JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membantah bangkrutnya perusahaan pemilik fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) nikel di tanah air disebabkan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun kerugian bisnis smelter nikel saat ini diduga disebabkan turunnya harga jual dan meningkatnya biaya produksi nikel.

Pernyataan tersebut disampaikan Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Sujatmiko, Sabtu (22/7). Hal itu menanggapi rumors yang beredar bahwa penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP No. 23 Tahun 2010 smelter nikel di tanah air.

Menurut Sujarmiko, melemahnya permintaan nikel pada industri stainless steel di kuartal kedua 2017 ditengarai menjadi penyebab utama turunnya harga nikel dunia. Di saat bersamaan, harga coking coal (kokas) meningkat dari US $100/ton di Desember 2016 menjadi US $200/ton pada Mei 2017.

"Tidak tepat jika PP No. 1 Tahun 2017 menimbulkan kerugian bagi pengusaha smelter nikel sehingga menyebabkan ditutupnya operasi produksi smelter nikel di tanah air," bantahnya seperti dikutip esdm.go.id.

Ia mengatakan, masih adanya surplus produksi dari tahun 2016 yang tidak diikuti dengan peningkatan permintaan di pasar dan meningkatnya pasokan nikel dari Filipina menjadi faktor utama trend rendahnya harga nikel dunia saat ini. Ditambah melonjaknya harga kokas yang signifikan hingga dua kali lipat dalam 5 bulan terakhir,  menyebabkan keekonomian smelter nikel (terutama yang berbasis blast furnace) mengalami tekanan.

Kokas diketahui menjadi sebagai salah satu komponen utama pada struktur biaya dalam proses pengolahan dan pemurnian nikel. Apalagi smelter dengan teknologi blast furnace, yang diperkirakan menyerap 40 persen dari total biaya produksi.

Sujatmiko mencontohkan, sebagaimana harga minyak mentah dunia, tidak ada satu organisasi atau negara yang dapat menentukan atau mengontrol harganya. Hal ini terjadi juga pada komoditas mineral dan batubara.

"Beberapa tahun belakangan ini harga minyak mentah dunia rendah. Kita juga ingat bagaimana lesunya harga batubara, namun kemudian membaik. Demikian juga dengan mineral. Saat ini mungkin harganya rendah, tapi suatu saat akan rebound. Fluktuasi harga tersebut kecenderungannya akan berulang dalam jangka waktu tertentu (siklus)," tuturnya.

Merujuk data dari United States Geological Survey, Januari 2017, Indonesia memiliki cadangan nikel hanya 6% dari total cadangan dunia. Sedangkan pada tahun 2016 kontribusi produksi nikel Indonesia dalam menyuplai kebutuhan nikel dunia hanya sekitar 7%.

Sujatmiko memaparkan, bahwa total cadangan Indonesia cuma 6 persen dari cadangan dunia. Jadi tidak tepat jika dikatakan harga nikel dunia terkontrol oleh ekspor terbatas nikel kadar rendah dari Indonesia. Produksi nikel Indonesia dalam menyuplai kebutuhan nikel dunia juga bukanlah yang terbesar, hanya sekitar 7%. Pemasok utama adalah Filipina, lebih dari 22%, disusul Rusia dan Kanada, masing-masing sekitar 11%. Sementara Australia dan New Caledonia masing-masing sekitar 9%. Realisasi ekspor bijih nikel kadar rendah dari Indonesia untuk periode Januari hingga Juni 2017 hanya 403.201 ton.

Menurut Sujatmiko, pemerintah telah menerapkan aturan serta kontrol yang ketat atas rekomendasi dan realisasi ekspor bijih nikel kadar rendah. Ekspor hanya bisa dilakukan jika perusahaan telah benar-benar terbukti memiliki kemampuan secara teknologi, bahan baku, keuangan dan sumber daya manusia.

"Aturan yang ada saat ini berbeda dengan sebelumnya, yaitu dengan adanya verifikator independen, dengan kemampuan yang lengkap. Ada ahli metalurgi, civil engineering dan tekno ekonomi, sehingga semua resiko dapat dikendalikan. Hasil ekspor tersebut semata-mata untuk memperkuat kemampuan (finansial) guna penyelesaian pembangunan smelter di dalam negeri," jelas Sujatmiko.

Sujatmiko pun menegaskan bahwa semangat penerbitan PP No. 1 Tahun 2017 adalah dalam rangka mendorong dan mempercepat pelaksanaan peningkatan nilai tambah mineral logam melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral logam di dalam negeri.

"Pemerintah terus berupaya mendorong terwujudnya pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri agar memberikan manfaat yang optimal bagi negara serta memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi pemegang IUP/IUPK Operasi Produksi Mineral dan KK," jelas Sujatmiko. (rm)

BACA JUGA: