JAKARTA, GRESNEWS.COM - Delegasi Parlemen Indonesia menyerukan adanya intervensi  untuk perlindungan hak anak dan perempuan di tengah kondisi konflik kemanusiaan Rohingya dalam sidang Komisi Perempuan ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) (Women of AIPA) di Manila, Filipina.

Ketua BKSAP (Badan kerjasama antar Parlemen) sekaligus Ketua Tim delegasi DPR RI dalam sidang Komisi Perempuan AIPA (Women of AIPA), Nurhayati Ali Assegaf menyampaikan perlunya langkah tersebut karena anak dan wanita adalah korban yang paling rentan dalam konflik bersenjata di Rohingya.
 
"Kami menyerukan agar Pemerintah Myanmar segera mengambil langkah-langkah perlindungan anak dan perempuan terutama dari kekerasan berbasis gender seperti perkosaan dan penyiksaan seksual lainnya," ujar Nurhayati dalam sidang Women of AIPA, Manila, Filipina, seperti dikuti dpr.go.id.
 
Menurut Politisi dari Fraksi Partai Demokrat ini, awal pelaksanaan Sidang Umum AIPA tahun ini bertepatan dengan Hari Demokrasi Internasional. Sehingga sangat tepat apabila dalam sidang tersebut kita mendorong Myanmar untuk menghentikan diskriminasi, kekerasan dan penindasan yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
 
Sidang Umum Ke-38 AIPA kali ini akhirnya meniadakan pertemuan Komisi Politik karena tidak berhasil mencapai konsensus agenda yang akan dibahas. Selain usulan resolusi mengenai Rohingya, delegasi DPR RI juga mengusulkan resolusi mengenai penanganan sampah plastik di laut, penguatan kapasitas AIPA serta resolusi mengenai pertumbuhan inklusif dan berbasis ekonomi untuk penguatan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Ketiga resolusi tersebut disetujui untuk dibahas di Komisi Sosial, Komisi Ekonomi dan Komisi Organisasi.

Sementara itu Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon yang juga Ketua delegasi parlemen Indonesia dalam Sidang Umum ke-38 AIPA menyampaikan agar parlemen negara-negara ASEAN memberikan sikap atas tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar.
 
Namun usulan resolusi tersebut sempat mendapat penolakan keras dari Myanmar. Sehingga mengakibatkan Sidang harus di-skors untuk memberikan waktu bagi tuan rumah memfasilitasi negosiasi antara Indonesia dan Myanmar.
 
"Kami sebenarnya sangat terbuka kepada Myanmar untuk mengkoreksi dan memperbaiki draf resolusi itu, jika mereka keberatan dengan redaksi awal yang kami bawa. Jika mereka keberatan dengan nada kecaman terhadap aksi kekerasan atas etnis Rohingya, kami telah mengusulkan untuk memperlunak resolusi tersebut menjadi resolusi atas krisis kemanusiaan di Myanmar," tutur Fadli Zon usai pertemuan pertemuan Komite Eksekutif AIPA, Manila, Filipina, Senin (18/9).

Hanya saja Myanmar menolak. Myanmar menyebut tak ada krisis kemanusiaan di Myanmar. Delegasi Indonesia yang terdiri dari Nurhayati Ali Assegaf, Juliari P. Batubara, S.B. Wiryanti Sukamdani, H. Firmandez, Andi Achmad Dara, Sartono Hutomo, Lucky Hakim, Abdul Kadir Karding, Mahfudz Abdurrahman, dan Achmad Farial sempat mencoba nmenawarkan jalan tengah dengan rancangan resolusi yang dimodifikasi menjadi isu humanitarianism di Asia Tenggara.

Tetapi delegasi Myanmar tetap menolak. Bahkan usulan Presiden AIPA, Pantaleon D. Alvarez agar delegasi parlemen Myanmar membuat draft resolusi sendiri atas isu Rohingya pun tidak mendapat persetujuan dari pihak Myanmar.
 
Seperti diketahui bahwa isu Kemanusiaan Rohingya ini membuat pertemuan Komite Eksekutif AIPA berbeda pendapat selama bertahun-tahun. Kali ini AIPA harus menggelar pertemuan Komite Eksekutif hingga dua kali karena deadlock dan tidak mencapai konsensus terhadap usulan Indonesia tentang isu Rohingya. (rm)

BACA JUGA: