Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum bisa menyampaikan hasil audit terkait pembelian helikopter Agusta Westland 101 (AW-101). Hal itu disebabkan heli tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dalam audit alat utama sistem senjata (alutsista).

"Jadi hasilnya belum ada, masih dalam pemeriksaan dan pemeriksaannya itu bukan Agusta Westland, tapi keseluruhan. Keseluruhan pengadaan alutsista di lingkungan Kementerian Pertahanan dan TNI" kata anggota I BPK Agung Firman Sampurna, Jakarta, Kamis (12/10).

Agung mengatakan pembelian alutsista harus diaudit karena terkait dengan sesuatu yang besar secara material. Selain itu, audit diperlukan untuk melihat seberapa tinggi risiko tertentu dalam pembelian itu.

"Harus diketahui, BPK mengingat pembelian pengadaan alutsista ini adalah sesuatu yang besar material dan memiliki tingkat risiko tertentu. Kita melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu secara rutin terhadap ini sebagai bentuk dari upaya kita menjaga dalam akuntabilitas," kata Agung.

Terkait heli itu, KPK dan POM TNI bekerja sama membongkar dugaan korupsi dalam pembeliannya. Ada 5 tersangka yang ditetapkan POM TNI, 3 di antaranya lebih dulu ditetapkan, yakni Marsma TNI FA, yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa; Letkol WW, sebagai pejabat pemegang kas; serta Pelda S, yang diduga menyalurkan dana-dana terkait dengan pengadaan kepada pihak-pihak tertentu.

Menyusul kemudian Kolonel Kal FTS, sebagai WLP; dan Marsda SB, sebagai asisten perencana Kepala Staf Angkatan Udara.

Sementara itu, KPK menetapkan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka pertama dari swasta. Irfan diduga meneken kontrak dengan AW (Augusta Westland), perusahaan join venture antara Westland Helikopter di Inggris dengan Agusta di Italia, yang nilainya Rp 514 miliar.

Namun, dalam kontrak pengadaan helikopter dengan TNI AU, nilainya mencapai Rp 738 miliar sehingga terdapat potensi kerugian keuangan negara sekitar Rp 224 miliar. (dtc/mfb)

BACA JUGA: