JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta akhirnya memvonis terdakwa kasus pemberi keterangan palsu Miryam S Haryani hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Hakim menilai  Miryam terbukti bersalah memberikan keterangan palsu di persidangan kasus korupsi e-KTP.

"Menyatakan terdakwa Miryam S Haryani telah terbukti secara sah dan bersalah memberikan keterangan tidak benar dalam perkara korupsi," sebut ketua majelis hakim Frangky Tambuwun di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (13/11).

Selain itu Majelis hakim juga menyatakan keterangan Miryam bahwa ia merasa ditekan dan diancam penyidik KPK tidak terbukti. Pasalnya saat dikonfrontir dengan 3 penyidik KPK yaitu Irwan, Ambarita Damanik, dan Novel, Miryam diketahui diberikan kesempatan untuk membaca, mengoreksi, memparaf, dan menandatangani berita acara pemeriksaannya (BAP).

"Menimbang pernyataan terdakwa Miryam merasa ditekan, dan telah dipaksa berbanding terbalik dengan keterangan 3 penyidik KPK yang memeriksa Miryam, yaitu M Irwan Susanto, Ambarita Damanik, dan Novel, di mana ketiga penyidik KPK tersebut memberikan penjelasan tidak pernah memberikan pengancaman, atau penekanan dan memeriksa Miryam S Haryani sebagai saksi, dan memberikan kesempatan jika ingin pergi ke toilet, dan istirahat makan siang atau ishoma, kemudian diberi kesempatan membaca, mengkoreksi, memparaf dan menandatangani BAP," sebut hakim anggota Anwar.

Kesaksian ahli psikologi forensik yang dihadirkan dalam persidangan juga menyatakan tidak ditemukan adanya tekanan dari penyidik dalam video pemeriksaan Miryam. Bahkan Hakim menyatakan Miryam memberikan keterangan tidak benar saat mengatakan merasa ditekan dan diancam penyidik.

"Menimbang keterangan psikolog dalam persidangan bahwa tidak menemukan tekanan dalam pemeriksaan Miryam, karena pertanyaan pendek penyidik dan dijawab Miryam dengan panjang dan lebar," tambah hakim.

Sehingga dalam hal itu  Ahli menyimpulkan tidak ada tekanan dalam terperiksa. Akan tetapi jika dikaitkan observasi tersebut proses pemeriksaan (menyangkal) tekanan yang benar ada indikasi kebohongan yang diberikan terdakwa.

"Menimbang bahwa Miryam ditekan dan diancam KPK adalah keterangan tidak benar karena bertentangan dengan fakta dan keterangan saksi lain di persidangan," ujar Anwar.


Selain itu Majelis juga menyebut keterangan Miryam yang membantah menerima uang dari terdakwa kasus e-KTP Sugiharto adalah tidak benar. Dari fakta persidangan diketahui uang itu disebut diterima staf Miryam, dan diserahkan di rumah Miryam.

"Keterangan terdakwa Miryam yang membantah adalah berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan Irman, Sugiharto, Yosep Sumartono, dan Vidi Gunawan. Miryam menerima uang sebanyak empat kali, USD 500 ribu, USD 100 ribu, Rp 5 miliar dan Rp 1 miliar di mana diantar ke rumah terdakwa Miryam di Tanjung Barat dan Rp1 miliar diserahkan Yosep pada asisten pribadi terdakwa. Sehingga bantahan itu tidak punya alasan hukum," jelasnya.

Disebutkan hakim bahwa Majelis menolak pledoi yang diajukan Miryam seluruhnya. Sedang unsur yang memberatkan Miryam adalah tidak mendukung program pemberantasan korupsi, dan terdakwa tidak mengakui perbuatannya. Sementara unsur meringankan, Miryam berlaku sopan dan belum pernah duhukum. Miryam dinilai terbukti melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 ayat 1 UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. (dtc/rm)

BACA JUGA: