JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) meluncurkan Rencana Aksi Nasional tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (RAN Bisnis dan HAM) pada 16 Juni 2017.

Langkah ini merupakan  wujud komitmen Indonesia terkait Hak Asasi Manusia. Pencanangan ini sekaligus mencatatkan Indonesia sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang meluncurkan RAN Bisnis dan HAM yang diinisasi National Human Rights Institutions (NHRIs) dan organisasi masyarakat sipil.

Ketua Komnas HAM Nur Kholis, dalam siaran persnya menyatkan bahwa rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM merupakan instrumen nasional untuk menerapkan Prinsip-Prinsip Panduan PBB mengenai Bisnis dan HAM pada level nasional. "RAN Bisnis dan HAM merupakan strategi kebijakan yang dikembangkan dalam rangka melindungi HAM warga Negara dari dampak negatif operasional dunia usaha dengan merujuk  pada Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis  dan HAM," paparnya.

Menurutnya, sejak disahkannya prinsip tersebut pada tahun 2011, Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights mencatat 14 (empat belas) Negara yang sudah memiliki RAN Bisnis dan HAM. Keempat belas Negara tersebut adalah Inggris, Belanda, Italia, Spanyol, Finlandia, Denmark, Lithuania, Swedia, Swiss, Kolombia, Norwegia, Amerika Serikat, Jerman, dan Prancis. Semua berasal dari Eropa, serta Amerika.

Sejauh ini telah ada 20 negara yang juga telah menyatakan mereka akan merancang RAN Bisnis dan HAM. Sementara untuk Asia Tenggara, yang sedang merancang RAN tersebut adalah Indonesia dan Filipina yang diinisiasi oleh NHRI dan NGO. Sedang, pemerintah yang telah berkomitmen untuk menyusun RAN Bisnis dan HAM adalah Malaysia, Myanmar dan Thailand.

Proses penyusunan RAN Bisnis dan HAM ini telah dimulai sejak September 2014 dengan melibatkan berbagai pihak, di antara lain Kementerian/Lembaga terkait, kelompok bisnis, serta masyarakat sipil.

Penyusunan RAN Bisnis dan HAM ini, menurut Nur Kholis, dilatarbelakangi oleh ketimpangan pola relasi negara, pasar dan masyarakat. Menurutnya hal itu diindikasikan adanya  kekuasaan pasar yang lebih kuat dibandingkan kekuasaan negara yang tercermin dalam konflik-konflik yang berdimensi pelanggaran HAM dalam pengelolaan sumber daya alam.

"RAN Bisnis dan HAM akan memperlihatkan peta legislasi yang mendukung dan menghambat dalam rangka meningkatkan peran Negara untuk melindungi HAM terkait dengan operasi korporasi," tambahnya.

Merujuk peta regulasi yang ada, saat ini sebenarnya sudah banyak regulasi yang sudah mendukung penerapan Prinsip-prinsip Panduan PBB. "Hanya saja belum terbangun koherensi kebijakan yang mengefektifkan Prinsip-Prinsip Panduan tersebut," lanjutnya.

Untuk itu, menurutnya, rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM perlu diatur lebih lanjut melalui peraturan presiden, mengingat dimensi dan dinamika relasi Bisnis dan HAM yang sangat luas sehingga perlu diatur dalam suatu peraturan tersendiri.

Selanjutnya terdapat konvensi ketatanegaraan untuk mengatur lebih lanjut suatu ketentuan undang-undang melalui peraturan presiden. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2015-2019 merupakan contoh konvensi ketatanegaraan yang mengatur lebih lanjut norma hukum HAM seperti diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia agar lebih memiliki daya laku secara operasional.

Sejalan dengan itu, maka Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM juga menjadi kewajiban hukum bagi kementerian, lembaga, pemerintah daerah untuk menyusun Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM sesuai dengan ruang lingkup kewenangannya. (rm)

BACA JUGA: