JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ekonom dari PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, mengatakan menurunnya daya beli kelas menengah ke bawah disebabkan penurunan pendapatan riil. Pendapatan mereka tidak bertambah, namun harga kebutuhan-kebutuhan pokok mengalami peningkatan.

Dia menambahkan, puncak konsumsi yang jatuh setiap perayaan Hari Raya Lebaran juga sudah lewat, sehingga masyarakat membeli seadanya saja untuk memenuhi kebutuhan. "Golongan menengah bawah cenderung mengurangi spending (belanja) makanan dan minuman, tidak mengonsumsi barang durable goods karena penurunan pendapatan," kata Josua.

Hal itu dikatakan Josua menangapi data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengungkapkan, konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2017 tumbuh melambat ke angka 4,93%, bila dibandingkan tiga bulan sebelumnya 4,95%. Melambatnya konsumsi ini karena kelas menengah ke atas melakukan perubahan gaya belanja dan mengalihkan banyak uang ke tabungan atau investasi.

Turunnya daya beli ini juga diakui peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira. Dia mengatakan, tertekannya daya beli masyarakat kelas bawah bisa dilihat dari nilai tukar petani yang terus mengalami penurunan, dan upah buruh tani juga tergerus inflasi. "Kesimpulannya upah nominal masyarakat kelas bawah tidak bisa mengikuti kenaikan harga kebutuhan pokok," kata Bhima, Selasa (7/11).

Sedangkan untuk kelas menengah dan atas, kata Bhima, lebih banyak yang menahan konsumsi karena beragam penyebab, mulai dari kecemasannya melihat perkembangan ekonomi dunia, kondisi perpolitikan, hingga ketakutan akan pajak. "Gencarnya isu sara membuat sebagian pengusaha mengkalkulasi ulang risiko di 2018, kondisi ini sebenarnya kurang sehat bagi perekonomian kalau simpanan terus naik sementara kredit loyo," jelas dia.

Dari data uang beredar Bank Indonesia (BI) per September 2017, perolehan dana pihak ketiga (DPK) perbankan nasional tercatat Rp4.992 triliun meningkat 11,1% dibandingkan periode bulan sebelumnya Rp4.237 triliun.

Untuk DPK giro tercatat Rp1.110 triliun tumbuh 12% dibandingkan periode bulan sebelumnya Rp1.073 triliun. Kemudian DPK tabungan tercatat Rp1.592 triliun tumbuh 10,1% dibandingkan bulan sebelumnya Rp 1.562 triliun. Sedangkan untuk simpanan berjangka atau deposito tercatat Rp2.290 triliun atau tumbuh 11,3% dibandingkan periode bulan sebelumnya.

Pertumbuhan DPK terjadi pada seluruh jenis simpanan kecuali giro berdenominasi valas yang turun 5,5%. Sementara itu untuk DPK berdenominasi rupiah terakselerasi menjadi tumbuh 11,8% dari sebelumnya 9,8% yang terjadi pada seluruh jenis simpanan.

Lantas apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mendongkrak daya beli? Guru Besar Bidang Ekonomi Universitas Gadjah Mada Tony A Presetiatono, mengatakan pemerintah harus mengoptimalkan APBN-P 2017 dalam mendorong tingkat konsumsi masyarakat. "Optimalkan saja sisa APBN 2 tahun, disipilin belanja, ini akan tertransmisikan ke belanja rumah tangga," kata Tony.

Sementara Bhima mengatakan, di sisa waktu beberapa bulan sampai akhir 2017 pemerintah juga bisa mendorong penyaluran bantuan sosial atau bansos. "Untuk selamatkan daya beli, pemerintah harus segera dorong penyaluran. Bansos dan PKH (Program Keluarga Harapan)," kata Bhima.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya memastikan, di 2018 akan memulai program padat karya cash dengan mengandalkan alokasi dari dana desa yang sebesar Rp60 triliun. Program padat karya cash ini bertujuan mendorong daya beli masyarakat khususnya di kelas bawah dengan memanfaatkan alokasi dana desa.

Jadi, setiap alokasi dana desa yang diperuntukan sebagai modal membangun infrastruktur harus dilakukan dengan swakelola yang melibatkan masyarakat di desa tersebut, tidak lagi dipihakketigakan. Adapun, program padat karya cash ini juga akan mewajibkan pembayaran upah dilakukan secara harian atau mingguan. Sehingga, masyarakat memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya.

Terkait rencana ini, Bhima mengatakan, pemerintah perlu memastikan implementasi program padat karya cash ini berjalan dengan lancar. Sebab, kata Bhima, dua tahun ke depan masuk tahun politik, di mana ada pelaksanaan Pilkada serentak di 2018, dan pemilihan umum (pemilu) presiden di 2019. "Jadi ini bagus, tapi perlu kesiapan perencanaan dan jangan sampai dipolitisasi," kata Bhima.

Menurut Bhima, kebijakan program pada karya cash juga perlu pengawasan yang ketat agar tujuan padat karyanya itu bisa tercapai. Pengawasan bisa melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), dan auditor independen di hampir 74 ribu desa. "Jadi seluruh prosedur pencairan dana desa untuk program padat karya juga perlu diawasi lintas sektoral," ungkap dia.

Sementara, Tony mengatakan, perogram padat karya bagus untuk kelas bawah namun tidak mempengaruhi kelas menengah ke atas yang ternyata memang menahan konsumsinya. "Itu (padat karya cash) bagus untuk kalangan bawah, tapi menurut saya, masalahnya terletak di lapisan menengah ke atas, mereka yang dominan di DPK perbankan," kata Tony.

Kelas menengah ke atas menahan belanja lantaran kondisi perekonomian global yang masih dihantui ketidakpastian, sehingga anggaran belanja dialokasikan kepada sektor perbankan, yakni Dana Pihak Ketiha (DPK). Selanjutnya, menahannya konsumsi kelas menengah atas juga dikarenakan aktivitas pemerintah yaitu dalam hal melakukan penarikan pajak.

"Ini menimbulkan sebagian masyarakat mengerem konsumsi, ini merupakan hal yang tak terbayangkan dan tak terantisipasi sebelumnya," ungkap Tony.

Oleh karenanya, untuk mendorong daya beli masyarakat kelas bawah dengan program padat karya cash sudah tepat. "Makanya pemerintah harus disiplin anggaran, jangan sampai tidak terserap," tukas Tony.

Hal senada juga disampaikan Josua Pardede. Dia percaya, program padat karya cash ini akan mampu mendorong tingkat konsumsi atau daya beli masyarakat khususnya kelas bawah yang saat ini tengah tertekan. "Saya sepakat dengan program tersebut daripada pemberian BLT (Bantuan Langsung Tunai)," kata Josua.

Dia melanjutkan, program padat karya cash juga akan menyerap tenaga kerja dalam skala besar dan dengan sistem pengupahan harian atau mingguan akan mendorong konsumsi masyarakat. "Kebijakan ini perlu dilaksanakan secara serentak dan diprioritaskan bagi daerah/provinsi yang masih mencatatkan tingkat pengangguran yang tinggi," tambah dia. (dtc)

BACA JUGA: