JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tiga orang masyarakat pesisir yang diamankan karena melakukan penolakan penambangan pasir di laut sekitar Pulau Tanakek dan Sanrobone, Takalar, Sulawesi akhirnya dibebaskan pada tanggal 23 Juni 2017. Penahanan tiga orang masyarakat pesisir merupakan dampak penolakan keras masyarakat terhadap proyek ambisius Pemerintah Kota Makasar sekaligus Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang ingin menjadikan pesisir Makassar sebagai Water Front City melalui proyek Center Point of Indonesia (CPI).

Fakta di lapangan menunjukkan, untuk memenuhi kebutuhan material pasir, pengembang yang telah mendapatkan konsesi mengambilnya dari sejumlah pulau kecil yang berada di sekitar perairan Sulawesi Selatan, salah satunya adalah Pulau Gusung Tangaya dan Kabupaten Takalar. Pengambilan material pasir dalam jumlah yang sangat banyak dilakukan oleh perusahaan pengeruk pasir laut asal Belanda, Royal Boskalis berdasarkan tender yang diberikan otoritas setempat.

"Perusahaan yang melakukan pengerukan pasir di laut Takalar yaitu Royal Boskalis merupakan perusahaan yang juga mendapatkan tender untuk pekerjaan yang sama dalam proyek Reklamasi Teluk Jakarta. Perampasan pesisir kita terstruktur dan massif terjadi di 16 titik area pesisir Indonesia," kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Senin (26/6).

Kapal FAIRWAY pengeruk pasir laut milik Royal Boskalis memiliki kapasitas angkut sebesar 35.000 kubik atau setara dengan 5833 mobil truk dengan kapasitas enam kubik. KIARA mencatat pencurian pasir di Laut Takalar dalam 2 hari 3 malam saja dengan lima kali bongkar muat pasir mencapai 175.000 kubik atau setara dengan 29.167 mobil truk kapasitas enam kubik. Pada saat bersamaan, keuntungan finansial dari sekali keruk dan bongkar muat mencapai 3,5 miliar rupiah.

Artinya, perusahaan mendapatkan keuntungan finansial sebesar Rp17,5 miliar dari lima kali bongkar muat. "Pengambilan pasir laut dalam jumlah yang sangat besar ini berdampak terhadap kerusakan laut di lokasi yang menjadi tempat pengambilan material pasir dan berdampak pada 4.690 kepala keluarga dari masyarakat pesisir yang tinggal di pantai Makassar," ungkap Susan Herawati.

Dari sisi kebijakan, proyek reklamasi di Makassar memiliki kecacatan konstitusional yang serius. Hampir empat tahun Rencana Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makasar mengalami tarik ulur karena benbenturan dengan sejumlah aganda politik ruang kepentingan bisnis properti. Dan pada saat disahkan pada tahun 2016 lalu, dalam Perda RTRW Kota Makasar, 4500 ha alokasi ruang pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi sasaran reklamasi tanpa pembahasan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

Sejumlah peraturan perundangan menegaskan keharusan adanya RZWP3K dalam pengelolaan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat pesisir. "Di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2007 dan Revisinya Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Putusan Mahkamah Kontisusi No. 3 Tahun 2010 dimandatkan secara tegas rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebelum melakukan pemanfaat ruang pesisir dan pulau-pulau kecil," pungkasnya. (gresnews.com/mag)

BACA JUGA: