JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah diminta mewaspadai kondisi utang negara untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur dari kemungkinan gagal bayar. Sebab utang negara yang telah mencapai Rp4.000 triliun bisa berujung pada defisit APBN.

Menurut Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan dalam lima tahun terakhir, defisit terus meningkat. Gap antara pendapatan, belanja, dan utang terus menganga, dikhawatirkan akan terjadi gagal bayar terhadap hutang yang besar tersebut.

Heri mengungkapkan saat ini ada beberapa BUMN yang melakukan pekerjaan infrastruktur dengan pembiayaan utang. Jika tidak dikelola dengan baik, ancaman gagal bayar bisa terjadi. "Jika gagal bayar, maka BUMN yang melakukan pinjaman harus melakukan right issue, atau minta disuntik dengan APBN lewat skema PMN. Artinya, kita akan terus-menerus terperangkap pada lingkaran setan liberalisme, utang—gagal bayar—utang lagi," ungkap Heri, seperti dikutip dpr.go.id.

Akibatnya, semangat yang semula ingin mengurangi beban APBN, kata Heri, justru menambah beban APBN. Untuk itu BUMN dituntut punya skenario manajemen risiko yang matang. Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah kemampuan pembiayaan infrastruktur yang bersumber pada penerimaan APBN. "Proyek infrastruktur jor-joran yang didasarkan pada studi kelayakan yang memakai asumsi-asumsi makro yang terlampau optimis bisa jadi blunder,” ujar Heri.

Selain itu menurut Anggota F-Gerindra ini, saat ini pertumbuhan belum dinikmati oleh mayoritas rakyat. Terbukti, rasio gini masih terbilang cukup tinggi, sebesar 0,39. Dengan rasio gini sebesar itu, pertumbuhan yang ada masih dinikmati oleh segelintir orang (1 persen orang menguasai 39 persen pendapatan nasional).

"Ini harus dijawab dengan model pembangunan infrastruktur yang berdampak pada pencapaian target pembangunan, terutama soal ketimpangan ekonomi," tutur Heri.

Heri menyebut, ketimpangan itu tak lepas dari adanya ketimpangan ketersediaan infrastruktur. Apalagi, struktur perekonomian nasional bergeser dari sektor pertanian-kehutanan-perikanan ke industri pengolahan serta perdagangan besar dan eceran. Dampaknya sektor-sektor lapangan usaha yang menyerap tenaga kerja yang besar tidak bisa berkembang, karena problem infrastruktur itu.

Untuk itu, mantan Wakil Ketua Komisi VI DPR ini, mengimbau, pembangunan infrastruktur yang dibiayai utang oleh BUMN harus tetap memperhatikan core competence masing-masing wilayah dan memperhatikan kemampuan penerimaan APBN yang kerap melenceng dari target. Ini harus selalu terlihat pada analisa manajemen risiko proyek pembangunan infrastruktur yang ada.

"Kualitas infrastruktur harus merata dan terintegrasi. Harus pula tergambar dari studi kelayakan yang ada. Proyek infrastruktur harus mampu menjawab masalah ketimpangan yang ada," harapnya.

Sebagai misal ia mencontohkan, megaproyek di Jawa Barat seperti Bandara Kertajati senilai Rp5 tiliun di Majalengka, Pelabuhan Patimban senilai Rp43 triliun di Subang, jaringan kereta api (KA) cepat (high speed railway/ HSR) Jakarta-Bandung senilai Rp66,3 triliun, dan KA ringan (light rail Iran-sit/LRT) Bandung Raya diharapkan akan mampu menjawab ketimpangan ekonomi di Jawa Barat yang masih sangat lebar. (rm)

BACA JUGA: