JAKARTA, GRESNEWS.COM - Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai pertemuan Menteri ESDM Ignatius Jonan dengan CEO Freeport McMoran Richard Adkerson untuk menyelesaikan proses negosiasi masih jauh dari harapan rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan, solusi yang dihasilkan masih memberikan keistimewaan bagi Freeport ketimbang menjalankan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan UU Minerba No.4 Tahun 2009.

Pertemuan Menteri ESDM dengan Freeport McMoran di Houston, Amerika Serikat, hendak mencari titik temu mengenai 4 isu krusial, yakni tentang perpanjangan masa operasi PT FI, pembangunan fasilitas pemurnian, divestasi saham, dan ketentuan fiscal. Koordinator Riset dan Advokasi Indonesia for Global Justic (IGJ) Budi Afandi mengatakan pertemuan tersebut masih jauh dari keberhasilan dalam perspektif masyarakat sipil karena beberapa hal.

Pertama, prosesnya tidak menunjukkan adanya terobosan baru dalam sikap pemerintah terhadap Freeport. Kedua, negosiasi masih jauh dari keterbukaan pada publik, negara dan korporasi seakan tidak merasa perlu bersikap transparan.

"Kita tidak bisa a historis dalam melihat negosiasi ini, karena proses serupa sudah pernah terjadi, termasuk mengenai substansi persoalan yang dibicarakan," kata Budi, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Jumat (28/7).

Ia mencontohkan, isu pembangunan smelter yang menjadi kewajiban perusahaaan tambang seharusnya sudah selesai dengan pengaturan Permen ESDM No.1 Tahun 2014. "Untuk menunjukkan komitmen dalam membangun smelter sudah diatur sebelumnya, namun tetap tidak dipenuhi. Lalu apa yang dimaksud dengan kesepakatan pembangunan smelter sekarang? Apa kembali ke model lama yang hanya dengan memberikan dana jaminan kesungguhan untuk pembangunan smelter? Atau memang ada model baru? Tentu akan lucu kalau kembali pada model lama yang ternyata tidak berhasil menekan perusahaan melaksanakan kewajibannya," tegasnya.

Kemudian mengenai klaim bahwa Freeport mau mengubah KK menjadi IUPK. Hal ini hanya akan dilakukan jika pemerintah mau memberikan perpanjangan sampai 2041. "Mereka bisa kita sebut mau mengubah KK menjadi IUPK hanya pada saat mereka mau mengikuti syarat dari kita, bukan syarat mereka yang mengendalikan kita," ucapnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti menilai, ada yang janggal dari hasil pertemuan antara Menteri ESDM dengan Freeport McMoran. Ditengah anggapan adanya kemajuan dari proses negosiasi, Freeport tetap meminta adanya perjanjian kerjasama kedua pihak sebagai bentuk jaminan kepastian investasi. Namun, disisi yang lain Freeport menyatakan telah bersedia untuk mengubah Kontrak Karya dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

"Permintaan Freeport untuk membuat perjanjian kerjasama secara terpisah harus ditolak oleh Pemerintah Indonesia karena tidak diatur di dalam undang-undang. Kan sudah ada IUPK, yaitu penetapan dari menteri yang dijamin oleh undang-undang. Pemerintah harus konsisten dengan bentuk hukum yang telah disepakati dan diatur di dalam undang-undang. Kalau konteksnya cuma perjanjian perlindungan investasi, opsi P4M antar negara sudah cukup itu," tegas Rachmi.

Menurut Rachmi, Perjanjian Kerjasama secara terpisah hanya akan menempatkan Pemerintah Indonesia dibawah kendali Freeport. Apalagi, secara logika hukum perjanjian, perjanjian ini akan mengikat Pemerintah Indonesia secara perdata. Dan menjadi konsekuensi logis dimana para pihak akan menentukan sendiri mekanisme penyelesaian sengketanya, yang biasanya lebih memilih arbitrase internasional.

"Di dalam Pasal 7 Permen ESDM No.15 Tahun 2017 kan sudah jelas, menteri memberikan penetapan terhadap IUPK. Sehingga konsekuensi hukum dari penetapan atau beschikking bersifat administratif yang dikeluarkan oleh pejabat Negara dan bersifat konkrit, individual, dan final, sehingga penyelesaian sengketanya pun cukup di Pengadilan Tata Usah Negara," jelas Rachmi.

Sejalan dengan Rachmi, Budi pun menilai Perjanjian jaminan kepastian investasi yang diminta Freeport hanya akan menjebak Pemerintah Indonesia. "Perjanjian kepastian investasi yang dimaksud hanya akan membuka celah dibawanya sengketa ke arbitrase internasional dan menyulitkan Indonesia," pungkasnya. (mag)

 

BACA JUGA: