JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang Paripurna DPR tentang Rancangan APBN tahun 2018 tak dihadiri hampir separuh anggota DPR. Sidang paripurna yang mengagendakan penyampaian tanggapan pemerintah terhadap pandangan fraksi atas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal RAPBN 2018 itu hanya dihadiri 185 anggota dari dari total 559 jumlah anggota DPR.

Padahal anggota DPR yang mengisi daftar hadir ada 305 anggota, namun hanya 185 orang yang berada ditempat, sebanyak 254 anggota menyatakan izin.

Berikut jumlah anggota DPR yang hadir di sidang paripurna berdasarkan masing-masing Fraksi PDIP 5 anggota, Fraksi Partai Golkar 40 anggota, Fraksi Partai Gerindra 35 anggota, Fraksi Demokrat 25 anggota,Fraksi PAN  15 anggota, Fraksi PKB 15 anggota, Fraksi PKS 16 anggota, Fraksi PPP  10 anggota, Fraksi NasDem 17 anggota dan Fraksi Hanura dengan 7 anggota.   

Sidang paripurna yang dipimpin Wakil ketua DPR Taufik Kurniawan. Serta didampingi empat pimpinan lainnya yakni, Ketua DPR Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, Fadli Zon, dan Agus Hermanto sejatinya akan mendengarkan penyampaian pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tentang tanggapan atas pandangan fraksi sebelumnya.

"Agenda rapat mendengarkan tanggapan pemerintah terhadap pandangan fraksi atas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal RAPBN tahun 2018," ujar Taufik membuka sidang.

Dalam paparannya di Ruang Sidang Paripurna, Gedung Nusantara II DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (6/6). Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa pemerintah, menghargai pandangan seluruh fraksi mengenai asumsi pertumbuhan ekonomi yang harus didorong lebih tinggi untuk menggerakkan sektor riil, menyerap tenaga kerja, serta meningkatkan kemakmuran rakyat, sehingga mempercepat pengurangan kemiskinan dan kesenjangan.

Menurutnya pertumbuhan ekonomi 2018 diproyeksikan sebesar 5,4% sampai 6,1%. Hal ini mencerminkan kombinasi optimisme dan kehati-hatian karena masih ada ketidakpastian global.

Strategi pemerintah melalui penguatan seluruh sumber pertumbuhan yaitu konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor, serta belanja pemerintah yang lebih produktif dan efisien.

"Konsumsi rumah tangga dijaga untuk tumbuh 5,4%, melalui peningkatan kesempatan kerja, menjaga inflasi yang rendah dan dukungan belanja sosial," ujar Sri Mulyani.

Selain itu investasi juga diproyeksikan tumbuh 8,0% dengan keberlanjutan belanja infrastruktur pemerintah dan peningkatan partisipasi BUMN dan swasta dalam pembangunan infrastruktur. Pemerintah juga terus mengoptimalkan sumber-sumber pembiayaan investasi di luar APBN, dan memperbaiki iklim investasi dengan penyederhanaan regulasi.

Adapun peningkatan peringkat rating Indonesia menjadi investment grade oleh S&P diharapkan memperbaiki kepercayaan swasta dan meningkatkan aliran modal masuk ke Indonesia.

"Dengan peningkatan investasi maka kapasitas produksi meningkat dan lapangan kerja baru dapat diciptakan," katanya.

Sementara terkait asumsi nilai tukar rupiah pemerintah patok di kisaran Rp13.500 hingga Rp13.800/US$. Pemerintah, menurutnya, pada kerangka ekonomi 2018 sependapat dengan pandangan fraksi PDIP, Partai Gerindra, PKS, Partai Demokrat, PAN dan PKB, bahwa nilai tukar perlu dilakukan dengan hati-hati dan sesuai nilai fundamentalnya.

"Perlunya menjaga nilai tukar rupiah agar sesuai fundamental yang menopangnya, namun tetap mendukung ekspor, memperbaiki transaksi berjalan, dan menarik aliran modal asing," beber Sri Mulyani saat penyampaian tersebut di Ruang Paripurna Gedung Nusantara II, DPR, Jakarta, Selasa (6/6).

Namun upaya ini, dipengaruhi oleh kondisi eksternal, domestik, serta kebijakan yang ditempuh pemerintah bersama dengan otoritas lainnya. Untuk itu pemerintah bersama  otoritas moneter berkoordinasi melalui bauran kebijakan dalam menjaga kondisi perekonomian domestik dan memitigasi risiko-risiko eksternal.

Sementara di sektor riil, kinerja transaksi berjalan diharapkan membaik seiring dengan perbaikan ekonomi dunia yang terus berlanjut di 2018. Adapun, dalam menetapkan asumsi nilai tukar di 2018 juga akan melihat beberapa faktor risiko seperti dampak kebijakan proteksionisme AS terhadap Indonesia melalui Tiongkok sebagai mitra dagang utama.

Pemerintah juga memperkuat kerja sama internasional untuk menjaga kepercayaan terhadap rupiah dengan membangun jaring pengaman dengan mitra dagang utama, baik bilateral, regional, dan global. "Di antaranya melalui fasilitas Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA), Bilateral Swap Arrangement (BSA), dan Chiang Mai Initiative Multi/atera/ization (CMIM)," paparnya. (dtc/rm)

BACA JUGA: