Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil sejumlah menteri pada Jumat (22/7) kemarin. Pemanggilan ini menyiratkan kemungkinan adanya reshuffle Kabinet Kerja jilid II.

"Sudah semestinya Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja para menteri agar sejalan dengan kebijakan dan target yang diinginkannya. Namun, perombakan kabinet jangan dilakukan hanya untuk mengakomodir kepentingan partai. Tidak jadi soal jika yang bersangkutan berasal dari parpol atau non parpol, tapi seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan rakyat," ujar Sahat Martin Philip Sinurat dalam keterangannya kepada gresnews.com, Minggu (24/7).

Direktur Eksekutif Centre for People Studies and Advocation (CePSA) ini mengatakan, pemanggilan menteri Koperasi dan UMKM, menteri PU dan Perumahan Rakyat, serta menteri Pertanian kemungkinan besar berkaitan dengan kebijakan ketahanan pangan dan peningkatan ekonomi kerakyatan berbasis koperasi. Ketiganya seharusnya saling bersinergi, namun tampaknya para menteri masih bingung mengintegrasikan kebijakan di bidang tersebut.

"Gaya kepemimpinan Jokowi cepat dan tepat sasaran. Kabinet sudah berjalan hampir dua tahun. Para menteri seharusnya sudah menindaklanjuti pemikiran Presiden ke dalam perencanaan dan pelaksanaan yang terpadu. Hal ini yang ingin dievaluasi oleh Jokowi," kata Sahat.

Pengamat pembangunan dari Institut Teknologi Bandung ini melanjutkan, selain ketahanan pangan dan ekonomi kerakyatan berbasis koperasi, pemerintah juga masih keteteran di dalam reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Padahal untuk menjadi bangsa yang berdaya saing, Indonesia harus memiliki tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan rakyat yang baik dan berkompeten (good and competent people). Maka pemerintah juga harus segera mengevaluasi kinerja kementerian-kementerian yang terkait dengan kedua hal tersebut.

Menurut Sahat, Indonesia akan mengalami puncak bonus demografi pada 2020-2030. Pada rentang waktu tersebut, Indonesia akan memiliki sekitar 180 juta orang berusia produktif, sedang usia tidak produktif sekitar 60 juta jiwa. Jika saat ini Indonesia tidak cepat mempersiapkan diri, di masa depan kita akan semakin kesulitan menghadapi kebutuhan pangan, kemiskinan, kebutuhan tenaga kerja berkompeten, dan kesemrawutan pemerintahan.

"Presiden sudah memperkirakan hal ini. Maka Jokowi butuh menteri yang memahami keinginannya dan dapat bergerak cepat. Untuk menjawab kebutuhan ini, Jokowi dapat mempertimbangkan menteri baru dari kalangan muda yang umumnya lebih dinamis, berpikir dan bergerak cepat, mengerti tantangan zaman, dan menikmati perubahan," tutup Sahat. (mon)

BACA JUGA: