JAKARTA, GRESNEWS.COM - Peneliti Bidang Ekonomi Islam dari Wiratama Institute Yudi Saputra mengusulkan optimalisasi pengelolaan industri halal di dalam negeri. Yudi menilai, industri halal mampu meningkatkan penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara signifikan.

"Optimalisasi industri halal di Indonesia saat ini, merupakan momentum tepat untuk meningkatkan APBN pemerintah, yang tiap tahun tampaknya makin seret," kata Yudi dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Kamis (27/7).

Berdasarkan data Global Islamic Economy Report tahun 2016-2017, kata Yudi, saat ini Indonesia bertengger pada posisi 10 produsen industri halal secara keseluruhan. Indonesia, katanya lagi, masing-masing menempati posisi 9 dan 8 dalam sektor keuangan syariah dan obat-obatan serta kosmetika.

Ia menerangkan, secara keseluruhan total pengeluaran dunia dalam industri halal mencapai US$2,97 triliun. Dari angka itu, US$1,9 triliun diantaranya merupakan sumbangan dari sektor makanan, atau setara dengan Rp25.270 triliun. Angka itu belum mencakup sektor jasa Keuangan Syariah dimana aset yang dimilikinya mencapai US$3,46 triliun dan US$2,72 triliun merupakan aset Perbankan Syariah.

"Data di atas menyatakan bahwa industi makanan halal memiliki pasar yang sangat besar. Malaysia mampu bertengger pada posisi puncak, kok Indonesia tidak termasuk dari 10 besar produsen industri makanan halal," ungkap Yudi.

Ia mengatakan, jika dikalkulasi ulang Pendapatan Negara tahun 2016 sebesar Rp1.822 triliun. Namun jika dibanding dengan pasar industri makanan halal dunia, maka pendapatan negara hanya berada di kisaran 7,2% dari pasar industri makanan halal dunia.

Artinya, ucap Yudi, jika Indonesia bisa menguasai 10% industri makanan halal dunia, maka penerimaan negara diperkirakan meningkat signifikan. Hal tersebut merupakan data historis, karena rata-rata sektor industri diproyeksikan tumbuh sekitar 8% dalam 4 tahun atau hingga tahun 2021.

"Jika dari potensi industri makanan halal dunia yang mencapai Rp25.270 triliun, Indonesia bisa meraup 10% saja porsinya, maka dipastikan penerimaan hanya dari industri makanan halal mencapai Rp2.527 triliun. Atau lebih tinggi dari penerimaan negara tahun 2016," terang Yudi.

Menurut dia, semakin hari perkembangan industri halal kian memikat, seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap industri halal, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Beberapa konsumen global bahkan menganggap, produk dengan sertifikasi halal jauh lebih aman dikonsumsi.

Indonesia, lanjut Yudi, merupakan pasar menarik bagi industri halal, termasuk makanan halal. Pasalnya, jumlah penduduk muslim Indonesia tercatat paling banyak atau mewakili 12,7% jumlah muslim dunia, atau sebanyak 207.176.162 jiwa menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010.

"Populasi penduduk ini tentu saja merupakan potensi ekonomi yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Khususnya untuk meningkatkan pendapatan negara," kata Yudi lagi.

Yudi menambahkan, upaya mewujudkan potensi ekonomi itu dapat dilakukan dengan beberapa strategi. Pertama, meningkatkan kerjasama baik sektoral maupun lintas sektoral antara pemerintah, perbankan syariah dan pelaku industri. Kerjasama sektor pemerintah utamanya Kementerian Agama (BPJPH) dan Kementerian Perindustrian dengan melakukan pelatihan dan sertifikasi halal, utamanya, kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Memberikan insentif kepada UMKM untuk mendapatkan sertifikasi halal.

"Biaya menjadi salah satu faktor hambatan UMKM untuk mendapatkan sertifikasi halal, padahal sektor ini penopang terbesar Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, yaitu di angka 60,34%," ujarnya.

Data teranyar, tambah Yudi, mencatat saat ini hanya ada 37% produk yang telah tersertifikasi halal, dan masih didominasi industri besar yang memiliki kemampuan keuangan memadai. "Padahal, Indonesia memegang kunci-kunci penting dalam industri halal. Sistem jaminan halal yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi parameter penentuan sertifikasi halal yang telah diakui dunia, dimana setidaknya memiliki 44 anggota sertifikasi halal dari berbagai belahan dunia," jelas Yudi.

Kedua, langkah pemasaran agar produk dikenal secara luas dan dapat disalurkan dengan baik. Karenanya, pemanfaatan teknologi informasi pemasaran serta sistem distribusi global menjadi keahlian yang wajib diketahui oleh UMKM khususnya, dan para produsen industri halal di Indonesia.

Ketiga, adanya jaminan pemerintah agar pelaku industri mendapat kemudahan dalam mengakses dana sebagai pembiayaan. Demikian diharapkan, kedepan Indonesia dapat menduduki posisi puncak proses ekonomi ‘produsen’ dalam industri halal.

Keempat, adanya dukungan dan keinginan politik dari seluruh stakeholders terkait, agar optimalisasi potensi industri makanan halal di Indonesia dapat diwujudkan. "Tanpa ada langkah strategi diatas, maka Indonesia tidak akan dapat bertahan dalam pertarungan industri halal dunia dan sangat mungkin akan tenggelam. Investor akan berfikir ulang dengan keadaan politik yang tidak stabil untuk melakukan investasi di sebuah negara, karena hal tersebut akan sangat beresiko dan membuyarkan setiap proyeksi yang dilakukan," tandas Yudi. (mag)

BACA JUGA: