi dokumen ini, karena menganggapnya tidak menjamin mengubah status mereka menjadi legal.

Lebih lanjut Yusron menambahkan sampai saat ini Malaysia telah menjaring ribuan tenaga kerja asing ilegal dari negara tetangga, serta menjaring sekitar 50 orang majikan yang memperkerjakan mereka.

Terhadap para majikan yang mempekerjakan TKI ilegal tersebut, Pemerintah Indonesia meminta Malaysia mengusutnya. "Jangan hanya mengincar tenaga kerja ilegal saja (karena) tidak ada semut kalau tidak ada gula. Jadi majikannya supaya ditangkapin, jadi tidak hanya PATI-nya saja," ujar Yusron.

PATI atau pendatang asing tanpa izin adalah istilah resmi pemerintah Malaysia terhadap tenaga kerja ilegal.

Atas pemintaan itu, pemerintah Malaysia berjanji untuk terus mengusut dugaan keterlibatan orang-orang Malaysia yang disebutkan sebagai majikan. "Menurut Imigrasi Malaysia dalam penyidikan PATI yang tertangkap ini mereka ada keinginan kuat untuk mengincar user (pengguna) nya, jadi para majikan yang selama ini meng-hire (membayar) mereka," kata dia.

KBRI juga meminta agar pemerintah Malaysia memperhatikan hak-hak dasar TKI ilegal yang ditangkap. "Himbauan kami kepada WNI adalah ikut program pulang sukarela dan kami meminta pemerintah Malaysia, selain polemik tadi, jangan hanya mengincar, tapi juga memperlakukan para WNI yang tertangkap dengan baik," cetusnya.

Sementara, Figo Kurniawan, seorang TKI yang juga penggiat Komunitas Serantau, sebuah komunitas buruh migran asal Indonesia di Malaysia, mengatakan dia sependapat dengan himbauan pemerintah Indonesia agar pemerintah Malaysia "tidak tebang" pilih dalam menindak tenaga kerja ilegal.

Logikanya, majikan yang mempekerjakan buruh migran ilegal melanggar ketentuan ketenagakerjaan, katanya.

Data terakhir dari Imigrasi Malaysia, TKI terjaring operasi tenaga kerja ilegal. Sementara berdasar perkiraan KBRI Malaysia, terdapat sekitar 1,2 juta - 1,3 juta TKI ilegal di Malaysia.

Kebanyakan dari mereka, menurut Figo, bekerja di sektor informal seperti buruh bangunan dan pabrik kecil-kecil. Mereka biasanya berpindah-pindah dan tidak mungkin mendapat majikan yang tetap.


Figo melanjutkan, sejak pemerintah Malaysia getol melakukan razia buruh migran ilegal, mereka bersembunyi di area-area yang sulit dijangkau oleh perazia, seperti di hutan dan semak-semak di sekitar area mereka bekerja.

"Tempat-tempat yang menurut mereka layak untuk bersembunyi. Misalnya, mereka yang bekerja di pabrik, akan tidur di atas genteng," kata dia.

Dalam berbagai kesempatan, KBRI di Kuala Lumpur mengatakan bahwa pihaknya sudah sejak awal telah memberitahukan kepada TKI ilegal di Malaysia agar mengikuti program legalisasi dokumen atau program E-Kad sementara pekerja asing oleh pemerintah Malaysia.

KBRI juga telah meminta agar TKI ilegal itu pulang secara sukarela ke Indonesia dan mereka menyatakan siap membantu pemulangannya secara resmi.

Namun tawaran agar para TKI ilegal itu mengikuti program legalisasi dokumen atau program E-Kad sementara oleh pemerintah Malaysia, ditolak sebagian besar oleh TKI ilegal di Malaysia.

Alasannya, menurut ketentuan Malaysia, tenaga kerja ilegal yang memutuskan secara sukarela kembali ke negara asalnya harus membayar RM 400. Tetapi karena pemerintah Malaysia menunjuk agensi swasta untuk menangani hal ini, mereka diharuskan membayar RM 800, kata Figo.

"Keberatan program pulang sukarela juga bukan semata-mata karena mahal, tapi juga karena ada risiko blacklist. Yang pulang secara suka rela akan dimasukkan dalam daftar blacklist dalam jangka waktu tertentu tidak boleh masuk ke sini lagi," kata dia.

Dia mengatakan, semestinya persoalan ini menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah Indonesia, ujar Figo yang sudah bekerja selama satu dekade di Malaysia.

Fakta di lapangan yang dihadapi buruh migran Indonesia di Malaysia yang tidak banyak diketahui orang, bahkan pemerintah Jakarta, mereka memilih untuk bekerja di Malaysia secara ilegal lantaran keterpaksaan. Bahkan banyak dari mereka masuk melalui jalur tikus.

"Tanjung Balai dan Batam menjadi jalur tikus pintu masuk TKI ilegal ke Malaysia," ungkapnya. "Sehingga yang terjadi disini, mereka bekerja berpindah-pindah. Bahkan secara prosedur mereka tidak punya majikan."

Pemerintah Malaysia telah beberapa kali mengusir semua pekerja migran ilegal, tetapi langkah ini dianggap tidak efektif, selama ada kebutuhan dari dunia industri, manufaktur dan perkebunan di Malaysia yang haus terhadap tenaga kerja yang hanya bisa dipasok dari luar Malaysia. (dtc/mfb)

BACA JUGA: